Episode 2

Pemakaman Nicky

Jasad Nicky dimakamkan tanpa kehadiran Istri, Anak, dan juga keluarga Istrinya. Kesedihan yang mendalam dapat ku rasakan atas meninggalnya sahabat ku sedari aku kecil. Kenangan manis masa kecil ku bermain dengannya terus terngiang hingga aku tak sanggup menahan tangis ku.

Ku lihat tubuh jangkung laki-laki yang selalu menjadi bagian dari cerita masa kecil ku itu, dimasukkan ke liang lahat. Sendirian, tanpa kehadiran Istri yang dicintainya dan juga Anak yang dikasihi nya. Hanya seorang ibu yang tulus menemaninya hingga akhir hayat, bersama sang kakak yang juga turut mengantarnya. Ayah nya? Entah dia berada ditengah laut mana.

Sejak kecil Nicky memang jarang bertemu ayahnya mengingat profesi sang ayah adalah seorang pelaut. Bahkan ketika kedua orang tuanya bercerai dan mengharuskan Nicky berpisah dengan ibunya, ayahnya pun tak sering berada di sisi Nicky. Jika boleh memilih, Nicky ingin ikut bersama ibunya saat itu. Namun sang ayah menahannya dan berjanji akan selalu ada di sisi Nicky sebagai gantinya, tapi itu semua hanya omong kosong belaka. Pada akhirnya Nicky tetap ditinggalkan demi kecintaannya pada profesi dan juga laut. Dapat dibayangkan betapa kesepiannya Nicky selama ini.

Seandainya waktu dapat berputar, aku ingin kembali ke masa remaja ku. Dimana semua orang meninggalkannya, dan aku akan tetap tinggal disisinya, menjadi teman baiknya.

***

Senja mulai datang. Ku lihat Tante Elsa duduk termenung memeluk foto anak laki-laki nya yang baru saja pergi. Air matanya telah habis, namun hatinya masih perih.

"Mbak, Nicky sakit apa?" Tanya ku pada Mbak Vanessa yang sedang melipat kain bekas penutup jenazah Nicky.

"Seminggu lalu kami dapat kabar kalau dia demam. Mbak kira cuma demam biasa, Mbak nggak tau kalau akhirnya begini." Ucap Mbak Vanessa yang dengan sisa isakannya.

"Sudah sempat dibawa ke RS, Mbak?" Tanya ku lagi.

"Nggak tau, Ri. Aku sama Mama kan di Bandung. Giska dari pagi sama sekali nggak bisa diajak ngomong."

"Siapa yang mengabari Mbak Vanessa?"

"Giska. Jam 4 pagi dia menelpon, tapi cuma bilang 'Mbak, Nicky sudah pergi.' lalu langsung ditutup. Aku nggak ngerti maksud dia apa. Tapi perasaan ku nggak enak, Aku dan Mama langsung kesini. Ternyata Nicky benar-benar sudah pergi." Ucapnya lagi sambil menangis.

Aku memeluk Mbak Vanessa dan mengusap punggungnya untuk menenangkannya.

"Aku coba ajak bicara Giska ya Mbak?" Tanya ku lagi.

"Iya, tolong ya, Ri." Mbak Vanessa menyeka air matanya.

Aku mencoba mencari dimana kamar Giska dan Nicky, rumahnya sangat luas hingga aku kesulitan mencari dimana kamarnya. Aku menaiki tangga yang lumayan besar, dari sana terlihat sebuah pintu besar yang langsung ku yakini bahwa itulah kamar Giska dan Nicky.

Aku membuka pintu besar itu perlahan, namun aku sangat terkejut melihat pemandangan yang ada dihadapan ku.

Giska yang sedang meringkuk, seekor kucing yang tergeletak dilantai dengen bersimbah darah, beberapa obat tercecer, dan sebuah gunting ditangan wanita itu.

Tubuh ku bergetar, namun aku mencoba untuk tenang. Aku berpikir sejenak, mungkin Giska sedang kalut. Jika aku mendekat, bagaimana kalau dia menyakitiku dengan gunting ditangannya? Apa aku teriak saja? Tunggu.. Apa jangan-jangan Nicky meninggal bukan karena sakit tapi karena dibunuh?

Aku merogoh ponsel di saku ku, lalu mencari kontak teman ku yang seorang polisi. Aku membagikan lokasi ku saat ini kepadanya terlebih dahulu lalu kemudian aku segera menghubunginya.

"Hallo, Ri." Jawabnya.

"Revan! Ada kasus kematian, tapi gue curiga ini adalah pembunuhan. Gue akan coba ajak bicara istrinya yang gue curigai sebagai pelaku. Gue merekam panggilan ini dan tolong jangan dimatikan. dengarkan baik-baik, jika gue terancam tolong segera datang dengan bantuan." Ucapku cepat dengan suara pelan.

Aku meletakkan ponselku kembali ke saku celana ku. Kemudian aku beranikan diri untuk bicara dengan Giska.

"Giska?" Panggil ku setelah mengetuk pintu kamarnya.

Wanita itu tak bergeming.

"Astaga, Giska!" Aku berpura-pura kaget namun tetap tenang.

Aku mendekatinya pelan-pelan dan mengambil gunting dari genggamannya, setelah ia melepaskan gunting itu segera ku lempar jauh-jauh.

Aku mencoba memeluk tubuh rampingnya untuk menenangkannya.

"Giska? Lihat gue. Lo kenal gue kan? Apa yang terjadi?" Aku mencoba mengangkat kepala Giska yang sedari tadi menunduk.

"Rivanza." Ucapnya lirih.

"Lo pasti cari Nicky ya? Nicky udah pergi. Dia ninggalin gue sendirian." Ucap Giska pelan dengan air mata yang terus mengalir.

"Dia bilang dia nggak bakal ninggalin gue, tapi dia malah pergi. Kenapa semua orang ninggalin gue? Hiks." Lanjutnya.

Melihat Giska menangis membuat air mata ku mengalir juga. Aku kembali memeluk Giska. Namun hati ku tak bisa tenang.

Aku melihat sebuah botol obat anti depresi didekat tubuhnya. Jadi obat yang tercecer itu adalah obat anti depresi?

"Giska. Ini obat siapa? Apa ini obat yang diminum Nicky sebelum pergi?" Tanya ku selembut mungkin pada Giska.

"Obat? Itu bukan obat! Itu cokelat yang buat hidup gue tenang." Jawab Giska melotot.

Aku mencoba meraih botol obat itu dan memungut isinya yang berceceran. Namun dengan cepat Giska meraih tangan ku.

"Jangan sentuh itu!" Bentaknya sambil mencengkram tangan ku dengan kuat.

"Ah." Aku meringis mencoba melepaskan tangan ku dari genggamannya.

"Giska sakit!" Bentak ku pada Giska yang tak mau melepaskan cengkramannya.

"Jangan pernah sentuh benda favorit gue. Susah payah gue cari ini kemana-mana karena Nicky berusaha menyembunyikannya dari gue. Selama berhari-hari rasanya gue hampir gila karena nggak menemukan cokelat ini."

Mata Giska merah memelototi ku.

"Iya iya, okay! Gue nggak akan sentuh cokelat itu. Tolong lepasin tangan gue." Ringis ku kesakitan, namun cengkraman Giska semakin kuat.

Aku mendorong tubuhnya dengan kuat hingga Ia terjatuh, namun Ia segera bangkit dan langsung mendorong ku balik hingga aku tersungkur. Tiba-tiba tubuhnya menindih tubuhku dan langsung mencekik ku.

Aku hanya bisa meronta-ronta dan memohon pada Giska untuk melepaskan ku.

"Giska! Uhuk! Tolong!" Teriak ku sebisa mungkin.

"Lo nggak lihat kucing itu? Dia mati karena menumpahkan cokelat gue. Lo mau bernasib sama dengan kucing itu? atau... Nicky?" Ucap Giska dengan tak melepaskan tangannya dari leher ku.

Giska is Psycho! Teriak ku dalam hati.

"Nicky. Dia nggak sakit kan? Tapi lo bunuh?" Aku bertanya sekuat tenaga ku.

"Hahahaha. Hahahaha. Hiks. Hiks." Giska tertawa getir, sedetik kemudian menangis.

Dia melonggarkan cengkramannya, namun tetap memegangi leher ku dan menahannya dengan kuat, membuat ku susah bergerak.

"Nicky! Hiks. Hiks. Nicky! Aku harus gimana?" Giska tiba-tiba histeris memanggil nama Nicky.

"Giska! Nicky nggak sakit kan? Lo yang bunuh Nicky kan?" Bentak ku kesal.

Kemudian Giska menatap ku tajam dengan mata memerah. Dia kembali mengeratkan cengkraman tangannya pada leherku yang membuat ku kesulitan bernafas.

"Gis.. Hhhhhh..." Ucap ku tertatih sambil mencoba mendorongnya, namun Giska sangat kuat.

"Iya. Nicky menyiksa gue selama berhari-hari karena menyembunyikan cokelat gue. Apa lo juga penasaran gimana cara gue bunuh suami gue sendiri? Rasakan ini." Giska makin brutal mencekik ku. Sudah tak ada ampun diriku baginya.

Apa aku benar-benar akan mati juga ditangan Giska?

Tiba-tiba terdengar suara dobrakan pintu yang sangat kuat. Aku dan Giska menoleh kearah tersebut. Sekilas ku lihat teman ku, Revan, datang bersama kawanan polisinya. Namun aku sudah kehabisan nafas, penglihatan ku kabur dan semua menjadi gelap.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!