Aku dan Nicky meninggalkan sekolah, seperti janjinya tadi pagi, Nicky mengendarai motornya dengan stabil dan tidak ugal-ugalan lagi. Kalau begini kan aku lebih tenang.
Tiba-tiba Nicky membelokkan motornya masuk ke sebuah mall dan parkir tak jauh dari pintu masuk mall.
"Katanya mau istirahat." Kata ku pada Nicky.
"Ini istirahat." Katanya.
"Jadi tadi itu cuma alasan karena nggak mau main sama Giska?"
"Iya."
"Kenapa?"
"Gue nggak suka dia."
Aku melihat Nicky mengatakannya dengan sungguh-sungguh. Berarti selama ini Giska yang berusaha keras mengejar Nicky.
"Mau makan sushi?" Tanya Nicky saat kami berada tepat didepan restoran Jepang.
Aku mengangguk dan kami pun masuk ke restoran itu.
Setelah semua makanan yang kami pesan datang, Nicky makan satu persatu sushi dengan lahap. Tangannya sangat lihai menggunakan sempit, aku menatap wajahnya yang tampak serius menyantap makanannya.
"Nggak suka sushi ya?" Tanyanya dengan mulut penuh.
"Suka kok." Kata ku yang langsung menyuap sepotong sushi.
Kami menghabiskan semua makanan kami, setelah itu kami berjalan-jalan mengitari mall.
"Nicky."
"Hmm?"
"Ada yang mau gue bahas. Tapi tolong jangan kabur lagi."
"Hmm. Apa?"
"Kenapa lo lakuin itu ke gue?"
"Lakuin apa?"
"4 tahun lalu. Kenapa lo terus menghindari gue dan nggak mau bicara apapun sama gue?"
"Maaf."
Aku menunggu jawabannya dan dia hanya bilang maaf.
"Maaf apa?"
"Maaf karena terus menghindar dan nggak mau bicara sama lo."
"Ya Kenapa? Gue tanya alasannya. Kenapa lo lakuin itu?"
"Karena lo lihat gue nangis saat itu."
"Terus kenapa?"
"Gue malu."
"Hah? Cuma itu?"
"Lo juga lihat bagaimana keluarga gue hancur."
"Ya terus kenapa kalau gue lihat semua itu?"
"Lo nggak ngerti." Jawabnya sedikit tertekan.
Kami terdiam beberapa saat.
"Gue adalah orang yang perfeksionis, saking perfeksionisnya gue sering overthinking. Gue membangun image diri gue sebaik mungkin, dan gue nggak mau kelemahan gue diketahui orang lain." Tuturnya.
"Sementara itu gue selalu bekerja keras untuk jadi yang terbaik. Saat dirumah nggak ada seorang pun yang mengajak gue main ataupun bicara, gue mengisi kekosongan itu dengan belajar, bermain basket, sepak bola, dan juga latihan taekwondo. Sampai akhirnya gue bisa jadi juara kelas, pemain basket yang unggul, dan juga memegang sabuk hitam taekwondo. Bahkan nggak ada seorang pun yang tau kondisi keluarga gue selain lo. Gue senang saat orang lain membanggakan gue, sementara orang tua gue nggak pernah melakukan hal itu."
Ah iya, dia memang terkenal anak yang genius dan serba bisa. Bahkan semua orang yang mengenalnya menganggap Nicky punya kehidupan yang sempurna.
"Dibalik itu semua, gue juga punya rasa takut yang berlebihan. Seperti yang lo tau, keluarga gue adalah kelemahan bagi gue. Ayah gue yang tukang selingkuh dan sering membawa perempuannya kerumah, dan Ibu gue yang seperti tutup mata melihat semuanya tanpa memikirkan bagaimana anak-anak yang melihatnya. Gue takut lo akan bilang ke orang lain tentang keluarga gue. Gue takut semua kerja keras yang gue bangun selama ini akan sia-sia karena orang lain mengetahui bahwa sebenarnya hubungan keluarga gue berantakan. Gue nggak mau orang-orang mengasihani gue, gue juga takut lo berteman sama gue cuma karena kasihan. Gue takut lo akan menilai gue buruk. Jadi gue terus-terusan menghindari lo."
Aku tak bisa berkata-kata, speechless ini pertama kalinya aku mengetahui karakter dan sifat Nicky yang sesungguhnya.
"Tapi lo tau, pada akhirnya gue sadar kalau semua image itu nggak penting. Saat itu juga gue sadar kalau lo bukan orang yang seperti itu, lo nggak mungkin melakukan hal-hal yang gue takutin itu, gue sadar kalau ternyata kehidupan gue memang nggak sesempurna itu. Selama ini gue cuma punya lo yang selalu mengisi kekosongan gue, kita berteman sejak kita masih sangat kecil, gue cuma punya lo yang selalu ada saat gue sendirian.
Dan saat itu juga gue nggak punya keberanian lagi untuk menyapa lo lebih dulu. Saat gue menyadari itu semua, lo udah nggak melihat gue lagi."
Laki-laki itu menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap ku. Tangannya memegang kedua bahu ku dan menatap ku serius.
"Maaf." Katanya tulus.
Aku menghela nafas ku dan tersenyum padanya.
"Nggak apa-apa. Terimakasih karena lo udah jujur. Mulai sekarang jangan overthinking sendirian, ceritain lebih banyak hal ke gue. Ceritain apapun yang terjadi, apapun yang membuat lo senang ataupun nggak nyaman. Ceritain semuanya ke gue, okay?" Kata ku sambil menatap matanya.
Anak itu mengangguk.
"Ya ampun, Nicky udah dewasa sekarang. Lihat, bahkan tinggi gue hanya sedada lo! Terima kasih karena lo udah bertahan sejauh ini." Ucap ku sambil berjinjit untuk meraih kepalanya dan mengusapnya pelan.
Setelah itu suasananya jadi aneh, kami sama-sama merasa canggung.
Kami berjalan bersama mengitari mall tanpa tujuan. Berkali-kali tangan kami bersentuhan dan aku pun mendapatinya sedang menatap ku.
"Ehem. Gue peringatkan ya, jangan suka sama gue!" Kata ku sedikit ketus, sebenarnya untuk menutupi wajah ku yang memerah.
"Ehem. Lo juga bukan tipe gue." Jawabnya santai.
Jlebbb.. Aku tertohok.
"Emang tipe lo yang bagaimana?" Tanya ku sedikit penasaran.
"Kenapa mau tau?"
"Yaaaa, mau tau aja seberapa baik selera lo dalam melihat cewek."
"Hmm.. tipe gue cewek yang... anggun, tenang dan juga tinggi."
Sialan, dia sedang menyindir ku sepertinya. Semua hal yang dia sebutkan adalah kebalikan dari diriku.
"Oh." Jawab ku ketus.
"Kenapa? Lo kecewa karena nggak masuk dalam kriteria itu?" Tanya nya lagi.
"Ish sialan!" Aku memukul lengannya kesal.
Nicky hanya tertawa.
Kami melewati gerai kosmetik, dengan antusias aku masuk kesana. Mata ku berbinar saat melihat beberapa perona bibir dan pipi.
Wah, belum banyak warna dan jenis lipstik ya di jaman ini. Bahkan aku kesulitan mencari warna nude dan maroon yang cocok dengan ku.
"Emang lo bisa make up."
"Hey, di kantor gue yang paling ahli dalam makeup diantara teman-teman gue." Ucap ku refleks. Aku teringat di masa yang lain, aku memang paling jago makeup diantara rekan-rekan kerja ku.
"Hah?" Nicky bingung mendengarnya.
"Hahaha. Bisa dong. Kalau nggak bisa ngapain kita mampir kesini." Kata ku mengalihkan perhatiannya.
"Tadi lo bilang dikantor. Kantor mana?"
"Ke-kelas maksud gue. Kantor apanya." Kata ku mencari alasan.
"Oh." Dia percaya.
Aku berhasil memilih 2 warna lipstik untuk ombre gaya favorit ku, blush berwarna coral, pallet eye shadow 3 warna, bedak padat dan pensil alis. Sebenarnya aku juga mencari cushion, tapi sepertinya belum terkenal di Indonesia tahun ini, jadi sulit untuk mendapatkan dengan harga terjangkau. Akhirnya aku beralih pada bb cream yang cukup terkenal di era ini. Tak lupa aku membeli pelembab wajah dan juga sunscreen.
"Boleh gue pinjam uang lo? Akan gue ganti dirumah." Kata ku pada Nicky saat hendak menuju ke kasir.
Dengan kepercayaan penuh, Nicky memberikan dompet beserta seluruh isinya padaku. Aku menatapnya tak percaya. Rasanya seperti sedang berbelanja dengan suami ku, Mas Davi, yang selalu memberikan dompetnya padaku saat hendak membayar apapun.
Total belanja ku hampir Rp400.000, aku mengingat uang tabungan ku kalau tak salah sudah mencapai Rp700.000. Artinya aku masih punya Rp00.000 lagi.
Rp400.000 ditahun 2012 mungkin setara dengan Rp650.000 ditahun 2024. Aku tak percaya menghabiskan uang sebanyak itu untuk membeli kosmetik dimasa remaja ku. Tapi yasudahlah, kegemaran ku pada makeup memang tak bisa ku hindari lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments