Usia Lucia tahun ini telah menginjak dua puluh delapan tahun, oleh karena itu, pertanyaan seputar pernikahan sudah menjadi wacana umum yang bertiup sehari-hari dalam keluarganya, tidak hanya itu, pemukiman tempat Lucia tinggal sering membahas tentang pernikahan dengannya di tengah perbincangan mereka.
Bus kembali berjalan dan sudah mendekati perusahaan Alfred. Lucia berdiri dari tempatnya dan besiap untuk menuju pintu kemudian berencana kembali berlari tapi tiba-tiba dia menoleh kaget, dia sedikit memiringkan tubuhnya ketika ada benda yang menyenggol bahu kirinya dengan sangat keras.
"Astaga! Tasnya besar sekali. Bahuku sakit," batin Lucia.
"Aku yakin, dia tidak hanya membawa sebuah laptop, atau peralatan kantor lainnya. Tapi dia juga membawa seperangkat alat tukang kebun, apa dia psikopat?" batin Lucia kembali.
Lucia masih menatap tas yang berada di sampingnya, sosok pria itu masih memunggunginya. Tiba-tiba bus menginjak rem dengan spontan membuat semua penumpang kembali terhuyung dan sialnya, tas yang berada di punggung pria itu kembali menyentuh pundak Lucia.
Dengan sangat geram, Lucia berbalik dan disaat bersamaan pria itupun berbalik, mata mereka bertemu. Sepersekian detik, Lucia terdim. Seorang pemuda tampan berwajah bersih dan bertampang aristokrat mengangguk dengan sorot mata memohon maaf kepada Lucia.
Jelas orang itu tidak sengaja, karena dia terdorong ulah supir bus yang menginjak pedal rem dengan tiba-tiba. Para penumpang lain kemudian turun. Sebelum dia melangkah, dia membalas anggukan pria tersebut dengan sebuah anggukan juga sambil tersenyum.
"Maaf, tidak sengaja," ucap pria tersebut.
"Tidak apa-apa," timpal Lucia.
Mata Lucia menangkap setelan yang dikenakan pria tersebut, sangat formal bahkan setelan itu lebih cocok digunakan dalam acara pernikahan. Bus kota di Roma dengan setelan yang digunakannya merupakan perpaduan yang aneh di mata Lucia.
Lucia kemudian mengalihkan tatapannya ke arah jalan dan menara perusahaan Alfred. Dia berpikir akan berjalan ke arah mana untuk memasuki perusahaan Alfred Corporation, semuanya sedang berputar di kepala Lucia. Tapi pemikiran itu buyar. Mata Lucia kembali menangkap sikap yang ganjil dari pria yang berada di hadapannya itu.
Dia terlihat kerepotan dengan memeriksa beberapa saku di setelan pakaiannya dan juga membuka tasnya, dia terlihat memeriksa setiap sudut tempat dalam tas tersebut.
Sesaat Lucia berpikir jika wajahnya tidak bisa menjamin apapun saat ini. Dia bagaikan perahu kecil yang terhempas badai di samudera pasifik, mustahil untuk hidup.
"Dia pasti sedang mencari kartu, atau uang untuk membayar. Tapi kelihatannya dia tidak memiliki keduanya," batin Lucia yang masih menatap pria tersebut.
Dan setelah beberapa saat, raut wajah pria itu berubah menjadi tersenyum ketika mendapatkan selembar uang dari tasnya, 500 Euro. Mata Lucia membulat sempurna. Dia telah menebak, uang sebanyak itu pasti akan digunakannya untuk membayar biaya bus yang saat itu dia tumpangi.
"500 Euro setara dengan Rp 9.000.000 di Indonesia," gumam pria tersebut.
Dia tidak peduli, yang penting saat itu dia sangat terbantu dengan bus tersebut, karena mobilnya tiba-tiba mogok di jalan, dan tidak ada alternatif lain, selain menggunakan transportasi bus. Dia juga tidak ingin di jemput oleh bawahannya karena itu akan memakan waktu lebih lama.
Sebelum menggunakan bus, dia memberitahu ayahnya jika dia akan terlambat dalam meeting karena mobilnya sedang bermasalah di jalan. Ayahnya yang mengetahui hal tersebut sudah memberikan saran jika mobil yang digunakannya harus segera diganti, tapi dia berdelik lebih menyukai mobil tesebut dibanding yang lainnya, mobil kuno kesayangan ayahnya.
Dia berjalan dan memberikan lembaran itu kepada sopir busnya, dia menjelaskan terlebih dulu jika dompet dan ponselnya ketinggalan dan dia tidak bisa membayar dengan aplikasi atau card. Hanya itu yang dia miliki. Sopir bus itu terlihat tidak ramah karena biasanya biaya bus hanya 5 Euro, hari itu diberi 500 Euro membuatnya kesal.
"Saya tidak memiliki kembalian untuk itu," timpalnya.
"Tidak apa, semuanya untuk anda," ucapnya.
"Tapi saya tidak bisa menerimanya," jelasnya lagi.
Pria itu memahami jika sebagian orang Italia tidak ingin memiliki hutang budi kepada orang lain, dia hanya akan mengambil yang seharusnya. Pria itu, Rey Alfred dengan bersikukuh memberikan uang tersebut tapi dengan kesal sopir bus itu menolak kembali.
"Seandainya saya tahu anda seperti ini, sedari tadi anda saya turunkan di tengah jalan, anda tidak bisa membayar," ucap sopir dengan kesal.
"Ini uangnya, saya bisa bayar," timpal Rey ikut kesal.
Sopir bus itu terdengar sangat marah, mungkin kejadiannya akan berbeda jika itu terjadi di negara lain, mereka akan senang hati diberi sesuatu yang lebih dari yang dia harapkan.
Lucia melihat kegaduhan yang tidak lazim lagi di hadapannya itu. Sopir bus yang bersikukuh akan menerima 5 Euro saja dan pria yang berada di dekatnya ingin memberi lebih.
Lucia memutar matanya jengah melihat keadaan itu. Ditambah lagi perhatian semua orang yang berada di dalam bus berada kepada dirinya yang berdiri tepat di samping pria itu.
Tidak tahu kenapa, Lucia merasa terpanggil untuk membantunya, dia kembali menoleh ke arah perusahaan Alfred setelah itu dengan sikunya menutup dada, dia berjalan ke dekat sopir dan menempelkan kartu bus miliknya, dia menjelaskan bahwa dia yang akan membayar biaya tumpangan pria tersebut.
"Sudahlah, aku yang bayar pak," ucap Lucia.
Setelah itu dia segera melangkah dengan cepat keluar dari bus.
Lucia mendesah luar biasa, dia menghempaskan nafasnya lega dengan cita-cita yang dia ingin raih saat itu, merasakan sejuknya angin pagi dan segar dan juga segera menuju perusahaan Alfred. Dia berlari ke arah gedung dan terlihat memasuki pekarangan gedung perusahaan berlantai lima puluh itu.
Entah apa yang menarik dirinya kembali hingga dia berbalik melirik bus itu kembali. Dari jendela dia bisa melihat pria itu melambaikan tangan sebagai ucapan terimah kasih. Lucia yang pembawaannya ceria dan riang, mengacungkan jempolnya sambil tersenyum.
"Ok, tidak masalah," ucap Lucia dengan bahasa tubuh.
Para penumpang pria menatap Lucia dari kejauhan, ikut tersenyum dan takjub dengan apa yang Lucia lakukan. Tidak hanya pria yang dia tolong.
"Kamu naksir ya?!" tanya supir bus dengan tersenyum meledek ke arah Rey.
Rey tanpa bicara mengalihkan pandangannya ke tempat lain dengan kesal.
"Dia memang sangat cantik dan baik hati, aku berharap ---"
"Berharap apa?" tanya Rey dengan wajah kesal kepada salah satu pria asing dalam bus.
Ada perasaan tidak terima saat pria lain memuji Lucia, entah karena bodynya yang ramping, wajahnya yang cantik atau sekedar senyumnya bahkan saat mereka tersenyum memuji Lucia, Rey tidak terima. Rahangnya mengeras dan mengepalkan tangannya. Dia merasa seakan miliknya telah di ganggu.
"Siapa dia sebenarnya?" batin Rey.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments