Sang Dewa

Si Pewawancara... tampan luar biasa.

Adeline saja yang profesinya sebagai model pernah berlenggak lenggok di Paris, walau pun hanya fashion show dari desainer kecil lokal di Paris, merasa kalau pria di depannya ini tidak biasa. Padahal sudah ribuan model laki-laki yang dihadapinya. Manusia di depannya ini... berbeda.

Pria itu hanya mengenakan kemeja polo hitam dan celana cargo. Sepatunya juga sepatu kets biasa. Tapi Adeline bisa meihat otot lengannya tampak terlatih baik.

“Mbak Ade Putri,”

Adeline masih bengong mengamati si pria.

“Mbak,”

“Hah?!” Adeline langsung tersentak. “Mbak Ade Putri. Benar?” tanya pria itu lagi.

Siapa Ade Putri? Pikir Adeline. Lalu ia segera ingat kalau Ade Putri adalah nama wanita yang CVnya ia curi barusan. “Ah! Iya Pak!” sahut Adeline.

“Benar namanya itu? Atau saya salah sebut?”

Adeline segera mengibaskan tangannya. “Waaaah, maaf Pak saya lagi memperhatikan hal lain yang lebih menarik dari nama saya.”

“Apa itu?”

“Bapak dulunya model ya Pak? Sebagai orang yang sering magang keluar masuk hotel, saya juga pernah magang di kapal pesiar, saya belum pernah menemukan orang seganteng bapak ini loh. Padahal banyak turis berseliweran di sekitar saya.” Adeline berusaha mengalihkan perhatian dengan mengaitkan ke isi CV. Yang ia pelajari di CV curian itu memang yang namanya Ade Putri ini orangnya cukup aktif magang untuk berburu pengalaman kerja.

Kebetulan sekali namanya sama-sama ada Ade-nya.

“Mbak Ade bisa saja, saya bukan model kok. Saya dulu kerja jadi Tentara...” kata si bapak-bapak ganteng sambil menyeringai.

“TNI Pak?”

“Resign karena kaki saya tertembak waktu ditugaskan di Papua. Jadi sampai sekarang agak pincang, dan saya pikir saya akan kesulitan bekerja kalau tetap jadi tentara.”

“Terima kasih atas jerih payahnya ya Pak,” Adeline menunduk sedikit untuk memberi penghormatan. Ia memang paling jago kalau untuk urusan mengambil hati orang. “Semoga konflik di daerah saudara kita segera berakhir dengan baik. Kasihan saudara-saudara Papua kita setiap harinya selalu was-was.”

Pak Ganteng melipat kedua lengannya di depan dadanya sambil bersandar dan bilang “Aamiin.” Tapi wajahnya berubah muram. Tampaknya ia teringat bagaimana keadaan di Papua saat ia ditugaskan. Dan melihat dari raut wajahnya, jelas bukan pengalaman menyenangkan.

“Saya percaya orang-orang patriotis seperti bapak jumlahnya masih banyak. Pasti berat meninggalkan kesatuan ya Pak, tapi bagaimana pun hidup kita harus tetap berjalan. Kita harus semangat!” sahut Adeline dengan penuh kesungguhan. Tapi ia memang mengucapkan hal ini dari lubuk hati yang paling dalam.

Si Pak Ganteng pun tersenyum. “Terima kasih.” Lalu ia pun kembali mencondongkan tubuhnya dan membaca CV Adeline. “Kamu anak tunggal ya, bapak kamu kerja apa setelah pensiun?”

Adeline agak berpikir, lalu ia segera ingat kalau bapaknya Ade Putri ini pensiunan sebuah BUMN yang bergerak di bidang infrastruktur. Apa yang biasanya dikerjakan seorang pensiunan ya? Ia harus segera mengarang indah. “Eh, sibuk sama organisasi pensiunnya, tiap hari nongkrong di kantor bareng sesama pensiunan dari kantornya. Saya lupa nama perhimpunannya, kayaknya terakhir dia ngurusin pergantian jabatan.”

Pak Ganteng melirik Adeline sambil tersenyum kecil lalu kembali membaca biodata.

Adeline langsung salting, merasa ada yang salah dengan kalimatnya. Sepertinya pria di depannya ini tahu banyak hal dan bukan sekedar pewawancara biasa. Dan yang pasti, dia bukan ART di sini. Bisa jadi ia adalah si pemilik rumah kalau melihat dari ketegasan suaranya dan postur tubuhnya yang penuh kharisma.

“Bapak ini, posisinya di sini apa ya? Kalau saya boleh tahu, Kalau nggak boleh ya nggak apa tak dijawab.” Adeline berusaha mengalihkan perhatian.

“Oh kita belum berkenalan ya. Nama saya Dewa. Saya Kepala Bodyguard di sini. Saya menggantikan Bu Siti, Kepala ART, karena kamu datang agak sore sementara dia ada urusan keluarga.”

Adeline tertegun.

Pantas kok sepertinya dari tadi ada perasaan diintimidasi. Ternyata dia kepala Bodyguard di sini. Membaca mimik muka dan sikap seseorang pasti sudah merupakan bagian dari kegiatan si Dewa ini.

Pupus sudah harapan Adeline untuk bisa mengelabui si Kepala Bodyguard. Dipikirnya pewawancara akan lelah saat ia datang mepet agak sore, nyatanya malah segar bugar ganteng dengan stamina berapi-api.

“Saya merasa bangga bisa diwawancara oleh orang dengan jabatan seperti Pak Dewa, karena pasti tidak ada kandidat ART lain yang bertemu dengan bapak kan?” Adeline berusaha memanipulasi keadaan.

Dewa mengangguk. “Biasanya wawancara dengan Bu Siti.” Pria itu meletakkan kedua tangannya yang disatukan di bawah dagunya sambil memperhatikan Adeline. “Yang ini saya ambil alih karena saya merasa ada keanehan.”

Deg!

Adeline langsung berhenti bernafas.

Ia tegang.

Dewa Kepala Bodyguard. Bisa saja dia melihat dari CCTV mengenai kelakuan Adeline yang nyeleneh.

CCTV di rumah ini tak terhitung, dan mungkin saja ada beberapa yang mengarah ke starling di seberang sana.

Kenapa Adeline tidak perkirakan hal ini sebelumnya?!

“Kenapa kamu tertarik jadi seorang ART dengan sertifikat kamu yang menggunung? Kamu itu bisa saja jadi manajer di sebuah perhotelan.” Tanya Dewa.

Rasanya jantung Adeline hampir mencelos. Ia pun bisa bernafas lega kembali.

“Ya, inilah langkah saya. Kalau dapat rekomendasi dari sini, saya bisa mudah masuk ke hotel bintang 5 manapun,” Adeline menyeringai. “Lagipula usia saya masih muda, pengalaman adalah guru terbaik. Lebih baik memulai dari bawah agar kita bisa jadi pemimpin yang bijak.”

“Hm... kadang, pemimpin yang bijak saja tidak cukup untuk memajukan perusahaan.”

“Itu sama dengan istilah ‘kebenaran tidak selalu menang tapi akan selalu benar’.”

Dewa pun terdiam sesaat mendengar Adeline.

“Wah... mbak-nya ini pemikirannya tidak cocok dengan usia ya.” Dewa menatap biodata Adeline, di sana kalau dihitung untuk tahun ini, usia Ade Putri ini sekitar 22 tahun. Lulus dari SMK Pariwisata Jurusan Perhotelan, D3 Perhotelan di Akademi Pariwisata, dia sudah magang di berbagai tempat, bahkan ikut kursus memasak segala.

“Mbak Ade, menurut kamu, kekurangan diri kamu apa?”

Pertanyaan menjebak. Pikir Adeline. Tapi ia sudah belajar mengenai hal ini.

“Saya pekerja keras.”

“Itu kekurangan diri kamu?”

“Iya, saya sering kelelahan sendiri gara-gara sifat saya yang itu. Kalau sudah ingin satu hal tercapai, saya akan menempuh apa pun rintangannya.”

“Hm...”

Lalu mereka terdiam beberapa saat.

Dewa menatap Adeline. Adeline hanya diam sambil menatap Dewa. Namun pria itu merasa Adeline tidak menatap dirinya. Tetapi sesuatu di awang-awang. Wanita di depannya ini memiliki satu tujuan terencana, dan sangat terobsesi dengan keberhasilan.

“Satu lagi pertanyaan, boleh?”

“Ya Pak?”

“Menurut kamu... kalau ada satu istri mendengar suaminya menyewa wanita di club untuk kebutuhan hasratnya, dan mereka terlibat transaksi namun tidak ada hati yang terlibat, si istri perlu marah atau tidak?”

“Apa hubungannya pertanyaan itu dengan pekerjaan saya?”

“Itu berhubungan dengan kondisi terdesak yang sering kali terjadi di sini. Saya ingin tahu bagaimana jawaban Mbak Ade... 3 detik dari sekarang.”

“3 detik?”

“Satu...” hitung Dewa.

“Lah!” seru Adeline.

“Dua...”

“Si istri tidak perlu marah, anggap saja wanita itu mesin pemuas nafsu.” Jawab Adeline cepat.

“Alasannya?” tanya Dewa.

”Dihitung satu jam juga kalau ditanya, si suami sudah lupa bagaimana tampang ani-ani yang berhubungan dengannya. Yang perlu diomeli oleh si istri itu malah kelakuan si suami yang nafsuan, nggak bisa nahan birahi kayak kucing. Tawarin Steril aja gimana? Biar agak kalem nggak crit di mana-mana.”

“Kamu itu ternyata feminis ya?”

“Ya bukan sih Pak, saya juga butuh cowok. Tapi ya saya sudah pernah berada di...” Adeline terdiam karena hampir keceplosan.

“Berada di...?” tanya Dewa penasaran.

“...Diiii... hotel, di sana banyak Ani-ani seliweran. Nggak jarang ada pertengkaran. Saya bisa ambil dari sana pelajaran hidupnya.” Dan Adeline pun menyeringai merasa menang. Padahal dia yang waktu itu jadi ani-aninya. Sampai sekarang tampang si Om saja dia tak ingat seperti apa. Yang ia ingat malah tampang bininya yang menjambaknya sekencang mungkin, sampai rambutnya rontok dan minta si Mamih mengeluarkan uang lebih untuk perawatan lanjutan.

“Hm...” gumam Dewa masih dengan wajah kalemnya yang memesona itu. Kenapa hidungnya bisa mancung sempurna sih? Terlalu cetar kalau untuk ukuran Tentara yang pekerjaannya di lapangan. Begitu pikir Adeline.

“Hehe.”

“Pengalaman kamu lumayan banyak juga.”

“Hehe.”

“Oke Mbak... Terima kasih atas waktunya ya, ditunggu saja kabar dari kami.” Kata Dewa selanjutnya sambil berdiri dan mengulurkan tangan ke arah Adeline.

**

Dewa berjalan menelusuri lorong rumah mewah itu sambil menenteng map milik Adeline. Sesekali ia menatap ke arah keluar jendela untuk memeriksa beberapa hal .

Bu Siti, Kepala ART datang menuju ke arahnya sambil tergopoh-gopoh. “Pak Dewa,” sapanya. Ia belum mengerti kenapa Dewa memintanya untuk menyerahkan wawancara Ade Putri kepadanya. Padahal yang harusnya mewawancarai ART ya Bu Siti sebagai Kepala ART di sini.

“Besok, hubungi si Ade Putri ini, dia saya terima sebagai ART di sini.”

“Diterima Pak?!”

“Ya.”

Walau pun banyak pertanyaan, tapi Bu Siti merasa kalau ia tidak ingin bertanya ke Dewa. Wajah pria itu tegas dan ada suatu aura ‘tidak ingin diganggu’ yang menyelimuti dirinya. Kalau bisa, Bu Siti bahkan ingin tidak sering berurusan dengan si Dewa ini.

“Baik.” Hanya itu saja jawaban Bu Siti.

“Jadikan dia ART Pribadi untuk Pak Argan ya. Dia juga akan menangani Bu Rinjani.”

“Hah? Maksud Bapak, ART yang sekarang ditugaskan akan diganti dengan Ade Putri ini?”

“Ya.”

“Eh... hum...” Bu Siti mengernyit karena merasa aneh. Pak Argan adalah Boss Pak Dewa, sebagai putra sulung sekaligus pemilik rumah yang super sibuk, dia saat ini ditangani oleh 4 orang ART. Ditambah Bu Rinjani, adik Pak Argan, adalah wanita pendiam yang terserang anemia, jadi lebih sering di rumah. Kebutuhannya banyak dan harus selalu didampingi karena bisa tiba-tiba pingsan. Jadi beberapa ART ditugaskan untuk mengawasinya.  Si Ade Putri akan menangani tugas 8 orang sekaligus.

“Jangan khawatir, saya akan mengawasinya secara khusus. Dia akan bekerja di bawah bimbingan saya. Kamu lakukan saja perintah saya.” Kata Dewa sambil masuk ke dalam ruangan Bodyguard.

Di sana, sedang ada pergantian shift dan istirahat, jadi ruangan itu sepi. Dewa memasuki ruangan pribadinya, lalu memeriksa layar CCTV yang terhubung ke komputer pribadinya.

Bibirnya tersungging senyum licik.

“Ade Putri?” desisnya pelan.

Di layar CCTV yang sedang dalam proses perekaman ke ponsel pribadi, terpampang adegan saat Adeline mencuri biodata Ade Putri di starling seberang.

“Atau... Adeline?” desis Dewa lagi.

Di ingatannya masih terbayang adegan saat ia bercinta dengan wanita itu. Sekitar 5 tahun lalu, saat ia dalam keadaan depresi karena tekanan dalam hidupnya. Ia memesan jasa wanita bayaran agar menemaninya menghabiskan malam. Saat itu yang diutus oleh Sang mamih adalah wanita yang sangat cantik, dan tentu saja mahal, bernama Adeline.

Saat Dewa mencoba menghubunginya kembali setelah itu, tapi katanya 'Sang Dewi' ini sudah keluar dari club, dan bisa saja bergabung ke ‘agency’ lain.

“Dewa...” seorang pria dengan setelan jas rapi masuk ke dalam ruangan Dewa tanpa mengetuk. Argan mendekati di saat video itu sudah sepenuhnya terekam dan Dewa telah menghapus adegan itu dari storage CCTV.

“Sudah siap?” tanya Dewa.

“Apa yang harus kukatakan ke klien kali ini?” tanya Argan sambil berusaha membetulkan dasinya.

“Katakan saja kalau kami akan mempertimbangkannya.” Kata Dewa sambil merangkai dasi Argan dan membersihkan debu di bahu pria itu. “Ingat, jangan ambil keputusan apa pun, walau pun tawarannya sangat menggiurkan. Aku akan menyelidikinya dulu.”

“Terserah kau saja.”

“Setidaknya kamu belajar merangkai dasi dong.”

“Di kesatuan tidak pernah diajarkan merangkai dasi.” Desis Argan meledek Dewa.

“Rasanya sama saja dengan merangkai tali-temali deh.” Balas Dewa.

“Itu Pramuka.”

“Hehe.” Kekeh Dewa. “Seorang Atmorajasa tidak bisa merangkai dasi, bagaimana bisa merangkai kata-kata mutiara?”

“Yang jelas, aku tidak biasa berbohong.” Sahut Argan.

Terpopuler

Comments

🥑⃟вуυηgαяι

🥑⃟вуυηgαяι

ah kelar kau Adeline 😅 🙈 lupa krn kbnyakn planggan kh 😅

2025-03-15

0

Endang Sulistia

Endang Sulistia

weleh..weleh...abis lu del Ama si bapak...

2024-12-22

0

Maya Ratnasari

Maya Ratnasari

saling menipu rupanya

2025-01-24

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!