Mereka semua akhirnya telah selesai makan, kesenangan terpapar jelas di wajah mereka.
Hanya tersisa 10 orang dari yang awalnya 30an orang; Remy, Alfan, Yudha, Bima, Raul, Dina, Ayu, Niken, Nika, Adelia.
"Thanks ya Rem, udah traktir kita." kata Alfan seraya merangkul Remy.
Mereka semua mengangguk dengan senyuman lebar.
"Santai aja," balas Remy kepada mereka, melanjutkan dengan pertanyaan. "Mau langsung pulang aja nih? Baru jam sembilan loh."
Yudha mengangkat tangan kanannya. "Gimana kalo kita main futsal?"
Kubu pria langsung setuju, namun tidak dengan kubu wanita.
"Kalo kalian main futsal, kita ngapain dong?." tanya salah satu dari kubu perempuan bernama Nika.
"Nonton lah, apa lagi." jawab Raul, membuat seluruh perempuan disana langsung menatap tajam dirinya.
"Hah?" Raul kebingungan, keringat dingin menetes di dahinya. "Apa salahku cok?"
"Yaelah, cowok-cowok emang kalo nggak futsal, apa lagi," Rina mencibir sambil nyender di kursinya, tangannya terlipat dengan gaya santai.
"Eh, kita kan nggak lama," Yudha mencoba meyakinkan sambil mengangkat kedua tangan. "Paling satu jam, terus kita balik nongkrong lagi. Simple."
"Ya simple buat lo, nggak buat kita," balas Dina sambil ngelirik tajam. "Dateng jauh-jauh masa cuma jadi cheerleader."
Raul nyengir kuda, "Lah, bukannya seru, Din? Bisa kasih semangat, 'Ayo bang, cetak gol!'"
Semua cewek di meja langsung ngeliatin dia kayak mau nelen hidup-hidup.
"Raul, serius deh. Jangan ngomong kalo nggak mau digebuk," Ayu nyeletuk sambil nahan ketawa.
Remy yang dari tadi diem akhirnya buka suara sambil ngaduk es tehnya, "Yaudah gini aja, kalian tinggakl ikut main. Masalah selesai. Gampang, kan?"
"Kita?" Dina melotot. "Main futsal? Serius lo, Rem?"
"Kenapa nggak?" Remy nyengir santai. "Futsal tuh buat semua orang. Santai aja, nggak usah jago. Yang penting ngeluarin keringet."
"Kayaknya seru tuh, gue setuju deh." Ayu langsung angkat tangan. "Daripada cuma duduk nonton, bosen juga."
Dina ngedumel sebentar sebelum akhirnya ngangguk, "Yaudah, tapi gue nggak mau denger ada yang bentak-bentak di lapangan."
"Siap!" Yudha langsung angkat jempol. "Kita main chill aja, nggak pake drama."
Alfan yang dari tadi sibuk nyari sisa keripik tiba-tiba nyeletuk, "Tapi timnya gimana nih? Kalo cewek semua di satu tim, bisa bubar lapangan kayaknya."
"Yakin banget lo jago?" Dina melotot ke arah Alfan, bikin dia salah tingkah.
"Eh, becanda Din! Sumpah," Alfan ngangkat tangan lagi.
"Udah, udah. Bikin random aja timnya, biar adil," saran Remy santai. "Sekalian latih chemistry."
Mereka pun jalan bareng ke lapangan futsal yang cuma lima menit dari restoran.
Dengan sneaker seadanya, para cewek siap turun ke lapangan, sementara cowok-cowok sibuk nguji nyali masing-masing buat nggak salah ngomong lagi.
"Liat aja ya," kata Dina sambil ngecek tali sepatunya. "Kalo gue sampe ngalahin lo, lo harus traktir gue makan sebulan penuh."
"Yaelah, Din. Ngimpi dulu gih," balas Raul, tapi kali ini sambil hati-hati.
Saat semuanya bersiap-siap di lapangan, Remy tiba-tiba berhenti di pintu keluar sambil mengeluarkan ponselnya.
"Eh, gue mau nelpon orang dulu bentar, kalian main aja dulu," katanya santai sebelum keluar lapangan.
Kelompok yang tinggal mulai menghitung jumlah pemain.
"Empat lawan lima nih? nggak masalah lah, gas aja." Alfan menyeringai penuh percaya diri sambil memutar bola di ujung jarinya.
Dina langsung mencibir. "Sombong amat. Nih liat aja, lo bakal ngos-ngosan duluan."
"Gue keluar aja deh biar pas empat lawan empat," kata Niken tiba-tiba sambil menepuk bahu Dina. "Lagian, gue cuma mau santai aja, nggak niat serius main."
"Serius, ken?" Dina menatapnya.
"Iya, iya, main aja kalian. Gue jadi tim supporter aja," jawab Niken sambil tersenyum.
Akhirnya mereka membagi tim menjadi empat lawan empat.
Yudha, Dina, Raul, dan Ayu di satu tim. Alfan, Nika, Adelia, dan Bima di tim lawan.
Raul bersemangat mengatur posisi, sementara Ayu sibuk memastikan sepatu pinjamannya nggak licin.
"Siap, tim? Let's go!" Yudha berteriak semangat sambil menepuk tangan.
Di luar lapangan futsal, Remy agak menjauh agar suara kebisingan teman-temannya hilang.
Dia meletakkan ponselnya di telinga, menelpon seseorang yang di kenalnya.
"Halo?" Agesta menjawab panggilan dengan nada formal khasnya.
"Eh, Gest. gue butuh update soal progress sodium-ion graphene," suara Remy terdengar santai, tapi tetap profesional.
"Ah, terkait proyek kita? Tentu, Tuan Remy," balas Agesta. "Saat ini, tim riset sudah menyelesaikan prototipe tahap kedua. Tes awal menunjukkan bahwa daya tahan baterai memang meningkat dua kali lipat dibanding lithium-ion konvensional. Material sodium yang lebih murah juga memberikan efisiensi biaya yang signifikan."
Remy tersenyum mendengar laporannya. "Good. Gue butuh data itu di rapihin buat presentasi. Kayaknya Mason Parrish udah mulai panas sama inovasi kita."
"Benarkah, Tuan?" Nada suara Agesta berubah penasaran. "Saya ingat, Anda baru saja bertemu dengannya kemarin. Apa dia memberikan sinyal ingin bersaing?"
Remy tertawa kecil. "Bukan sinyal lagi, Gest. Dia ngajak taruhan. Siapa yang duluan bisa bikin baterai paling ramah lingkungan. Lo tahu dong si Mason dengan hidupnya yang penuh drama."
Agesta terdiam sesaat sebelum menjawab. "Kalau begitu, taruhan macam apa yang Anda setujui, Tuan?"
Remy menyandarkan tubuhnya ke tembok luar lapangan futsal, pandangannya melayang ke arah lampu-lampu kota. "Gampang aja. Kalau gue menang, dia harus traktir gue makan di tempat rahasia para miliarder itu. Kalau dia menang, gue harus ngajak dia tur keliling kantor pusat Trinova."
Agesta terkekeh kecil, meskipun tetap berusaha mempertahankan nada formalnya. "Tampaknya cukup... tidak biasa. Tapi mengingat sifat Anda, saya tidak terkejut."
"Ah, Gest. Santai aja, dong. Lo udah jadi partner gue bertahun-tahun, masa masih kayak gini aja?"
Agesta ragu sejenak. "Saya hanya berusaha menjaga profesionalisme, Tuan."
"Gest, lo tahu gue dari nol. Gue bukan orang yang peduli sama titel 'Tuan' segala macam itu. Ngobrol kayak biasa aja."
"Baik... eh, maksud saya, oke, Remy." Agesta akhirnya tersenyum kecil, meskipun itu tak terlihat oleh Remy.
Remy tertawa lagi, puas. "Nah, gitu dong. Nanti lo kirim laporan finalnya ke email gue, ya. Gue mau siapin strategi biar si Mason nggak bisa ngelawan. Bentar lagi gue balik ke tim futsal."
"Siap, Remy," balas Agesta, kali ini terdengar lebih santai. "Jangan terlalu lama main futsalnya. Besok ada meeting dengan tim riset pukul sepuluh."
"Yes, ma'am," canda Remy sebelum menutup telepon.
Dia menatap ponselnya sebentar, senyum tipis menghiasi wajahnya. Taruhannya dengan Mason sudah memacu semangatnya.
"Alright," gumamnya sambil melangkah kembali ke lapangan. "Waktunya cetak gol."
Remy berjalan kembali ke lapangan, tapi langkahnya terhenti saat melihat Niken duduk sendirian di tribun kecil, memperhatikan teman-teman mereka yang sedang bermain futsal.
Wanita itu tampak santai, sesekali tersenyum melihat Dina mencoba merebut bola dari Yudha dengan gaya yang sedikit berantakan.
Remy mendekatinya dan duduk di sampingnya. "Nggak ikutan main? Kan tadi semangat awalnya."
Niken menoleh dan tersenyum kecil. "Nggak ah, males. Lagian kalo gue ikut, timnya malah nggak balance. Mending nonton aja."
Remy mengangguk sambil bersandar di bangku kayu. "Fair enough. Tapi lo nggak bosen duduk sendirian?"
"Enggak kok," jawab Niken sambil menyandarkan dagu di tangannya. "Lumayan juga liat mereka kocar-kacir di lapangan."
Mereka terdiam sejenak, menikmati suasana malam dan gemuruh kecil dari lapangan futsal.
"By the way," Remy membuka pembicaraan lagi, suaranya sedikit lebih serius. "Gue jadi inget sesuatu waktu denger lo nyanyi di kafe Nostalgik tadi."
Niken melirik penasaran. "Oh ya? Kenapa emangnya?"
"Suara lo bagus banget, Nik. Bahkan bisa dibilang lebih dari sekadar bagus. Lo punya kontrol yang natural, dan cara lo nyiptain atmosfer waktu nyanyi itu beda. Gue jarang nemu orang kayak lo."
Niken terkekeh, meski wajahnya sedikit memerah. "Halah, lebay banget lo, Rem."
"Serius gue," balas Remy, nadanya tetap santai tapi tegas. "Bukannya waktu itu lo bilang pengin jadi penyanyi profesional? Bahkan udah rilis lagu juga."
Niken menghela napas, mengalihkan pandangan ke lapangan. "Iya, gue pernah bilang gitu. Tapi itu kan cuma mimpi. Realitanya... susah, Rem. Gue nggak punya koneksi, nggak tau harus mulai dari mana."
Remy menyeringai, mengeluarkan ponselnya dan memutar logo Trinova Sounds di layar. "Kebetulan gue punya tempat yang tepat buat lo mulai."
Niken menatap ponsel itu dengan alis terangkat, dia mengingat ketika dia menonton televisi dan melihat salah satu penyanyi terkenal tengah di wawancarai.
Wawancara itu berlangsung di salah satu acara talk show paling bergengsi di Indonesia.
Penyanyi yang dimaksud, seorang wanita bernama Marsha, duduk dengan anggun di sofa utama.
Pembawa acara memulai dengan senyuman lebar.
"Marsha, akhir-akhir ini nama kamu ada di mana-mana. Mulai dari Billboard Indonesia sampai nominasi internasional. Tapi, yang banyak orang belum tahu, perjalanan kamu dimulai dari jalanan. Bisa ceritakan sedikit?"
Marsha tersenyum kecil, memegang mikrofon dengan kedua tangannya. "Betul banget. Aku dulu sering nyanyi di trotoar Malioboro. Bisa di bilang itu satu-satunya biar aku bisa nyanyi di depan banyak orang, karena waktu itu aku bahkan nggak punya uang buat beli alat musik sendiri. Gitar yang ku pakai dulu juga minjam dari temen."
Para penonton terdiam, terpaku mendengar kisahnya.
"Dan bagaimana akhirnya kamu ditemukan oleh Trinova Sounds? Karena, seperti yang kita tahu, mereka terkenal sangat selektif."
Marsha menghela napas, seolah mengingat momen yang sangat penting dalam hidupnya. "Waktu itu aku lagi nyanyi di depan kafe kecil. Nggak banyak yang nonton, palingan beberapa orang yang lalu lalang. Tapi ternyata, salah satu yang lewat itu adalah seseorang yang sangat penting di perusahaan Trinova Global yang sedang naik daun. Dia berhenti, mendengarkan, dan langsung ngajakin aku ngobrol pas aku udah selesai nyanyi."
Pembawa acara tampak kagum. "Hoo, jadi mereka benar-benar melihat potensi kamu sejak awal?"
Marsha mengangguk. "Mungkin? dan yang bikin saya terharu, mereka nggak cuma peduli sama suara punyaku. Mereka benar-benar peduli sama cerita ku. Trinova Sounds itu bukan cuma agensi musik. Mereka udah kayak keluarga kedua buat saya. Mereka bantu aku nggak cuma jadi penyanyi yang lebih baik, tapi juga jadi manusia yang lebih baik."
Penonton memberikan tepuk tangan meriah, sementara kamera memperbesar ekspresi penuh rasa syukur di wajah Marsha.
Pembawa acara melanjutkan, "Dari seorang penyanyi jalanan sampai menjadi bintang besar, apa pesan kamu untuk anak-anak muda di luar sana yang punya mimpi seperti kamu?"
Marsha tersenyum, kali ini penuh keyakinan. "Jangan pernah takut untuk bermimpi besar. Dan yang paling penting, jangan pernah menyerah, meskipun situasinya kelihatan mustahil. Kalau aku bisa, kalian juga pasti bisa."
Wawancara itu kemudian diakhiri dengan Marsha membawakan salah satu lagunya yang paling hits.
"Kau dan Awan."
......................
Kembali ke tribun futsal, Niken menarik napas panjang setelah mengingat cuplikan wawancara itu.
Dia menatap Remy, yang kini menunggu jawabannya sambil menyeringai santai. "Trinova Sounds? Lo serius ngajakin gue ke sana?"
"Serius pake banget," jawab Remy sambil memasukkan ponsel ke saku lagi. "Gue bisa bantu lo buat audisi di sana. Bahkan kalau lo mau, gue bisa langsung rekomendasiin lo ke tim A&R-nya. Mereka selalu nyari talenta baru yang punya potensi besar."
Niken terdiam, terlihat berpikir keras. "Tapi gue belum punya karya yang pantes. Maksud gue, lagu gue aja ga sebagus itu. Mereka pasti bakal nyari rekam jejak gue."
Remy menggeleng. "Gue lihat banget pas lo nyanyi tadi. Apalagi lo udah bikin lagu sendiri. Mereka punya tim yang bisa bantu lo nge-develop semuanya."
Niken masih terlihat ragu. "Lo yakin Rem? Kemampuan gue kayaknya cuma sedikit lebih baik dari penyanyi di jalanan deh."
Remy menepuk bahu Niken dengan lembut. "Lo tau penyanyi yang namanya Marsha?"
Niken mengangguk, jelas mengenali sosok yang memiliki kisah hebat.
"Jelas!" serunya dengan bangga, "Dia idola gue Rem!"
Remy tersenyum tipis. "Jadi lo tahu kisah hidupnya dong?"
Niken mengangguk lagi, "Pasti Rem." katanya antusias.
Mata Remy melihat ke langit-langit bangunan. "Gue yang ngerekrut dia dulu," ujarnya. "Harusnya lo tahu kalo dia dulunya cuma penyanyi jalanan dong?"
Niken menatap Remy lama, lalu akhirnya tersenyum tipis setelah menyadari sesuatu.
"Jadi gimana?" jawab Remy santai sambil berdiri. "Penyanyi jalanan aja bisa jadi bintang besar. Masa orang yang bilang 'kemampuannya sedikit lebih baik dari penyanyi di jalanan', nggak percaya diri buat jadi bintang juga?"
Niken ikut berdiri, menatap Remy dengan mata berbinar. "boleh deh."
"Gitu dong dari tadi," kata Remy sambil tersenyum lebar. "Nanti gue hubungin tim A&R-nya buat jadwal. Lo tinggal siap-siap aja bikin mereka jatuh cinta sama suara lo."
Mereka berdua kembali ke tribun, Niken merasa lebih bersemangat dari sebelumnya.
Di lapangan, Raul terjatuh karena mencoba gerakan akrobatik, sementara yang lain tertawa terbahak-bahak.
"Kayaknya mereka lebih butuh cheerleader sekarang," kata Niken sambil tertawa.
Remy tertawa kecil. "Mungkin."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments