Hari pernikahan itu pun tiba, Ibram datang ibarat tahanan yang sedang digiring oleh keluarga besarnya. Ibram duduk di kursi pelaminan tanpa senyuman, hatinya hampa tak ada cinta.
Apa mau dikata, Ibram kini harus berhadapan dengan ayah kandungnya Arumi untuk mengucapkan sumpah janji suci pernikahan. Tampak Arumi melemparkan senyuman manisnya, namun membuat hatinya semakin teriris.
Ikrar suci pernikahan telah Ibram ucapkan, semua yang hadir menyaksikan begitu bahagia dan bergembira. Mereka tak menyadari perasaan Ibram harus terluka. Dia terpaksa menerima sesuatu yang bukan keinginannya.
Ibram sudah menjalankan perintah sang ibu untuk menikahi gadis pilihannya. Inilah bakti Ibram kepada Mayang. Hanya ini yang mampu membuat ibunya tersenyum bahagia.
Selesai acara, Ibram memboyong Arumi ke rumah yang ia sewa. Karena ia tak mau tinggal seatap dengan ibunya atau mertuanya.
"Apa Mas Ibram ingin mandi? Biar aku siapkan air panasnya," kata Arumi dengan lembut.
"Nanti saja, aku ingin segelas kopi," ucap Ibram meminta.
"Baiklah, aku akan buatkan untuk Mas Ibram," Arumi gegas ke dapur menyiapkannya.
Tak lama kemudian, Arumi membawa segelas kopi permintaan Ibram. Ia lalu menghidangkannya di hadapan suaminya.
"Aku ke kamar dulu, Mas. Merapikan tempat tidur kita," pamit Arumi.
"Tunggu, Arumi!" cegat Ibram sebelum istrinya melangkah.
"Ada apa, Mas?" tanya Arumi dengan lembut.
"Aku ingin meminta maaf terlebih dahulu kepadamu," jawab Ibram membuat Arumi mengernyitkan keningnya.
"Kita 'kan menikah dijodohkan, aku harap kamu jangan terkejut jika aku belum menerima hubungan ini sepenuhnya," ungkap Ibram dengan jujur menatap wajah istrinya
Meskipun perih, Arumi tetap tersenyum.
"Satu hal lagi, pesta resepsi belum ditentukan kapan akan digelar. Jadi aku harap juga, kamu jangan memintanya cepat dilaksanakan," kata Ibram sembari menyeruput kopinya.
Lagi-lagi Arumi hanya tersenyum, ia lalu berkata, "Aku serahkan semua keputusan kepada Mas Ibram."
"Kamu tidak marah?" tanya Ibram menyelidik.
Arumi menggelengkan kepalanya.
"Kenapa tidak marah?" tanya Ibram memancing kesabaran istrinya itu sampai di mana.
"Walaupun kita menikah baru hanya ijab kabul saja sudah membuatku bahagia, Mas." Jawab Arumi diiringi senyuman.
"Terima kasih telah mengerti aku," ucap Ibram balas tersenyum meskipun terpaksa.
Ya, Ibram dan Arumi menikah di kediaman paman Arumi yang kebetulan berada di kota sama dengan Ibram. Hal itu agar keluarganya Ibram tak terlalu jauh harus ke kampung.
Pihak keluarga Arumi tak terlalu mempermasalahkannya, bagi mereka acara sakral sudah dilaksanakan dengan lancar. Keputusan rencana resepsi ada di tangan Ibram, dirinya yang menentukannya akan dibuat di rumah ibunya atau di kampung halamannya Arumi.
Selepas akad dan berkumpul dengan keluarga besar yang hadir. Ibram memutuskan segera membawa Arumi. Tentunya hal tersebut menjadi bahan ejekan saudara-saudara dari keduanya, jika Ibram tak sabar ingin melakukan ritual malam pertama. Padahal Ibram sudah bosan dan jenuh berada di tempat itu.
-
Malam harinya, setelah menikmati makan berdua. Ibram meminta Arumi terlebih dahulu tidur. Ia akan mengerjakan tugas kantor yang beberapa hari ini sempat terbengkalai karena sibuk mengurusi pernikahan.
"Mau aku buatkan minuman, Mas?" tawar Arumi.
"Tidak, terima kasih. Kamu tidur duluan saja," tolak Ibram tanpa menatap.
"Baiklah, Mas. Aku duluan!" pamit Arumi ke kamar.
-
Satu jam berlalu tepat jarum jam ke angka 10, Ibram belum juga masuk ke kamar. Arumi tampak gelisah, apalagi ini pertama kalinya ia tidur sekamar dengan seorang pria.
Arumi tak ingin tidur, ia takut sang suami marah jika belum mendapatkan haknya. Maklum, ini malam pertama yang kata orang-orang begitu dinantikan.
Arumi lantas turun dari ranjang tidurnya. Dalam pikirannya apa pekerjaan Ibram begitu banyak sehingga melupakan malam pernikahan mereka.
Arumi melihat Ibram telah tertidur di atas sofa dengan laptop mati. Arumi mendekat, ia menyentuh tangan suaminya.
Ibram yang merasa disentuh tersentak kaget, ia sampai tak sadar menepis tangan istrinya secara kasar.
"Maaf, Mas!" ucap Arumi merasa bersalah, ia takut Ibram akan marah.
Ibram sejenak terdiam melihat Arumi tanpa menggunakan hijab. Cantik tapi belum mampu menandingi pesona gadis impiannya. "Aku yang minta maaf!"
"Kenapa Mas tidur di sofa?" tanya Arumi dengan lembut.
"Aku sangat lelah, makanya ketiduran di sini," jawab Ibram beralasan padahal memang sengaja.
Arumi mengangguk paham, ia tak menaruh curiga kepada suaminya.
"Ayo kita ke kamar!" Ibram lantas bangkit dari duduknya dan melangkah.
Arumi yang mendengar ajakan suaminya, hatinya mendadak gugup. Malam ini ia akan menyerahkan mahkotanya.
Ibram naik ke atas ranjang, menarik selimut dan segera memejamkan matanya. Arumi juga melakukan hal sama, tapi ia sekilas melirik suaminya.
"Kenapa Mas Ibram tidak merayuku?" batin Arumi.
"Mungkin karena kami hanya kenal dalam waktu singkat dan dijodohkan makanya Mas Ibram belum bisa membuka hati," pikir Arumi berusaha tak suudzon.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments