"Ihh, nggak!" teriak Laras dengan pikirannya sendiri.
"Kenapa kamu teriak-teriak seperti orang gila sore-sore begini?"
Laras tersentak kaget dan menoleh pada Dokter Pram yang menatapnya dengan datar. Duh, dia jadi takut dengan pria itu.
"Eh--itu, Mas...."
"Simpan tenaga kamu untuk teriak nanti malam saja!" dengus dr. Pram datar.
Ucapan Dokter Pram malah membuat pikiran Laras tambah berkelana dengan apa yang akan mereka lakukan nanti malam. Apakah mereka harus melakukan itu? Laras tidak siap.
Malam itu untuk pertama kalinya Laras sholat dengan diimami seorang pria yang tidak pernah ia sangka-sangka kini menjadi suaminya. Takdir sepertinya sangat senang mempermainkan hidupnya. Ketika Dokter Pram menyelesaikan doanya dan berbalik ke arahnya, Laras segera menyambut uluran tangan pria itu dan menciumnya. Desir hangat itu Laras rasakan ketika tangan hangat sang suami mengusap pucuk kepalanya.
Laras masih duduk di atas sajadahnya menatap gerak gerik dr. Pram yang membuka peci dan sarungnya. Kini pria itu hanya berstelkan kaos santai dan celana pendek selututnya.
"Nunggu apa lagi? Bergegas kita mau makan malam!" Suara tegas dan kaku dr. Pram itu menyadarkan Laras dari lamunannya. Perempuan itu bergegas bangkit dan melipat sajadah serta mukenanya.
Laras mengikuti langkah dr. Pram keluar dari kamar dan mereka berjalan beriringan menuju meja makan. Laras berjalan di belakang pria itu karena ia tak berani mendahului sang suami. Ternyata di meja makan sudah duduk kedua mertuanya dan juga bagas yang duduk di kursi khusunya. Balita itu tertawa ceria bersenda dengan sang Kakek. Orang tua Dokter Pram ternyata pulang sebentar tadi dan kembali ke sini demi mendekatkan diri pada Laras yang baru sampai.
"Wah aura pengantin baru emang beda banget ya," ucap Ibu mertuanya ketika dr. Pram dan Laras duduk bersisian. Laras hanya menunduk sungkan, sedang dr. Pram hanya mengendik acuh.
"Kalian masih cuti 4 hari lagi, kan? Mama sudah minta Pak Maman bersihin villa kita yang di Bogor, Pram. Sekarang gak apa-apa kan bulan madunya di deket-deket sini dulu?"
Laras tersedak ludahnya sendiri ketika pertanyaan itu dilayangkan Mama mertua. Bogor? Bulan madu? Artinya mereka hanya berdua saja, kan? Tidak ... mau jadi apa mereka berdua di dalam satu ruangan yang sama dengan dr. Pram yang amat sangat kaku dan acuh itu.
"Ehm ... kayaknya ...."
"Aman, Ma." Laras menoleh mendengar jawaban dr. Pram itu. Aman dia bilang? Aman bagaimana maksudnya? Ck, kesal sekali Laras dengan pria irit bicara di sampingnya ini.
"Nah oke kalau begitu. Kalian kan belum banyak mengenal dekat, dengan bulan madu dan menghabiskan waktu berdua Mama harap kalian bisa lebih mengenal satu sama lain sebagai pasangan. Bagaimanapun kepergian Naina sudah hampir 2 tahun," ujar Mama Ajeng lagi. Kini ada nada sendu dalam ucapannya.
"Benar. Papa juga berharap kalian bisa menjadi orang tua dan pasangan yang kompak dalam membesarkan Bagas," sahut Papa Aditya dengan ekspresi datarnya.
Laras dan dr. Pram terdiam dan mengangguk singkat. Setelahnya tidak ada lagi pembahasan karena mereka sudah fokus menyantap makan malam. Laras hanya mengambil nasi dan lauk sedikit karena ia tidak berselera lagi untuk makan memikirkan semua ini. Kacau, pikirannya tidak tenang dan Laras merasa takut.
Laras sudah masuk ke kamar mereka setelah menemani Bagas hingga balita itu tertidur. Laras senang dekat-dekat dengan Bagas karena balita itu sangat mudah tertawa dan begitu menggemaskan.
"Aduhh!" Laras meringis ketika ujung kakinya terantuk ujung ranjang karena dirinya yang tak berhati-hati.
"Ceroboh!" Dengusan dan nada datar itu berasal dari dr. Pram yang sedang membaca buku di ranjang dengan bersandar.
Laras mencebik menghiraukan keberadaan pria itu. Berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi sebelum tidur.
"Aduh, gak bisa! Aku belum siap ngelakuin itu sama Mas Pram!" Laras menggaruk kepalanya yang tak gatal dengan wajah menampakan kekalutan.
"Laras, lama sekali kamu di dalam sana cepetan!"
Laras meringis mendengar suara bass dan datar pria itu. Persis seperti orang yang sedang marah. Gimana ini? Kenapa pria itu buru-buru sekali memintanya cepetan.
Memantapkan hati dan mengontrol kekalutannya, Laras melangkah keluar dari kamar mandi dan mengucap istigfar dalam hati karena langsung berhadapan dengan dr. Pram yang ternyata menunggu di depan pintu kamar mandi.
"Minggir!"
Laras mendengus dan melotot ketika dr. Pram menyingkirkan dirinya dari depan pintu kamar mandi dan pria itu masuk ke sana dengan membanting pintu. Sial, Laras kira pria itu tak sabar melakukan 'itu' ternyata tidak sabar mau buang air. Ck, menakut-nakutinya saja.
Laras membaringkan dirinya di kasur berukuran king size itu. Ada foto pernikahan mereka tertempel di samping kamar dan juga foto Mbak Naina sudut lainnya yang sedang tersenyum sangat cantik di foto itu.
Laras mengenang kebersamaannya dengan sepupunya itu. Mbak Naina adalah sosok teladan dan Kakak sepupu yang amat baik padanya. Tidak ada satupun keirian yang Mbak Naina rasakan padanya ketika Tante Suci membawanya ke ruamh mereka.
Sisi kasur yang bergoyang di sebelahnya menyadarkan Laras dari lamunannya. Laras langsung membaringkan diri dan menarik selimut sampai ke dada, mengamati gerak-gerik dr. Pram yang ternyata masih mau melanjutkan bacaannya. Huh, mengagetkan saja.
"Tidurlah, saya masih mau membaca," ujar dr. Pram datar.
"Ehm ... ki--kita gak jadi mau itu, Mas?"
Laras langsung menutup mulutnya karena pikiran dan perkataannya bertolak belakang sekali.
dr. Pram mengalihkan tatapannya dari buku di pangkuannya. Beralih menatap Laras tajam, membuat Laras meneguk ludah dan menggigit bibir bawahnya resah. Aduh, dr. Pram marahkah? Dasar mulut Laras yang tidak bisa menjaga ucapan ini.
"Ma--Mas Pram mau ngapain?" Laras nyaris berteriak ketika dr. Pram mendekatkan wajah mereka hingga kini hanya tersisa jarak sejengkal.
"Kamu masih kecil buat mengerti begituan!" bisik dr. Pram di depan wajahnya, lalu setelahnya menyentil kening Laras membuat perempuan itu mengaduh dan memberengut kesal.
"Siapa bilang aku masih kecil? Aku sudah 25 tahun, ya. Badanku saja yang gak mau tumbuh ke atas!" ujar Laras mendengus kesal menyadari bahwa badannya memang sangat kecil dan pendek. Aduh, Laras harus disadarkan kembali bahwa tinggi badannya hanya 152 cm.
"Itu sadar!" sahut dr. Pram menyeringai.
Laras tak menyahut lagi. Memilih membelakangi dr. Pram dan mulai memejamkan matanya. Yes, dia selamat karena nyatanya pria itu sedang tidak ingin melakukan itu. Tidak butuh waktu lama, Laras yang sungguh sangat lelah beberapa hari ini dari awal persiapan pernikahan hingga pindahan, tertidur dengan cepat. Dengkur halusnya terdengar hingga ke telinga dr. Pram yang sempat menoleh pada perempuan itu.
"Nai, kamu tahu ini berat sekali untukku. Membawa wanita lain yang tidak kucintai ke ranjang kita sunggu menyesakkan," guman dr. Pram menatap potret almarhumah istrinya.
Dokter Pram menutup buku bacaannya dan ikut membaringkan diri di samping Laras. Keduanya tidur saling memunggungi dan terlelap tanpa ada percakapan dan malam pertama yang diharapkan orang-orang pada mereka. Mereka berdua belum siap untuk malam ini, butuh jeda untuk menerima dan untuk saling merasakan debar itu.
...Bersambung.......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Sendyy
move on dongs dok, 2 tahun nih bisa yok beralih hati hehe
2024-08-10
0
faridah ida
laah malah nanya nih sih Laras ... 😄🤭
nanti di terkàm baru tahu kamu Laras .../Facepalm//Facepalm/
2024-07-17
2
Afternoon Honey
masih menyimak membaca novel ini 📖
2024-07-11
2