Marsha perlahan mengangkat kepalanya dari bahu Reno saat melihat Tiara—mama Sarah—datang menghampiri mereka. Reno, yang sempat bingung, langsung mengikuti arah pandang Marsha, mencoba mengerti kenapa Marsha tiba-tiba bergerak.
“Mamanya Sarah,” bisik Marsha pelan, memberi tahu Reno agar ia tidak lagi merasa bingung. Marsha juga merasa kurang nyaman jika terus bergelayut di bahu Reno, jadi ia memutuskan untuk bangkit dan berdiri.
Dengan langkah tenang, Marsha dan Sarah kemudian menghampiri Tiara dan menyalaminya dengan sopan. Tiara tersenyum ramah, seolah sudah mengetahui apa yang terjadi.
“Marsha, tadi Sarah yang kabari Tante,” kata Tiara setelah Marsha dan Sarah menciumi punggung tangan Tiara sebagai tanda hormat. Marsha mengangguk, merasa sedikit lebih tenang melihat kehadiran Mama Sarah di sana.
Tiara pamit dan bergegas pergi untuk menjenguk Harris. Ia hanya memberikan senyuman dan anggukan singkat kepada Reno, seakan-akan sedang terburu-buru. Tak lama kemudian, Tiara kembali dan pamit untuk pulang bersama Sarah.
Sarah menoleh kepada Marsha dengan wajah penuh pengertian. "Pulang dulu ya, Sha. Sabar, tadi gue lihat Om Harris baik-baik aja kok," ujarnya sambil berusaha menenangkan sahabatnya. "Gue nggak ngerti kenapa lo nggak boleh masuk, rasanya nggak ada yang aneh di dalam." Sarah berbisik, ingat betapa anehnya keadaan yang membuat Marsha tak bisa menemui papanya sendiri.
"Thanks ya, Sar. Doain Papa cepat sembuh," kata Marsha dengan harap, lalu memberikan kode untuk melanjutkan percakapan mereka lewat pesan singkat. Ia melambaikan ponselnya, berharap bisa berbicara lebih lanjut.
Sarah membalas dengan anggukan, mengangkat kedua jempolnya. "Pasti," katanya, memberi jaminan dengan penuh keyakinan.
~
Hana menghampiri Reno, wajahnya terlihat lelah setelah seharian bolak-balik mengurus berbagai urusan, mulai dari administrasi hingga masalah perusahaan. Tak hanya itu, ia juga masih khawatir tentang Maya yang belum ditemukan keberadaannya. Dengan lembut, ia memberi instruksi pada Reno, "Kamu antar Marsha pulang ya, Ren. Om Harris masih harus menjalani pengecekan lebih detail, tadi tensinya tiba-tiba naik."
Reno menatap Marsha yang tertidur lelap di sampingnya, kemudian menjawab, "Tadi Marsha bilang dia mau lihat Om Harris dulu, Ma." Hana menatap Marsha dengan penuh iba, merasa kasihan pada gadis itu yang terlihat begitu lelah.
"Besok aja deh, Ren. Sekarang bawa Marsha pulang dulu, biar dia bisa istirahat. Kasihan, tadi kehujanan, nanti bisa sakit lagi," kata Hana, khawatir. Ia kemudian berbalik untuk kembali ke kamar rawat Harris, namun Reno memanggilnya dengan cepat, menghentikannya sejenak.
"Ma," Reno memanggilnya pelan, menatap Hana dengan ekspresi penuh pertanyaan. "Soal masalah tadi, apa benar harus Marsha yang menggantikannya?" Ia bertanya dengan suara penuh keraguan, sulit menerima keputusan besar yang datang begitu mendadak dari keluarganya.
Hana menatap Reno dengan penuh keprihatinan, lalu menggelengkan kepala. "Entahlah, Ren. Mama juga nggak tahu," jawabnya pelan. Ia duduk di samping Reno, berbisik agar Marsha yang sedang tertidur tak mendengarnya. "Maya belum ditemukan, kemungkinan besar dia sudah keluar negeri, atau mungkin dia masih di sini," tambahnya dengan suara penuh kekhawatiran.
Reno menatapnya bingung. "Maksudnya?"
Hana menatap ke depan, tampak berpikir sejenak. "Ada penemuan dari orang suruhan Papa, sepertinya ada yang menyalahgunakan identitas Maya. Papa bilang mereka masih mencari tahu, apakah Maya benar-benar keluar negeri atau tidak."
Reno semakin bingung. "Kenapa nggak cek CCTV di bandara aja, Ma?"
Hana menghela napas, wajahnya semakin tegang. "Semua CCTV menunjukkan sosok yang mirip Maya, baik di bandara maupun di stasiun. Bahkan di hari yang sama, dengan jarak waktu yang hanya beberapa menit. Tapi, Ren, bandara dan stasiun itu jaraknya jauh sekali, nggak mungkin bisa ditempuh secepat itu."
Reno memijat pelipisnya, merasa kepalanya semakin pusing memikirkan semua yang sedang terjadi. Sementara itu, Marsha yang sedari tadi tertidur tanpa sadar, perlahan menggeliat dan semakin menggenggam lengan Reno, membuat pelukannya semakin erat. Hana melihat pemandangan itu dengan senyum kecil, merasakan keanehan yang ada pada hubungan antara Reno dan Marsha.
"Udah ah, kasihan deh, tuh adikmu udah nggak sadar, malah ngira kamu ini guling," Hana tertawa pelan, memecah keheningan. "Mama mau balik ke kamar Om Harris dulu, Tante Nadia lagi ngobrol sama dokter waktu Mama keluar."
Reno hanya bisa mengangguk dengan senyum pahit di wajahnya. Mendengar kata "adik" dari Hana, entah kenapa membuat hatinya sedikit sesak. Ia menyadari, meskipun hubungan mereka rumit dan penuh kebingungannya, ikatan keluarga tetap saja tak bisa dipungkiri, bahkan di tengah segala kerUmitan yang melingkupi mereka saat ini.
Flashback On
“Mbak, Mas Harris kenapa?” Hana berlari cepat menghampiri Nadia yang tampak terpaku dengan wajah panik di depan ruang ICU. Reno dan Candra mengikuti langkahnya dari belakang. Nadia tampak sangat terpuruk, rambutnya berantakan, wajahnya penuh kekhawatiran, dan matanya sembab, terus mengeluarkan air mata tanpa henti.
“Ma-Maya kabur, Han...” Nadia berbicara dengan suara tertahan, hampir tak bisa menguasai diri. Ia terjatuh lemah, dan langsung dirangkul oleh Reno, membantunya duduk di kursi yang ada di dekat mereka. Semua yang ada di sana terdiam beberapa saat, kebingungan dan terkejut mendengar apa yang baru saja Nadia katakan.
“Tenang, Mbak. Aku akan minta bantuan orang-orang Mas Candra untuk mencari Maya,” Hana berkata sambil melirik suaminya, memberi isyarat untuk berbicara lebih lanjut berdua. Sementara itu, Reno masih menenangkan Nadia yang tak henti-hentinya terisak.
“Nad, ini,” suara Nadia terdengar lemah saat ia menyerahkan secarik kertas milik Maya kepada Hana.
Hana segera mengambil surat itu, membukanya, dan membaca isinya bersama Candra. Matanya sesekali melirik Nadia, dan sesekali mengerutkan keningnya, merasa ada yang tidak beres. Hana menghela napas berat, merasakan beban yang tiba-tiba semakin besar. Tanpa berkata apa-apa, ia menyerahkan surat itu kepada Reno, lalu menarik Candra menjauh dari Nadia untuk berbicara lebih privat.
Reno membaca surat itu dengan cermat. Rahangnya mengeras saat ia memahami dampak dari keputusan Maya. Jika pernikahan ini batal, seluruh perusahaan keluarga mereka akan terancam bangkrut. Rasa kesal menyelimuti dirinya, tak habis pikir bagaimana Maya bisa melakukan ini. Di awal, ia tahu Maya setuju tanpa paksaan, namun sekarang surat itu seolah-olah menyalahkan perjodohan ini sebagai keputusan yang dipaksakan. Dengan kesal, Reno menyimpan surat itu saat kedua orang tuanya mendekat.
“Mbak, orang-orang Mas Candra sudah mulai mencari Maya. Tenang saja, ya. Sekarang, kita fokus pada kesehatan Mas Harris,” Hana berkata lembut, mencoba menenangkan Nadia sambil menggantikan posisi Reno di sampingnya.
“Benar, Mbak. Orang-orang saya sudah berpengalaman, semoga mereka segera mendapatkan kabar baik,” tambah Candra dengan suara tenang, berusaha memberikan harapan pada Nadia yang tengah terpukul.
“Tapi bagaimana dengan operasional perusahaan, Can? Kita sudah di ambang kehancuran,” suara Nadia terdengar putus asa. “Satu-satunya cara untuk menyelamatkan semuanya adalah dengan menikahkan Maya, tapi dia malah pergi. Waktu kita tinggal kurang dari dua bulan, Hana. Bagaimana jika dia tidak ditemukan?” Nadia benar-benar frustasi, air matanya terus mengalir.
Hana terdiam, tampak kebingungan menghadapi situasi yang semakin sulit ini. Nadia menegakkan kepalanya, lalu menatap Hana dengan penuh harap. “Han, bagaimana kalau kita menggantikan Maya dengan Marsha?” kata Nadia dengan suara pelan, namun penuh keyakinan.
Semua terkejut mendengar usulan itu, terutama Reno. Wajahnya memucat, rahangnya mengeras, dan matanya nanar menatap Nadia dengan penuh kebingungan. Bagaimana mungkin Marsha, wanita yang ia cintai lebih dari sebagian hidupnya harus ia biarkan menikah dengan orang lain. Reno tak ingin itu terjadi.
“Tapi Marsha masih sekolah, Mbak,” Hana tetap ragu dengan ide Nadia.
“Bulan depan Marsha sudah genap 18 tahun, Han. Secara hukum, dia sudah dianggap dewasa dan bisa menikah,” Nadia menjawab dengan penuh keyakinan, berharap ide itu benar-benar bisa menjadi solusi. Ia meyakinkan dirinya bahwa tidak ada hukum yang akan dilanggarnya dengan langkah ini.
Hana dan Candra saling berpandangan, merasa belum yakin. Mereka tahu Marsha masih berstatus pelajar, dan lebih dari itu, ada banyak pertanyaan yang belum terjawab. Bagaimana dengan perasaan Marsha? Apakah dia bersedia untuk melakukan ini? Dan yang lebih penting, bagaimana dengan keluarga calon suami Maya? Apakah mereka akan menerima keputusan mendadak ini, menggantikan calon pengantin yang seharusnya dengan seorang pelajar?
Keraguan itu menggelayuti pikiran mereka, karena tidak hanya menyangkut hukum, tapi juga perasaan dan kehormatan yang bisa terguncang dalam proses ini.
Flashback Off
Tangan Reno dengan lembut mengelus lengan Marsha yang kini melingkar di perutnya, sebuah sentuhan penuh kasih yang mencoba memberi ketenangan. Ia merasa gelisah, berpikir keras. Tidak ada yang lebih ia inginkan selain menjaga Marsha, bukan hanya sebagai bagian dari rencana yang sudah mereka buat bersama, tetapi sebagai kekasih yang ia cintai.
Namun, usulan untuk menggantikan Maya dengan Marsha membebaninya. Reno merasa ragu, bahkan marah. Ia tidak ingin Marsha terjebak dalam situasi yang begitu rumit dan berbahaya, apalagi jika itu berisiko mengubah masa depan mereka. Ia ingin berjuang untuk hubungan mereka, seperti yang telah mereka rencanakan sejak awal—tanpa paksaan, tanpa tekanan.
Tapi pertanyaannya kini, bagaimana cara ia bisa melawan semuanya? Bagaimana ia bisa memastikan bahwa Marsha tidak akan terpaksa menjalani jalan yang tidak ia pilih, sementara ia juga harus menghadapi tuntutan keluarga dan perusahaan yang tak bisa ditunda? Pertanyaan itu menggantung di benaknya, tanpa jawaban yang jelas.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments