Ibram kini memiliki rutinitas baru yaitu mengecup kening istrinya sebelum bangun tidur. Hal ini menjadi atmosfer tersendiri bagi Arumi.
Arumi membuka matanya, terlihat jelas dihadapannya sang suami melemparkan senyuman kehangatan.
"Ayo bangun!"
Arumi mengangguk.
Turun dari ranjang bersamaan. Ibram bertugas membersihkan tempat tidur sebelum melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap melaksanakan sholat subuh.
Arumi telah selesai urusannya di kamar mandi, sekarang gantian dengan suaminya. Arumi mengambil wudhu terlebih dahulu sebelum berangkat ke masjid bersama suaminya.
Sepulangnya dari masjid, Arumi melaksanakan rutinitas sehari-hari begitu juga dengan Ibram.
"Mas, toko tempat bekerja Malik akan buka cabang baru. Jadi dia juga ikut pindah, apa boleh dia tinggal sementara di sini sebelum menemukan kos-kosan?" Arumi meminta izin.
"Boleh saja," kata Ibram.
"Terima kasih, Mas."
"Kapan dia akan tinggal di sini?" tanya Ibram.
"Nanti sore dia kemari, Mas." Jawab Arumi.
Hari ini Arumi tidak pergi berbelanja karena masih ada beberapa bahan masakan di lemari pendingin. Ia akan memasak seadanya saja.
Jam menunjukkan pukul 11 siang, terdengar suara ketukan pintu depan. Arumi segera ke kamar mengambil kerudung dan memakainya. Ia tak langsung membukanya, mengintip dari jendela. Ia tersenyum lega ternyata tamunya adalah adik kandungnya.
Arumi gegas membuka pintu, Malik menyalim tangan kakaknya setelah mengucapkan salam.
"Kamu bilang sore mau ke sini?"
"Aku berubah pikiran, Mba."
"Kamu sudah makan?"
"Belum, Mba."
"Kita ke dapur, makan sama-sama!" ajak Arumi.
Keduanya lantas ke ruang tamu menikmati makan siang bersama dengan lauk oseng tempe dan tumis kacang panjang.
"Mas Ibram tidak marah 'kan kalau aku beberapa hari tinggal disini?" tanya Malik.
"Tidak, Lik. Dia sudah mengizinkannya," jawab Arumi.
"Apa aku boleh minta tolong sekali lagi, Mba?" tanya Malik.
"Tolong apa?" Arumi balik bertanya.
"Aku tidak tahu tempat kos-kosan yang murah dan nyaman sekitar sini," jawab Malik.
"Apa tidak kejauhan antara tempat kerja dengan tempat tinggal kamu?"
"Sebenarnya jauh, Mba. Tapi, aku ingin menjaga dan melindungi Mba Arumi."
Arumi tersenyum lalu berkata, "Mba sudah dewasa, ada Mas Ibram yang menjaga."
"Mas Ibram tidak menyakiti Mba lagi, kan?"
"Alhamdulillah Mas Ibram selama kami menikah tidak pernah menyakiti Mba lagi."
"Mba, yakin?"
Arumi mengangguk diiringi senyuman.
"Aku tahu jika Mba Arumi sedang menutupi keburukan Mas Ibram," terka Malik.
"Tidak ada yang Mba tutupi, Lik."
"Lalu kenapa kita pulang kampung Mba menangis?" tanya Malik.
Arumi tak segera menjawab, ia menatap sejenak adiknya.
"Selama kita di sana Mas Ibram tak pernah menelepon dan mengirimkan pesan, 'kan?" tukas Malik.
Arumi tersenyum lalu berucap, "Itu karena Mba khawatir dengan Mas Ibram apalagi dia 'kan lagi sakit."
"Mba, tidak berbohong 'kan?" Malik menatap menyelidik.
"Tidak, Malik. Mas Ibram itu pria pilihan ibu dan ayah yang tepat. Kamu jangan khawatir, Mba kamu ini insya Allah aman bersamanya," kata Arumi dengan yakin.
"Alhamdulillah kalau memang begitu. Aku akan sedih jika Mba aku yang paling cantik dan baik ini tersakiti," ucap Malik.
"Jika suatu hari nanti kamu menikah, jangan pernah melukai istrimu. Bahagia 'kan dia," nasihat Arumi.
"Iya, Mba. Insya Allah aku akan bahagia 'kan pasanganku, orang tua kita dan saudara kandungku," kata Malik.
"Dan jangan lupa kasihi juga mertua kamu," sambung Arumi.
-
Sore harinya, Ibram pulang dari kantor. Mengecup kening istrinya lalu duduk dan membuka sepatu.
"Malik sudah datang, Rum?" tanya Ibram.
"Sudah, Mas. Tadi siang, aku lupa mengabari Mas Ibram," jawab Arumi.
"Sekarang dia di mana?" tanya Ibram.
"Lagi keluar, Mas. Katanya tadi mau ke minimarket," jawab Arumi.
"Oh, ya sudah."
Sementara Malik sedang mengelilingi lorong minimarket sembari mencari produk yang diinginkannya. Tanpa sengaja Malik menabrak dan membuat orang tersebut terjatuh.
"Maaf!" Malik hendak membantu wanita itu berdiri namun gerakan tangan mengisyaratkan agar dia tak menyentuhnya.
Wanita dengan kacamata hitam dan memakai topi berdiri tanpa bantuan.
"Maaf, saya tidak sengaja!" ucap Malik.
"Tidak apa-apa, santai saja!" kata wanita itu kemudian berlalu.
Malik hanya memperhatikannya dari jarak jauh, setelah wanita itu keluar ia pun melanjutkan belanjanya.
Selang beberapa menit kemudian, Malik selesai berbelanja. Membawanya ke kasir lalu membayarnya dan pulang.
Di perjalanan, Malik menghentikan laju kendaraannya karena melihat seorang wanita tampak kebingungan dengan mobilnya.
Malik lantas turun dan menghampirinya, "Butuh bantuan, Mba?"
Wanita itu menoleh dan membuka kacamata yang dipakainya, "Memangnya kamu bisa?" menatap sinis.
Malik tersenyum, "Insya Allah saya bisa. Boleh saya periksa apa yang rusak?"
"Silahkan!" wanita itu mempersilakan Malik memperbaiki mobilnya.
Selang 20 menit akhirnya Malik selesai memperbaiki mobil tersebut. Wanita itu menyodorkan sebotol air mineral.
"Terima kasih!" Malik menerimanya lalu duduk di pinggiran trotoar sembari meneguk minumannya.
"Harusnya aku yang berterima kasih kepadamu!"
Malik hanya tersenyum tipis.
"Kenalkan namaku Nadira!" mengulurkan tangannya di hadapan Malik.
Malik mengatupkan kedua tangannya.
Nadira menarik tangannya. Merogoh isi tasnya, mengambil beberapa lembar uang lalu menyodorkannya kepada Malik. "Buat kamu!"
Malik berdiri dan berkata, "Tidak, Mba. Saya ikhlas menolong."
"Ambil saja, anggap sebagai upah lelah kamu!" kata Nadira.
"Maaf, saya tidak dapat menerimanya!" tolak Malik dengan sopan.
"Kamu ini sangat lucu, ya. Jarang sekali ada orang yang menolak diberikan uang," ujar Nadira.
"Mba, berikan saja kepada yang membutuhkan," ucap Malik.
"Baiklah," Nadira mengembalikan uangnya ke dalam tas.
"Kalau begitu, saya pamit!"
"Iya, sekali lagi terima kasih!" ucap Nadira tersenyum.
Malik mengangguk pelan dan tersenyum tipis serta singkat.
-
Malik tiba di rumah Arumi ketika jarum jam menunjukkan pukul 6 sore. Arumi yang melihat pakaian adiknya tampak kotor segera mendekatinya.
"Kamu kenapa?" Arumi memperhatikan pakaian Malik dari atas sampai bawah.
"Aku tadi membantu orang memperbaiki mobilnya, Mba."
"Oh," Arumi tersenyum lega.
"Mas Ibram sudah pulang, Mba?"
"Sudah, dia lagi mandi."
"Kalau begitu aku mandi dulu."
Arumi mengiyakan.
Beberapa menit kemudian, Ibram dan Malik bertemu. Keduanya saling mengobrol sebelum akhirnya berangkat ke masjid bersama-sama.
Di lain tempat, Nadira tiba di rumahnya. Sang ibu sudah menunggunya dengan wajah marah.
"Dari mana kamu?" tanya wanita paruh baya dengan sedikit meninggikan intonasi suaranya.
"Aku keliling kota, Ma." Jawab Nadira santai.
"Kenapa ponsel kamu mati, hah? Sengaja agar Mama dan Marcell tidak dapat menghubungimu?" tudingnya.
"Iya, aku sengaja. Aku lagi menikmati hidup sementara," ujar Nadira.
"Nadira kehidupan yang kamu miliki sekarang, itu impian sebagian orang!" kata Mama Nadira mengingatkan putrinya.
"Termasuk Mama yang menginginkannya, 'kan?" tukas Nadira.
"Nadira semakin hari kamu semakin membantah ucapan Mama. Ingat, ya, kamu seperti ini juga karena Mama. Kamu dikenal orang semua campur tangan Mama," kata Mama Nadira bernama Nana.
"Terima kasih buat usaha Mama selama ini. Aku hanya butuh ketenangan, Ma. Walaupun sebentar saja!" singgung Nadira.
"Kalau begitu menikah dengan Marcell. Kamu tidak perlu lelah bekerja lagi!" saran Nana.
Nadira tersenyum sinis.
"Marcell itu pewaris tunggal perusahaan keluarganya," ucap Nana.
"Aku tidak peduli dengan harta yang dimilikinya, Ma."
"Sombong sekali kamu!" sentak Nana.
"Mama mau aku mati ditangannya?" singgung Nadira lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments