"Kenapa harus Marsha, Ma!?" Marsha menarik dirinya dari pelukan Nadia dengan kuat, berdiri dan menatap kosong ke seluruh keluarga yang ada di ruangan itu.
Hana dan Candra hanya terdiam, wajah mereka tampak penuh penyesalan, menundukkan kepala. Sementara itu, Harris terlihat pasrah, seolah menerima apa pun yang akan terjadi, termasuk penolakan Marsha yang jelas tergambar di wajahnya.
"Maaf sayang, seharusnya Maya," Nadia berkata pelan, suaranya berat dengan penyesalan. "Tapi..." Nadia menghela napas panjang, merasa berat menjelaskan lebih lanjut.
"Hhh! Jadi dia kabur, ya?!" Marsha menyela dengan nada sinis, matanya yang memerah menunjukkan kemarahan yang tak bisa ia tahan. Nadia hanya mengangguk Lemah, tak bisa berkata apa-apa.
"Saudara sialan!" umpat Marsha dengan suara tinggi. Kata-kata kasar itu keluar begitu saja, tak pernah sekalipun terdengar dari mulutnya selama ini. Semua orang di ruangan terkejut, tak percaya mendengar Marsha berkata seperti itu.
"Marsha!" Nadia menegur dengan suara tegas, mencoba menahan amarah putrinya. Namun, Marsha tetap bergeming, tak memedulikan teguran ibunya. Matanya kosong, seolah tidak ingin mendengarkan penjelasan apa pun lagi.
Marsha teringat bahwa Maya memang berniat menikah, meski Marsha tidak pernah tahu apakah itu adalah perjodohan atau bukan. Mereka tidak sedekat itu, dan selama ini Maya tampak baik-baik saja, tidak ada tanda-tanda penolakan dari dirinya. Namun kini, Maya pergi, dan Marsha lah yang harus menanggung konsekuensinya.
"Kenapa?" Marsha menatap ibunya dengan penuh kebencian. "Mama masih mau membela dia?" Suara Marsha bergetar, penuh amarah dan rasa sakit. Nadia hanya bisa terdiam, menghela napas panjang, tak tahu harus berkata apa.
"Kenapa harus Marsha yang menggantikan dia?" Marsha menatap tajam ke seluruh keluarga yang ada di ruangan itu. Matanya penuh kebingungan dan rasa tidak adil yang mendalam.
Namun, tidak ada yang menjawab. Keheningan yang mencekam mengisi ruang. Kehadiran Hana dan suaminya di sini pun terasa tidak lebih dari formalitas. Mereka adalah bagian dari keluarga besar Harris, dan peran mereka penting dalam perusahaan yang sedang dikelola Harris. Ini bukan hanya soal keluarga, tetapi soal perjodohan bisnis yang saling menguntungkan.
Marsha merasa terjebak dalam situasi yang tidak adil, dan semakin sulit baginya untuk menerima kenyataan yang ada di hadapannya.
Seketika, Marsha teringat pada Reno. Apakah dia tahu tentang rencana perjodohan ini? Dia tidak datang—itu artinya dia pasti tahu, dan memilih untuk menjauh. Marsha menunduk, merasa seolah-olah dunia di sekitarnya runtuh. Rasa sakit dan kecewa itu melanda begitu kuat, membuat air mata Marsha akhirnya jatuh tanpa bisa ia tahan lagi.
Air mata itu mengalir begitu saja, tidak ada yang bisa menghentikannya. Dadanya terasa sesak, seolah ada beban berat yang menahannya untuk bernapas. Pikiran Marsha kacau, otaknya sulit berpikir jernih dalam keadaan seperti ini. Semua rencana yang telah ia susun untuk masa depannya, yang ia kira sudah terarah, kini berantakan dalam sekejap. Dunia yang selama ini ia bangun, rasanya hancur berkeping-keping.
"Om, nggak ada cara lain selain pernikahan?" Marsha menatap Candra dengan penuh harap, suaranya penuh keraguan. Ia sudah tidak berharap banyak kepada Harris atau pun Nadia, karena ia sudah terlalu kecewa dengan mereka yang memaksanya menggantikan posisi Maya, tanpa mempertimbangkan perasaannya.
