Sudah hampir dua bulan Laras bekerja di rumah sakit dan dua bulan juga umur pernikahannya dengan dr. Pram. Meskipun hubungan mereka masih canggung dan kaku, setidaknya banyak hal-hal yang telah mereka lakukan dalam membuat hubungan pernikhan lebih baik.
Jarum jam sudah menunjukkan angka jam setengah sepuluh malam. Laras dan rekan satu shiftnya sedang merampungkan laporan mereka hari ini sebelum berganti shift ke shift 3 jam 22.00 nanti.
"Boleh gak sih kalau aku jatuh cinta sama Dokter Pram?" tanya Laras ketika selesai dengan ketikan tugasnya.
Wanita itu memutar kursinya menghadap kursi Naomi yang ada di sampingnya. Laras sedikit berbisik, takut dua rekan satu shiftnya mendengar obrolan mereka.
"Nganeh-nganeh aja deh pertanyaan lo, Ras!" sahut Naomi masih merampungkan laporannya.
"Gak boleh ya?" tanya Laras menyenderkan dagunya dengan tumpuan tangan di atas meja.
"Aneh banget deh, kalian kan suami istri wajarlah kalau lo cinta sama suami lo. Apalagi Dokter Pram emang seganteng itu, ya gue sih gak heran kalau lo cepat jatuh cinta." Naomi menyahut dengan tetap fokus pada komputer di hadapannya.
"Tapi, Mi ... kayaknya Dokter Pram masih begitu mencintai Mbak Naina dan masih sulit buat buka hatinya untuk orang lain. Apalagi dibandingkan sama Mbak Naina gue tuh jauh banget. Cantik enggak, pinter enggak, pendek juga kayak kurcaci ...." Laras berujar lirih.
Mendung menghiasi wajahnya. Gini amat sih nasib percintaannya yang pertama. Sukanya sama pria kaku seperti Dokter Pram lagi.
"Sakit, Mi. Kenapa kamu mukul aku?" Laras mengusap keningnya yang disentil Naomi dengan pulpen.
"Lo gak bersyukur makanya gue sentil tuh jidat biar isinya beneran dikit. Lagian siapa yang bilang lo jelek, Larasati? Semua ciptaan Tuhan tuh udah diciptain dalam bentuk yang paling sempurna."
Naomi menarik napas, "jadi lo harus bersyukur sama apa yang udah Tuhan kasih ke lo. Kalau otak lo gak pinter lo juga gak mungkin bisa lulus sarjana dan sekarang kerja di sini. Stop juga bandingin diri lo sama orang yang sudah tenang di atas sana!"
Naomi menatap Laras dengan netra memicing. Tak habis pikir dengan rasa rendah diri Laras itu
"Mi, ini beneran lo, kan? Masha Allah panjang banget kultum kamu dan sangat mengena di hati aku," sahut Laras yang tadi sempat terpana beberapa detik akan ucapan rekannya itu.
"Ini masih gue. Lo gini amat deh kalau dapat shift malam. Galau ya bun gak dikasih jatah sama Pak Su?" goda Naomi mengedipkan matanya penuh maksud.
Laras mendengus, Naomi tidak tahu saja kalau sampai sekarang dia bahkan belum disentuh oleh pria itu. Ck, nasib memang menikah dengan pria yang masih mencintai mendiang sang istri.
Malam itu Laras pulang dijemput Pak Maman, dia sampai ke rumah dan mendapati suasana sunyi. Ya, sudah cukup larut memang. Laras melangkahkan kaki segera menuju kamar. Begitu ia membuka pintu, dia menemukan dr. Pram yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk terlilit.
"Baru sampai?" tanya pria itu datar.
Laras yang tadi tertegun memandang gugup pada tubuh kekar pria itu pun tersadarkan.
"Iya, Mas."
Laras berjalan menuju meja rias, meletakkan tasnya di sana. Ia segera masuk ke kamar mandi begitu dr. Pram memasuki ruang ganti. Dia butuh menyegarkan diri, agar bayang-bayang tubuh pria itu yang menggoda matanya tadi segera hilang.
Lima belas menit Laras habiskan di kamar mandi, tapi begitu ia selesai baru Laras sadar bahwa dirinya lupa membawa bathrobenya. Terpaksa Laras mengenakan handuk yang ada dan keluar dari kamar mandi. Laras baru ingat dan sadar bahwa dr. Pram ada di kamar. Begitu ia keluar hanya dengan handuk terlilit membungkus hanya dari dada hingga sebatas pahanya, Laras tertegun dan pria itu pun terpaku.
Tidak mau berlama-lama, Laras langsung berlari kecil menuju ruang ganti. Ia menghela napas lega dan memegang dada yang berdebar. Tatapan dr. Pram tadi sungguh membuat Laras merasa panas dingin.
"Bisa-bisanya aku lupa kalau Mas Pram sudah pulang," gumamnya selagi mengenakan piyama tidurnya.
Laras keluar dari ruang ganti dan segera berbaring di sisi ranjang yang kosong. Mereka sama-sama diam. Laras mencuri-curi tatap pada dr. Pram yang masih sibuk dengan handphonenya. Pria itu tampak serius.
"Laras!"
"Mas!"
Keduanya hampir bersamaan membuka suara. Laras duduk dari posisi berbaringnya tadi. Dokter Pram pun telah meletakkan ponselnya di nakas. Keduanya saling tatap.
"Silahkan kamu duluan!" ucap dr. Pram datar.
"Ki--kita tidak pernah melakukan itu, Mas!" ucap Laras terbata dan cepat. Ia menunduk, memilin jemari di pangkuan.
"Memangnya kamu bersedia dan siap saya sentuh?" tanya dr. Pram tetap datar. Tatapan pria itu menajam.
"Saya sudah Mas ambil sebagai istri. Sudah menjadi hak Mas jika memang ingin menyentuh istri Mas sendiri," ucap Laras kali ini berani menatap netra sang suami.
"Kamu tahu kita menikah karena Saya harus mengabulkan permintaan terakhir Naina, kan? Kamu juga tahu bahwa pernikahan yang kini jalani ini penuh dengan keterpaksaan di antara kita ...."
"Aku tahu, Mas. Namun, aku tetap istri Mas yang berhak mendapat hak lahir dan batin dari Mas, kan?" Laras menatap penuh keraguan pada dr. Pram.
Dia sungguh takut pria itu marah, tapi jika ingin pernikahan mereka berlangsung hingga akhir, maka perlu keterikatan emosional di antara mereka. Laras tahu bahwa cinta dan hubungan badan bukanlah satu hal yang bisa disamakan, tetapi dia hanya ingin benar-benar menjadi istri untuk pria yang kini sudah ia anggap sebagai pria yang berarti bagi dirinya.
"Kamu benar-benar tidak akan menyesalinya?" Dokter Pram memutus jarak di antara mereka.
Laras mengangguk yakin, ia mengalungkan lengan pada leher sang suami. Tanpa menunggu pria itu bergerak, Laras telah menyatukan bibir mereka dan balasan dari sang pria membuat Laras merasa senang. Dia tidak ditolak kali ini, dan keduanya saling mencecap bibir lawan masing-masing dengan menggebu-gebu.
Pria itu menarik rebah tubuh mereka dan keduanya saling menyentuh dan mengenali tubuh masing-masing. Sesekali Laras menahan diri dari suara aneh yang ia keluarkan ketika dr. Pram menyentuh titik sensitifnya. Dia benar-benar merasa seluruh tubuhnya memanas dan terasa sensitif di semua titik karena ulah tangan sang suami.
"Kamu benar-benar menginginkan ini, kan?" tanya dr. Pram dengan napas memburu, mengukung tubuh Laras di bawahnya.
Laras mengangguk dengan wajah memerah dan rambutnya yang telah acak-acakan. Piyamanya tidak tahu telah hilang kemana karena pria melemparnya entah kemana.
"Ssttt!" Laras meringis dan terpekik tertahan ketika dirinya benar-benar sudah menyerahkan sang pria menjadi yang pertama baginya.
Keduanya saling memandang, Laras dengan netra sayu dan senyum tulusnya, sedang dr. Pram dengan wajah memerah kaku tanpa ekspresi, tetapi usapan pria itu di kening Laras yang berkeringat sudah mampu menghantarkan hangat di relung dada sang wanita.
Malam itu keduanya menghabiskan waktu bersua bersama. Keduanya baru berhenti ketika waktu menunjukkan pukul 01.45. Laras terlelap dengan cepat ketika dr. Pram mengusap punggungnya dan Laras yang memeluk tubuh sang suami.
Berbeda dengan dr. Pram yang menatap kosong Laras dan juga perasaanya yang hampa. Meski dia menikmati kebersamaannya bersama Laras, masih saja rasa hampa itu menggelayutinya. Tidak benar-benar ada perasaan menggebu yang ia rasakan. Dirinya sedikit merasa bersalah karena menyentuh Laras tanpa memberikan perasaannya pada wanita di dekapannya itu.
...To Be Continue .......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Takdir Hidupku
Sabar ya laras
2025-01-18
0
faridah ida
😂😂 emang enak istri bales nya dengan panggil pak dokter ...🤪🤭
2024-07-17
1
luvee
jurnal trus asupannya sih 😶🌫️
2024-07-14
3