Disclaimer untuk pembaca : cerita ini adalah kisah cinta kehidupan malam orang metropolitan. Dibutuhkan pikiran terbuka untuk memahami isi cerita. Dan mohon kebijakannya dalam membaca. Seluruh adegan ditujukan untuk hiburan semata dan tidak bermaksud merendahkan pihak manapun. Aku sebagai penulis tidak mencampur adukan kisah kali ini dengan religi, kutambahkan banyak adegan dewasa, dan ku usahakan sesedikit mungkin permasalahan bisnis, tidak seperti novelku yang lain.
Mohon pengertiannya, kalau tidak berkenan dipersilakan ke novel lain, soalnya banyak sekali novel bagus yang bisa dieksplor di platform ini malah sering nggak keangkat.
Terima kasih ya Sedulur.
Mari kita lanjuuuutttt…!
**
Malam itu Adeline berjalan dengan langkah gontai menuju club malam yang terletak di pinggir jalan utama kawasan Jakarta Selatan. Beberapa pria dengan dandanan rapi tersenyum padanya, Adeline tersenyum basa-basi tapi tetap menunjukkan aura ‘kalau mau dekat-dekat, bayar!’.
Adeline masuk lewat barisan VIP sambil merogoh tasnya, lalu mengeluarkan kartu club dan men-tab ke pagar besi mengkilat.
“Mbak Elin,” sapa security yang berjaga di sana.
“Mamih udah dateng?” Tanya Adeline.
“Belum Mbak, tapi dirimu kayaknya ada waiting list.”
“Duh, lagi capek banget nih. Maunya minum aja deh kali ini.” keluh Adeline.
“Yah, tahu gitu saya rekomen ke yang lain. Yang ini udah dititipin Mamih untuk ditangani oleh mbak Elin, soalnya.”
“Ya udah demi dirimu, gue terima yang rekomendasi lo aja ya Pak. Yang lain gue cancel.” Tujuan Adeline agar si sekuriti juga kebagian fee.
“Terbaik lah mbak Elin nih…!” Si sekuriti menyeringai.
Klien yang kali ini ditemuinya, katanya hanya ingin 'ditemani' sampai pagi. Seorang pria setengah etnis China, setengah etnis Eropa. Wajahnya biasa saja karena Adeline sudah terlanjur melihat Si Dewa, Kepala Bodyguard yang luar biasa tampan. Tapi si pria kliennya ini memiliki tubuh proporsional yang menawan. Gerakannya juga santai dan khas kalangan kelas atas, yang berwibawa, sopan, tapi terencana. Ia hanya sendirian malam ini, tanpa escort lain. Dan ia menyewa ruangan VIP yang cukup untuk 10 orang.
Tipe tamu yang seperti ini biasanya menginginkan privasi maksimal, seseorang yang penting, sangat menjaga nama baik. Di kehidupan nyata ia tipe setia, tapi kalau di atas ranjang bisa sangat nakal.
“Halo, selamat malam, maaf kalau menunggu lama ya.” Sapa Adeline sambil duduk di sebelah si pria.
Tampak pria itu tertegun menatap Adeline, lalu men-scanning penampilan wanita itu, dan akhirnya tidak berapa lama, senyum tipis pun tersungging. Matanya langsung berbinar senang.
“Nama saya Adeline, usia saya hampir 25 tahun. Bukan wanita karier dan bukan mahasiswa. Single bukan janda.”
Ini perkenalan standar, karena memang ada klien yang pilih-pilih. Ada yang seleranya suka cewek yang tampangnya ala-ala anak SMA tapi body selayaknya wanita dewasa, ada juga yang milih spesialisasi janda, ada yang merasa tertantang kalau dengan wanita karier, ada juga yang terobsesi dengan mahasiswa. Jadi salam pembuka seperti ini ada baiknya dilakukan sebelum klien merasa buang-buang uang. Karena kalau urusan tamu VIP di club ini, satu sesi-nya dihargai 5 juta’an kalau sekedar mengobrol. Kalau klien tak berkenan dengan profil si escort, bisa segera ganti orang. Daripada sudah mengobrol lama, tahu-tahu mood jadi down dan uang terbuang tanpa rasa puas.
Karena, ganti orang setelah setengah jam dianggap penambahan personel, jadi sama saja bayar 2 orang escort.
“Saya Ryan.” Sahut si Pria sambil menjabat tangan Adeline.
“Bukan dari Jombang kan?” tanya Adeline.
Si pria tertegun sambil mengernyit sesaat, lalu ia segera teringat kasus yang berhubungan dengan namanya dan asal tempatnya. “Amit-amiiit!” Serunya sambil tertawa.
Adeline berhasil mencairkan suasana di menit awal, suatu hal yang bagus, karena bisa berpengaruh sampai akhir pertemuan.
“Nama Ryan keren kok, biasanya dipakai oleh cowok Redflag sih. Tapi di club ini, kita semua suka cowok Red Flag, hihihi.”
“Bisa aja Mbak, nama kamu juga cantik sesuai denganmu, saya kaget loh melihat yang indo seperti kamu. Blasteran apa?”
“Entahlah, saya campur-campur sih, nggak pernah nanya juga, Mas. Atau saya panggil kokoh aja?”
“Panggil nama aja ya. Nama panggilan kamu apa?”
“Elin.” Adeline membuka botol kaca berisi air mineral dan menuangkannya ke gelas kristal. “Apa yang bisa aku bantu nih malam ini? Kamu baru ya ke club ini?”
“Aku direkomendasikan sama Bu Donita, katanya dia punya Kartu As di sini.”
“Oh, kalau gitu yang harusnya yang masuk ke sini bukan aku. Soalnya aku Kartu Queen. Tapi untungnya aku Queen Keriting sesuai bentuk body.”
“Merendah tapi meninggi. Kurasa kamu joker yang nyamar jadi Queen.” Desis Ryan.
“Dunia ini kacau, kalau orang tidak seperti Joker, akan ditindas.” Bisik Adeline sambil mengerling.
Ryan langsung menyukai Adeline. Menurutnya, wanita ini cerdas tidak seperti escort yang modal senyum dan nempel-nempel dada doang.
“Jadi, Ryan,” Adeline menyerahkan gelas air mineral ke depan Ryan. Sesi pertama, jangan mabuk dulu. Adeline ingin membuat Ryan santai, lebih terbuka, lalu melihat apakah cowok ini polos, bisa diporoti, atau pelit tapi menarik. “Apa yang membuat kamu mencari Kartu AS?”
“Butuh teman ngobrol aja, lagi banyak tekanan di pekerjaan.” kata Ryan. Ia menegak setengah gelas. Sepertinya ia memang kehausan.
“Posisi kamu di kantor?”
“Aku baru saja diangkat jadi Vice President.”
“Setara dengan wakil direktur utama dong ya? Pekerjaan sebanyak direktur utama, tapi saran jarang didengar. Lebih banyak dilangkahi, kecuali sudah pembagian porsi kerjaan dengan Dirut.”
“Aaah… kamu mengerti rupanya.”
Adeline menaikkan bahunya, “Tapi aku nggak begitu ngerti kenapa jabatan Vice itu ada. Kesannya seperti ingin memberi jabatan tapi si empunya sebenarnya dianggap belum siap. Dilimpahi karena dia anak dari orang yang berpengaruh di perusahaan.”
“Hm… begitu ya…” Ryan tertunduk.
Adeline men-skakmat dirinya. Sepertinya Ryan memang berada di posisi yang seperti diceritakan Adeline.
“Ryan…” Adeline membelai lengan pria itu. “Ini kesempatan kamu untuk menjegal lawan. Semua orang benci padamu, jadi bertindaklah seperti Joker. Kamu tidak perlu terlihat baik. Semakin jahat kamu, semakin kamu diakui.”
Ryan mengernyit sambil menatap Adeline. “Gitu?”
“Galak aja dulu, banyakin ngeles. Tapi tentu harus sesuai aturan perusahaan ya. No korup-korup, nanti kamu rugi sendiri. Tunjukkan siapa yang memegang kendali.” Adeline mulai melancarkan jurus 'ular'. Ini biasa digunakannya untuk membuat klien berpikiran kalau ia cerdas dan memahami dunia bisnis, jadi bisa diajak ngobrol lebih dalam.
“CEO-nya kakak-ku.” tambah Ryan.
“Biar saja dia urus perusahaan lain. Buat dia kerepotan dengan tingkahmu. Buat aturan-aturan baru yang bikin dia pusing. Saat dia lagi pusing, kamu atur strategi untuk bisa cuan melebihi kakakmu.”
“Maksudmu… aturan-aturan baru itu untuk mengalihkan perhatian kakakku?”
Adeline pun mengangguk, “Karena kalau tidak dialihkan, dia akan mengawasimu sepanjang hari untuk mencari kesalahanmu.”
“Kamu serius menyarankan ini padaku?”
“Itu kan yang biasa dilakukan Pemerintah pada kita, Rakyatnya? Dialihkannya perhatian kita, dibuatnya isu-isu baru, kita ribut sana-sini, dan kita malah nggak aware sama rencana utama mereka, yang malah makin merugikan kita.”
Ryan ternganga.
“Waaah…” ia pun mengusap wajahnya. “Kamu bukan Baby sih ini. Bukaaaaan, kamu lagi nyamar jadi Baby kaaan!?”
Kalimat ini sebagai tanda kalau Ryan terpukau.
“Klienku banyak, Darling. Kebanyakan pejabat. Alur di perusahaan ya gitu-gitu aja kayak lingkaran setan.” Adeline kini menuangkan Vodka ke gelas lain, lalu meletakkan di depan Ryan. Saatnya sesi Kedua, Sesi obrolan hangat dan akrab.
“Mereka menjabarkan semua strategi padaku kalau sedang depresi. Mungkin saja salah satu klienku adalah Kakakmu, atau Ayahmu, atau Rivalmu di perusahaan. Jadi sebagai seorang Baby, kuharap obrolan kita setara dengan bayaranmu.”
“Otakku jadi terbuka.” Ryan menggelengkan kepalanya, “Tadinya sumpek banget. Aku nggak berharap dibenci banyak orang, you know? As a younger, i just want to help my bro. Toh hasilnya juga untuk keluarga, kan?”
“Kesalahan terbesar Bapakmu adalah, dia menganggap kalian bersaudara, jadi kalian bisa akur. Padahal bisnis itu malah penyebab terbesar putusnya hubungan saudara.” Kata Adeline. “Nggak usah kau tanyakan lagi ke bapakmu dia sayang kamu atau tidak.”
“Kok… kamu tahu semua sih? Kita pernah saling kenal kah?”
“Kita tidak saling kenal, dan percaya deh, masalah kamu itu adalah masalah kebanyakan CEO Muda di seluruh dunia. Awalnya polos, berusaha membangun nama baik, akhirnya ditipu sana-sini, depresi, yang tidak bisa bertahan akhirnya bunuh diri, atau jadi hikikomori, yang bisa bertahan akhirnya balas dendam, jadi CEO besar, main libas semuanya, malah berakhir di penjara karena korupsi.”
“Waduh… obrolannya berat banget.” Desis Ryan.
“Obrolan ini berat? Tidak Ryan Sayang, kamu yang belum siap diserahi tugas negara.” Adeline mengelus rahang Ryan. Lalu wanita itu berbisik manja, “Kamu harus lebih rileks, lebih santai menjalani hidup. Malam ini kutemani, besok-besok kamu harus bisa sendiri.”
Malam itu, setelah obrolan berat, diawali dengan saling sentuh bagian privat, saling cumbu, saling mencium.
Adeline berusaha membuat seluruh tubuh Ryan nyaman, kecuali yang satu itu yang harus tegang sigap berdiri, kalau bisa malah membatu.
Karena besok, Ryan akan maju ke medan pertempuran.
Dunia bisnis.
Bahkan lebih parah, Bisnis Keluarga.
**
“Gue mau Resign.” Desis Adeline.
Si Mamih, Donita, melongo mendengar Adeline siang itu.
Adeline baru saja menyelesaikan ‘shift malamnya’ lalu sedikit bantu-bantu beres-beres club di pagi harinya. Si Mamih baru datang jam 10 pagi dan mentransfer bagian Adeline bulan lalu. Lumayan hasilnya setara sama harga 2 hape ipon seri terbaru. Adeline bisa bayar UKT sekaligus biaya praktek adiknya, juga bisa membayar darmawisata adiknya yang lain, kemarin si bungsu juga minta tumbler Stanley yang harganya lebih dari sejuta. Walau pun bentuknya aneh kayak galon dikasih gagang, tapi namanya juga remaja jaman sekarang. Nggak branded nggak gahol. Pulang-pulang ia akan menuntut ‘sungkem’ dari adik-adiknya.
Tapi, pagi ini Adeline terbangun karena berita mendadak yang membuatnya bersemangat. Ia tidur di ruang VIP karena menghabiskan beberapa ronde dengan si Ryan-Ryan itu. Mereka mabok berat sudah pasti.
Berita dari Rumah Atmorajasa. Ia diterima jadi ART di sana. Kedatangannya diharapkan siang ini jam 12, untuk bisa segera menegosiasikan gaji, perkenalan penghuni, mengenal seluk beluk rumah dan aturan-aturannya, agar besok ia bisa segera bekerja.
Jadi…
Adeline tentu harus keluar jadi Escort. Paling tidak…
“Apakah?!” Desis Donita kaget.
“Ya, secara.” Jawab Adeline pendek.
Donita meringis mengejek. “Secara apa?! Secara gaji lo nggak naik-naik? Emang berapa sih harga bedak jaman sekarang?! Bentar gue search di toko orange, lo mau etalase berapa? Gue langsung beliin nih!”
“Bukan itu mamiiii, gue diterima kerja, nih.”
“Berapa gajinya?!”
“Belum tahu sih, yang jelas Gajinya tetap, nggak turun-naik kayak di sini. Dan nggak harus buka paha.” Sambil bicara begini, Adeline berpikir dimana ia bisa membeli sianida untuk membunuh Kepala Keluarga Atmorajasa.
Apa sebaiknya Adeline membeli Pestisida saja, dicampur kopi kasihnya dosis sedikit-sedikit, atau bagusnya racun ikan buntal saja? Enaknya Arsenik aja sih, tidak berbau, tidak berasa, bisa beli online dan saat diotopsi tidak terdeteksi karena mudah larut. Adeline pun berpikir keras.
“Ya lo nego dulu lah sana! Kan kerjaan di club bisa dibagi-bagi. Atur lah manajemen waktu loooo!”
Ini juga jadi bahan pertimbangan Adeline. Kalau ia ketahuan membunuh dan tertangkap, adiknya harus sudah lulus kuliah jadi bisa menggantikannya mengurus adik-adik mereka yang lain. Adeline juga harus menyiapkan tabungan yang cukup.
Dana itu bisa di dapat dari gajinya sebagai ART, ditambah penghasilannya di club, dan dari curi-curi barang di rumah itu. Paling tidak, deposito dua milyar, bunganya bisa digunakan untuk bayar listrik sebulan.
Oke, target Adeline dalam setahun ia harus bisa mengumpulkan dua miliar!
Berapa Om yang harus ditidurinya biar terkumpul dana segitu?
“Ya Udah Mih, gue tetap di sini tapi nggak full time kayak biasa. Paling nggak, weekend dah gue bisa usahain. Tapi kerjaan di club ini udah bukan prioritas gue lagi, ya. Kalau ada klien, lo bisa hubungin gue dulu, gue ada waktu kosong apa kagak.”
“Sombong banget sih lo! Gue doain dipecat biar bisa balik lagi ke sini!” seru si mamih sambil mengomel.
Adeline pun segera ambil langkah seribu sebelum Mamih semakin badmood dan bertanya-tanya mengenai pekerjaannya.
**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
Maya Ratnasari
minta rekom dong novel bagus yg ngga keangkat
2025-01-24
0
🥑⃟вуυηgαяι
that's true
2025-03-15
0
Endang Sulistia
mantap madam...
2024-12-22
0