"Mungkin ada perusahaan lain yang mau bekerja sama tanpa harus menikahkan anaknya, Om," Marsha mencoba lagi, suaranya semakin lirih. "Pasti ada, Om. Coba diingat-ingat, pasti ada." Marsha mulai merasa frustrasi, hatinya semakin hancur. Ini semua terasa begitu tidak masuk akal baginya.
Candra hanya diam, tidak bisa berkata apa-apa. Ia tidak berani menatap Marsha yang kini memohon dengan harapan yang semakin memudar. Melihat kondisi Marsha, hatinya terasa berat. Ia benar-benar tidak tega.
Tanpa bisa menahan beban emosionalnya, Marsha terduduk lemas di atas sofa. Kakinya terasa lemah, tak mampu lagi menopang tubuhnya. Air matanya mengalir deras, dan sesenggukan mulai terdengar. Ia merasa terjebak dalam situasi yang tak ada jalan keluarnya.
Berbagai hal yang tidak menyenangkan mulai bermunculan dalam pikiran Marsha, salah satunya adalah segala cita-citanya dan rencana yang sudah ia susun bersama Reno selama ini. Haruskah semua itu hancur begitu saja? Ia ingin mempertahankannya, namun bagaimana caranya? Apakah masih ada jalan untuk itu? Bahkan, mereka berdua belum pernah sekali pun mengungkapkan hubungan dan perasaan mereka pada keluarga.
Sekarang, Marsha merasa terpojok, tak tahu lagi kepada siapa ia harus berharap. Semua anggota keluarganya bahkan telah setuju dan memaksa perjodohan bisnis ini.
Hana, yang tidak tahan melihat keponakannya menangis, akhirnya mendekat dan memeluk Marsha dengan penuh kasih. Air mata Hana pun jatuh, seakan merasakan kesedihan dan rasa sakit yang kini dirasakan Marsha. Dalam pelukan Hana, yang merupakan ibu dari lelaki yang Marsha cintai, ia semakin merasa sakit dan sesak. Tangis Marsha pun pecah, tak bisa ditahan lagi, dan ia menangis sejadi-jadinya dalam pelukan Hana.
"Sayang, ini tidak seburuk yang kamu pikirkan. Tidak ada yang akan menyakitimu. Semua yang diputuskan Mas Harris sudah dipikirkan dengan sangat matang," Hana berusaha menenangkan Marsha. Tangannya lembut mengelus punggung Marsha, berharap bisa sedikit mengurangi rasa sakit yang dirasakan keponakannya.
Namun, Hana terdiam sejenak, menghela napas berat. "Semua ini demi kebaikanmu dan—" belum selesai Hana mengucapkan kalimat itu, Marsha sudah melepaskan pelukannya dengan kasar. Hana merasa menyesal telah mengatakan itu.
Marsha menatapnya dengan penuh kekecewaan. "Kalau memang demi kebaikan Marsha, harusnya Marsha bahagia, Tan! Bukan sakit seperti ini!" Suaranya bergetar, penuh kemarahan dan kesedihan. Marsha menatap semua orang di ruangan itu, matanya penuh amarah. "Ini demi kebaikan kalian! Kalian jual anak sendiri hanya untuk keuntungan kalian!"
"Marsha!!" Nadia berdiri dengan marah, tampak hendak menampar Marsha, tetapi dengan cepat Hana mencegahnya.
Entah dari mana datangnya kekuatan dan keberanian itu, Marsha tidak pernah menyangka jika orang tuanya akan melakukan perjodohan bisnis seperti ini. Apakah selama ini ia hanya dianggap sebagai aset bagi mereka? Apakah hanya itu nilai dirinya di mata orang tuanya?
Malam itu, Marsha merasa untuk pertama kalinya ia benar-benar membenci Maya—dan mungkin kebencian itu akan bertahan selamanya. Marsha bersumpah suatu hari nanti ia akan menuntut Maya atas apa yang telah dilakukannya.
Dengan perasaan hancur, Marsha berlari keluar dari ruang keluarga, tidak peduli lagi apa yang telah ia ucapkan. Ia tahu bahwa kata-katanya tidak akan mengubah apapun, kecuali jika ia melakukan hal yang sama seperti Maya—pergi meninggalkan semuanya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments