Bicara dari Hati

Laras berbaring di ranjang rumah sakit, merasakan kekosongan yang dalam di hatinya. Sudah beberapa hari berlalu sejak kegugurannya, dan meskipun tubuhnya perlahan pulih, jiwanya masih terluka.

Dokter Pram yang juga yang kadang juga merawatnya, berdiri di sampingnya dengan wajah yang sama, datar dan dingin. Meskipun ia tahu suaminya itu peduli, Laras sering merasa kesepian di balik sikap profesionalnya.

Setiap hari, pria itu datang dengan rutinitas yang sama, memeriksa tanda vitalnya, memastikan obat-obatannya diminum tepat waktu, dan mengingatkan perawat untuk selalu mengawasinya.

Tidak ada kata-kata manis atau pelukan hangat yang Laras dambakan. Ia hanya menerima perhatian yang kaku dan tegas, seolah-olah pria itu sedang merawat pasien biasa, bukan istrinya sendiri.

"Hari ini bagaimana perasaanmu?" tanya Dokter Pram sambil memeriksa catatan medis.

"Lebih baik, Mas! Hanya saja ...." Laras terdiam, tak tahu bagaimana melanjutkan kata-katanya.

Dokter Pram menatapnya sejenak sebelum kembali fokus pada catatan medis. "Kamu harus istirahat banyak. Jangan memaksakan diri dan banyak berpikir!"

Laras mengangguk, merasa kata-kata itu bukan hanya perintah medis, tapi juga perintah suaminya yang tak ingin ia terlalu stress dan banyak memikirkan hal-hal yang tak perlu.

Hari pun berlalu, dan akhirnya Laras diizinkan pulang setelah hampir seminggu ia dirawat. Perjalanan pulang ke rumah terasa berat baginya. Rumah yang dulu penuh dengan harapan dan impian kini terasa hampa. Namun, ia tahu bahwa ia harus tetap kuat.

Setibanya di rumah, Dokter Pram langsung mengatur segala sesuatunya. Ia memastikan bahwa Laras beristirahat di kamar, dan melarangnya untuk melakukan aktivitas apapun.

"Kamu butuh waktu untuk pulih sepenuhnya, Laras. Jangan memaksakan diri," katanya tegas.

Laras mencoba untuk patuh, meskipun sulit baginya untuk hanya berbaring dan tidak melakukan apa-apa. Ia merasa terperangkap dalam tubuhnya sendiri, dengan luka yang masih menganga. Dokter Pram selalu berada di dekatnya, tapi kehadirannya terasa jauh. Ia selalu tegas, selalu profesional, seolah-olah menjaga jarak emosional yang tak bisa dipecahkan oleh Laras.

Malam itu, setelah makan malam, Dokter Pram pergi ke ruang kerjanya seperti biasa. Laras menunggu di ruang tamu, berharap pria itu akan kembali dan menemaninya untuk sekedar menonton TV. Namun, jam terus berdetik, dan Dokter Pram tetap di ruang kerjanya, terisolasi dengan pikirannya sendiri.

Laras akhirnya memutuskan untuk mengikutinya. Ia berjalan pelan menuju ruang kerja sang suami dan mengetuk pintu dengan lembut.

"Mas, boleh aku masuk?"

Dokter Pram membuka pintu, terlihat sedikit terkejut dengan keberadaan Laras.

"Ya, ada apa?"

"Aku hanya ingin bicara," kata Laras pelan.

Dokter Pram menghela napas dan mengangguk, membiarkan Laras masuk.

"Apa yang ingin kamu bicarakan?"

Laras duduk di kursi di depan meja Dokter Pram, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Pria itu duduk di hadapannya, keduanya terpisahkan jarak oleh meja kerja.

"Mas, aku merasa kita semakin jauh. Aku tahu kamu masih terpaku pada kenangan bersama Mbak Naina, tapi ...."

Dokter Pram menunduk, tatapannya kosong.

"Laras, saya ... saya minta maaf. Naina adalah bagian besar dari hidup saya, dan kehilangan dia sangat sulit bagi saya."

"Aku mengerti, Mas. Tapi aku juga istrimu sekarang. Aku butuh kamu untuk melihatku, untuk mencintaiku seperti kamu mencintai Mbak Naina," kata Laras dengan suara bergetar. Dia sudah memikirkan matang-matang semua yang mengganjal ini.

Pram menghela napas panjang, "Laras, saya tidak tahu apakah bisa mencintai lagi seperti dulu. Naina adalah cinta pertama, dan kehilangan dia meninggalkan luka yang dalam."

Laras merasa air mata mulai menggenang di matanya. "Mas, aku tidak meminta kamu untuk melupakan Mbak Naina. Aku hanya ingin kamu memberiku kesempatan untuk mencintaimu, dan menerima cintaku."

Dokter Pram terdiam, menatap Laras dengan mata yang tak terbaca, tanpa ekspresi berarti. "Saya minta maaf, Laras. Saya tidak ingin menyakitimu. Saya hanya butuh waktu."

Laras mengangguk, meski hatinya hancur.

"Aku akan memberimu waktu, tapi tolong ... jangan biarkan aku merasa sendirian, Mas."

"Saya akan berusaha!"

Hari-hari berikutnya, Laras mencoba untuk tetap kuat. Ia tahu bahwa cinta Dokter Pram pada Mbak Naina adalah sesuatu yang tak bisa ia gantikan, tapi ia berharap bisa menjadi bagian dari hidup pria itu yang baru. Ia mencoba mencari kebahagiaan dalam hal-hal kecil, seperti merawat rumah dan memasak makanan favorit Dokter Pram. Namun, setiap kali ia melihat pria itu terdiam dan tenggelam dalam pikirannya, hatinya selalu terasa berat.

"Mbak, makan dulu!" Bi Darti membuyarkan lamunan Laras yang pagi-pagi sudah melamun

Dokter Pram yang duduk di depannya meliriknya sejenak, "jangan melamun saat menghadap makanan!" tegur pria itu.

Laras mengangguk, memgambil sarapannya dan menyuapnya dengan tak berselera. Ia merasa kosong, sepi, dan tak ada gairah hidup. Rasanya semua memuakkan dan Laras sungguh tak ingin melakukan apapun, tapi hari ini ia harus berangkat kerja kembali.

"Mam!"

Laras menoleh pada balita berusia 3 tahun sebentar lagi itu. Bagas menyodorkan biskuitnya pada Laras, membuat Laras tersentuh dan tiba-tiba netranya berkaca-kaca ingin menangis.

"Terima kasih, sayang!" Laras menggigit kecil biskuit yang disodorkan Bagas, mengecup singkat pipi balita itu yang tersenyum ceria.

"Kalau kamu masih belum sehat, istirahat saja!" ujar Dokter Pram memperhatikan Laras dan Bagas.

"Sudah sehat, Mas!" sahut Laras singkat.

Dokter Pram mengangguk. Keduanya berangkat bersama dalam keheningan, Laras masih merasa malu mengingat percakapan seriusnya dan pernyataan cintanya yang tak ada manis-manisnya pada pria itu. Sudahlah, Laras tak mau mengingatnya dan kalau bisa langsung lupa pada pembicaraan itu. Itu memalukan untuknya.

"Jangan diam saja dan menghindari saya, Laras!"

Dokter Pram menahan lengan Laras yang hendak turun dari mobil. Mereka sudah sampai di ruamh sakit, dan dalam perjalanan hanya tercipta hening.

"A--anu, Mas ...." Laras bingung harus mengatakan apa.

"Kenapa?" Pria itu menelisik wajah Laras yang memerah. Menahan tangan wanita itu agar tidak keluar dulu dari mobil.

"Aku malu!" jawab Laras cepat. Menutup mata dan mengalihkan wajah.

Dokter Pram terdiam. Namun, segera menyeringai paham mengapa wanita itu malu dan menghindari dirinya.

"Kenapa begitu? Saya suamimu dan wajar kalau kamu mengungkapkan perasaanmu pada suamimu sendiri!"

Pria itu mengarahkan wajah Laras menghadapnya, dan Laras membuka matanya hingga kedua netra mereka bertatapan. Pria itu mendekatkan wajah mereka, membuat Laras menahan napas.

"Sudah, keluar sana!"

Laras kira Dokter Pram akan menciumnya, ternyata hanya kecupan singkat di kening. Laras mengumpat dalam hati karena dirinya yang berpikir terlalu jauh itu.

Laras bergegas keluar dari mobil dan meninggalkan Dokter Pram yang menyunggingkan senyumnya tipis tanpa Laras tahu. Pria itu mengembuskan napas, menatap stir di depannya dengan pikiran berkelana.

"Nai, kehilanganmu masih begitu menyesakkan, tapi hidupku harus terus berjalan, kan?"

...To Be Continue .......

Terpopuler

Comments

Sendyy

Sendyy

move on dong pak dok

2024-08-10

0

Yus Warkop

Yus Warkop

sampe kapan dr pram mau melupakan yg telsh meninggal .buang " waktu aja kasian istrimu pram itu menyakitkan . kalo gak bisa ngasih cinta sama istrimu sudul aj tuh kr kuburan jangan nikah lagi hiliran kebutuhan biologismah kamu sedep eh ngasih hati pekit jahat egois itu namanya dr pram . istrimu berhak kamu bhagiakan seutuhnya !

2024-07-22

3

🎀evalidya 🆁🅰🅹🅰 ❀∂я

🎀evalidya 🆁🅰🅹🅰 ❀∂я

pergi laras pergi
daripada sakit hati
biarkan pram berhalusinasi
dgn masa lalunya....
biarkan saja....

2024-07-22

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!