Kuntilanak kepala sekolah

Pertengahan tahun 2006, di sebuah kota kecil di Barat Pulau Jawa, di Sumedang tempatnya. Saat itu, aku mendapat pekerjaan untuk menjadi guru di sebuah sekolah. Aku sendiri sebenarnya bukan warga asli Sumedang. Aku berasal dari Bandung, sehingga di Sumedang aku harus mencari kos untuk tinggal. Tapi, pihak sekolah memberi tawaran untuk tinggal di asrama sekolah saja. Ada tiga kamar kosong, katanya. Termasuk kamar untukku. Selain aku, ada penjaga sekolah dan Bu Nima, petugas kebersihan sekolah, yang juga tinggal di lingkungan asrama sekolah. Aku tidak tahu banyak tentang asrama di sekolah ini, aku hanya pernah dengar bahwa asrama ini sudah lama sekali tidak ditinggali, selain oleh dua orang petugas sekolah itu. Baru kali ini akhirnya ada orang baru yang datang, yaitu aku. Padahal, secara fisik, bangunan asrama ini masih bagus. Kamar yang ditawarkan untukku pun terbilang lumayan, ukurannya luas, ada kamar mandi di dalamnya dan sudah dilengkapi dengan kipas angin yang masih berfungsi. Boleh juga nih tinggal di asrama. Jadi bisa lebih hemat, kataku dalam hati.

Tanpa perlu berpikir terlalu panjang, aku menerima tawaran itu. Aku menghabiskan hari pertama untuk menata barang-barang di kamar baruku, aku ingin membuat diriku senyaman mungkin untuk tinggal di asrama. Tak hanya menata kamar baru, aku juga memutuskan untuk terjaga malam itu untuk mempersiapkan rencana pembelajaran.

" Hoaanmmmghhh....duh, ngantuk. Tapi tanggung, sedikit lagi selesai," kataku kepada diri sendiri sambil menguap tak henti. Aku memutuskan untuk melawan rasa kantuk yang menyerang untuk melanjutkan pekerjaan yang hampir selesai. Sampai tak lama kemudian, aku mendengar suara langkah kaki seseorang, yang sepertinya menggunakan sepatu berhak tinggi, berjalan mendekatiku.

Tak, tok, tak, tok...

" Siapa ya malam-malam begini masih di luar kamar? Tanyaku dalam hati, bingung.

" Uhuk, ehem, uhuk uhuk," terdengar seperti suara perempuan yang terbatuk-batuk di dekat kamarku. Aku terdiam, tidak melakukan pekerjaanku. Konsentrasi ku beralih ke suara perempuan di luar kamarku. Suara itu terdengar semakin mendekat, beradu dengan suara kipas angin di kamar. Sampai akhirnya, aku mendengar dengan jelas pintu kamarku terketuk sebanyak tiga kali

" Ya, siapa?" tanyaku, semakin bingung. Tapi, tidak ada respon apa pun, tidak ada suara yang menjawab pertanyaan ku. Padahal, aku merasa aku sudah bertanya dengan suara yang cukup keras, cukup untuk mendengar sampai keluar pintu kamar. Aku pun akhirnya beranjak untuk membuka pintu. Kebingungan semakin berlipat ganda, aku tidak menemukan siapa pun di depan pintu kamarku.

" Duh, siapa sih?" tanyaku dalam hati, sambil kembali menutup pintu kamarku. Tapi, tidak sampai lima menit aku menutup pintu tiba-tiba pintu kamarku kembali diketuk sebanyak tiga kali lagi, lalu suara sepatu itu terdengar kembali, tapi kali ini seperti menjauh dari kamarku. Buku kudukku seketika berdiri. Malam itu, kamar yang sebelumnya terasa dingin karena cuaca yang memang sedang dingin, kini terasa sangat panas. Aku berusaha menepis ketakutan dengan menyalakan musik. Supaya ga terlalu sepi, pikirku. Rasa kantuk yang melebur dengan musik yang aku nyalakan, akhirnya mengalahkan ketakutan yang menyerang ku.

Malam di hari pertama berhasil aku lewati. Pagi harinya aku menyempatkan diri untuk menemui Bu Nina. Aku penasaran dan ingin menanyakan kejadian semalam ke Bu Nina. Siapa tahu Bu Nina ada penjelasan tentang yang aku alami semalam, kataku dalam hati.

" Pagi, Bu. Bu, saya mau nanya. Semalam Ibu mampir ke kamar saya?" tanyaku kepada Bu Nina.

" Oh, gak kok," jawab Bu Nina, singkat.

" Tapi semalam saya mendengar ada suara orang seperti menggunakan sepatu heels berjalan mendekati kamar saya. Lalu ada suara perempuan yang terbatuk-batuk. Dan terakhir, gak ada siapa-siapa, Bu," kata ku panjang lebar, menceritakan kejadian yang aku alami semalam.

" Oh, itu. Itu Ibu Kepala Sekolah sudah datang," jawab Bu Nina seadanya, membuatku semakin bingung. Tapi, aku tidak bisa bertanya lagi terlalu banyak, karena bel sekolah sudah berbunyi, tanda kegiatan belajar-mengajar sudah harus dimulai. Tanda aku harus segera ke kelas.

Malam demi malam aku lewati dengan kejadian yang serupa. Jam sepuluh lebih sedikit. Suara langkah kaki dengan sepatu berhak tinggi, suara batuk seorang perempuan, hingga ketukan sebanyak tiga kali di pintu kamarku, menjadi pelengkap malam ku di asrama setiap harinya. Dan hasilnya juga selalu serupa, tidak ada siapa-siapa. Sampai pada suatu malam, ketika aku mendengar suara langkah kaki yang sama mendekat ke kamar ku, aku memberanikan diri untuk keluar dan mencari, bukan hanya sekedar membuka pintu saja.

"Ibu kepala sekolah? Apa ini ibu Kepala Sekolah, yang setiap malam lewat di depan kamar saya?" tanyaku lantang, berusaha sekeras mungkin, berusaha melawan segala rasa takut yang menyerang. Tidak ada jawaban, hanya keheningan yang menjadi jawaban, seperti biasanya. Tapi kali ini, aku tidak mau menyerah, aku memberanikan diri untuk bertanya lagi. Rasa penasaran mulai mengalahkan rasa takutku. Kepala Sekolah yang saat ini sedang menjabat adalah seorang laki-laki, kelas saja aku bingung ketika Bu Nina bilang tentang " Ibu Kepala Sekolah". Aku merasa harus mencari tahu, tapi tetap tidak ada jawaban. Kesal, ku banting pintu kamarku, dan langsung pergi tidur. Besok aku harus minta penjelasan Bu Nina, kataku dalam hati sambil bersungut-sungut.

" Bu, ingat waktu itu saya pernah cerita tentang suara-suara yang menggangu saya setiap malam? Kejadian itu masih terus berlangsung, Bu. Kata Bu Nina, itu Ibu Kepala Sekolah. Tapi saya gak paham, kepada Sekolah di sini kan laki-laki, Bu. Terus, itu siapa, dong?" tanyaku panjang lebar, seketika setelah bertemu Bu Nina.

" Kuntilanak," jawab Bu Nina singkat dan enteng. Deg! Aku kaget bukan main. Pertama, karena Bu Nina menyebut itu adalah kuntilanak. Kedua, karena Bu Nina bisa menjawab setenang itu.

Malam berikutnya, sehari setelah aku bertanya ke Bu Nina, tiba-tiba aku terbangun. Kulihat jam di dinding kamarku. Masih jam dua pagi, kataku dalam hati. Aku pun memutuskan untuk melanjutkan tidur. Tapi, ketika baru saja aku memejamkan mata, aku mendengar suara yang sangat berisik di luar kamarku. Seperti suara tiang besi yang dipukul. Aku memberanikan diri untuk keluar dari kamarku, melawan rasa kantuk, dan takut untuk menjawab semua rasa penasaranku. Sepertinya suara itu gak jauh dari sini, pikir ku sambil berjalan ke arah suara itu.

Aku terus berjalan sampai akhirnya tepat di pojok suatu ruangan yang remang-remang, di dekat ruang kesenian, aku melihat sesuatu. Seperti seseorang, atau sesuatu, entah apa atau siapa. Aku penasaran, aku berusaha mendekat. Penglihatan ku di bawah lampu yang tidak terlalu terang itu kini semakin jelas. Seseorang itu, atau mungkin lebih tepat ku sebut dengan sesuatu, memiliki rambut panjang yang menjuntai hingga menyentuh lantai tempatnya sendiri, sampai menutupi kakinya. Dan kini, tepat di depan mataku, sosok itu menatap ke arahku. Sesosok perempuan dengan rambut panjang dan memakai baju putih yang lusuh. Punggungnya seperti patah, badannya meliuk dengan sangat menyeramkan dan sosok itu mengeluarkan suara yang khas. Suara kuntilanak, persis seperti apa yang biasa kudengar dari cerita orang-orang tentang kuntilanak.

" Aaaakkkkk!" teriakku keras-keras, kaget bercampur takut. Tanpa berpikir panjang, aku langsung lari terbirit-birit ke kamarku. Ku banting pintu kamarku, ku kunci rapat-rapat, berharap sosok itu tidak masuk meskipun aku pernah dengar hantu bisa menembus ruangan. Ku benamkan seluruh tubuhku ke dalam selimut, berusaha memejamkan mata dan berharap pagi tiba lebih cepat.

Keesokan paginya, aku langsung mencari Bu Nina. Ia orang pertama yang sangat ingin aku temui pagi itu. Aku merasakan harus menceritakan semua yang aku alami. Beruntung, aku tidak perlu waktu lama untuk menemukan Bu Nina. Aku melihatnya sedang berjalan di belakang gedung sekolah, di tengah sawah yang luas dengan cekungan berderet-deret yang sejajar. Aku langsung menghampiri Bu Nina, ku ceritakan semua yang ku alami dengan detail mungkin, hingga akhirnya Bu Nina membuka suara, memberikan penjelasan jauh lebih banyak dari biasanya.

" Dulu, sebelum gedung sekolah ini berdiri, tempat ini adalah tanah pemakaman. Ibu sendiri juga mengalami yang kamu alami. Tapi karena sudah biasa, jadi Ibu gak lagi menggubris, gak lagi merasa terganggu," kata Bu Nina, yang langsung disambut dengan ekspresi wajahku yang memucat dan tubuhku yang terasa lemas dan gemetar.

Aku tidak mampu berkata apa-apa lagi, semuanya menjadi sangat jelas. Hantu-hantu dari pemakaman itulah yang menggangu setiap malam, sampai puncaknya aku bertemu dengan Ibu Kepala Sekolah yang ternyata adalah kuntilanak yang menjadi penguasa gedung sekolah dan asrama yang aku tinggali.

cerita di ambil dari buku Nightmare Side

Sekian cerita ini sampai ketemu di cerita selanjutnya terima kasih

Ingat kita berdampingan

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!