Bulan yang ditunggu Arumi akhirnya tiba, ia begitu semangat karena hari ini akan pulang ke kampung bersama suaminya. Arumi menghampiri Ibram yang sedang memainkan ponselnya di ruang tamu.
"Mas, lusa 'kan hari Jum'at bertepatan tanggal merah. Jadi temani aku ke rumah orang tuaku?" tanya Arumi duduk di samping suaminya.
Ibram berhenti memainkan ponselnya, ia mengarahkan pandangannya pada kalender yang berada di dinding. "Jum'at memang aku libur, tapi aku tidak bisa mengantarkanmu."
Seketika raut wajah Arumi yang awalnya ceria mendadak redup.
"Aku akan meminta Malik menjemputmu, dia 'kan tinggal di kota ini juga," ucap Ibram.
"Tapi Malik kerja, Mas. Bagaimana mungkin dia dapat libur, apalagi ke kampung aku membutuhkan waktu lebih dari sembilan jam perjalanan," ujar Arumi berharap suaminya yang menemaninya.
"Malik 'kan dapat mengambil izin beberapa hari untuk menemani kamu," kata Ibram.
Arumi pun diam, ia tak mungkin mengajak debat suaminya yang ada hanya menjadi lelah saja.
"Selama dia menemani kamu, aku akan memberikan upah kepadanya. Anggap saja sebagai ganti rugi karena harus libur," ucap Ibram agar istrinya tak memaksanya ikut.
"Ya sudahlah kalau Mas Ibram tidak bisa menemani aku," kata Arumi pasrah. Ia tampak mau bertanya alasan suaminya menolak menemaninya.
"Kamu tidak marah, 'kan?" Ibram memastikan istrinya apakah benar-benar sabar atau sebaliknya.
Arumi tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Padahal dirinya benar-benar kecewa, suaminya tak dapat menepati janji.
"Kenapa dia tidak marah? Sebenarnya dia terlalu pasrah atau memang wataknya seperti itu?" batin Ibram.
Arumi lantas beranjak dari tempat duduknya dan pamit ke kamar untuk tidur.
***
Esok paginya, Arumi baru saja selesai sholat dan suami juga pulang dari masjid. Ibram memasuki kamar lalu berkata, "Nanti tidak usah kamu bawa bekal makan siang, ya."
"Kenapa, Mas?"
"Ada rapat di restoran nanti siang jadi makan di sana."
"Oh."
"Rum, kirim nomor rekening kamu!" pinta Ibram.
"Tunggu sebentar, Mas." Arumi mengambil ponselnya lalu mengirimkan pesan ke nomor suaminya.
"Aku akan mentransfer ongkos dan uang jajan selama kamu di sana," kata Ibram.
"Iya, Mas."
Selesai sarapan, Ibram berangkat ke kantor. Arumi lalu mengerjakan pekerjaan rumahnya. Ia menyempatkan waktu menelepon adik laki-lakinya untuk memastikan kembali jadwal keberangkatan mereka.
Tak lama setelah menghubungi sang adik, ponsel Arumi berbunyi. Sebuah pesan masuk ternyata dari Ibram. Ia mengirimkan uang yang cukup besar hampir separuh gaji bulanan pria itu. Arumi membalas pesan suaminya dan mengucapkan terima kasih.
-
Sore harinya, Ibram pulang dari kantor tanpa membawa apapun. Tentunya hal ini menjadi perhatian Arumi biasanya sang suami membelikan sesuatu.
"Aku tidak sempat singgah, hari ini sangat lelah. Badanku pegal semua," jelas Ibram. Dia yakin jika istrinya pasti akan bertanya mengenai buah tangan yang selalu dibawanya pulang.
"Mas Ibram sakit? Aku batalkan saja pulang ke kampung," ucap Arumi tampak khawatir mendengar suaminya kelelahan.
"Jangan, Rum. Kamu sudah berjanji kepada mereka mau pulang, tidak mungkin dibatalkan. Aku baik-baik saja, kamu tak perlu khawatir," kata Ibram.
"Bagaimana mungkin aku bisa pergi sementara suamiku sedang sakit dan membutuhkanku?"
"Aku hanya kelelahan saja. Dibawa tidur dan istirahat juga besoknya sehat."
"Mas yakin mengizinkan aku pergi dalam keadaan kurang sehat?" tanya Arumi menatap suaminya.
Ibram mengangguk sebagai jawaban.
"Ya sudah, sebelum pergi aku akan membuatkan air jahe dan beli obat-obatan," kata Arumi.
"Tidak usah, Rum. Nanti aku makan dan obat beli saja," Ibram menolak bantuan istrinya agar tak semakin dirinya bersalah karena belum sepenuhnya menerimanya.
"Baiklah, kalau begitu," ucap Arumi. "Mas Ibram mau aku buatkan air panas?" lanjutnya bertanya.
"Tidak, Rum. Buatkan teh manis hangat saja," jawab Ibram.
"Baiklah, Mas. Aku akan buatkan, sekalian mau memanaskan lauk," ucap Arumi kemudian diiyakan Ibram.
****
Esok paginya selesai sarapan, Arumi sudah berkemas. Bekal makan juga sudah dipersiapkan, tinggal menunggu kedatangan adiknya Malik.
"Mas, hari ini aku masak lauk cukup banyak. Itu semua nanti buat makan siang dan malam. Air jahe ada di atas meja makan dan obat-obatan aku letakkan di laci nakas," kata Arumi di ruang tamu sembari duduk.
"Kenapa harus repot, Rum?"
"Aku tidak merasa direpotkan. Aku melakukannya sebagai seorang istri yang menginginkan suaminya selalu sehat dan baik-baik saja."
Ibram terpaku, apa yang dikatakan adik dan ibunya mengenai sosok Arumi benar adanya. Tapi, ketulusan hatinya belum juga berhasil menyadarkannya.
"Malik sudah datang, Mas!" Arumi mengarahkan matanya ke arah pagar rumah, ia lalu beranjak berdiri.
Ibram juga berdiri.
"Ayo, Mba!" ajak Malik yang berdiri di depan pintu.
"Titip Arumi, Lik!" ucap Ibram kepada adik iparnya sembari berjalan menghampiri.
"Iya, Mas!" Malik menyalim tangan iparnya.
"Kami berangkat, Mas!" pamit Arumi tersenyum lalu mengecup punggung tangan suaminya.
"Hati-hati, jika sampai kabari aku!" ucap Ibram kepada istrinya yang mengangguk mengiyakan.
Arumi dan adiknya lalu naik mobil travel yang akan membawa mereka pulang ke kampung halaman.
Ada sedikit kelegaan di hati Ibram melihat istrinya pergi. Setidaknya ia tak perlu berpura-pura peduli karena hanya akan membuat dirinya tersiksa.
-
-
Di kampung halamannya Arumi....
Arumi dan Malik tiba di rumah kedua orang tuanya, kedua adik perempuan mereka menyambutnya dan memeluknya saling bergantian.
"Kami merindukan kalian!" ucap Alila, 20 tahun.
"Aku juga!" sahut Amita, 18 tahun.
"Kakak juga merindukan kalian!" Arumi tersenyum bahagia.
Aisyah dan Amir muncul, menghampiri putra putrinya. Mereka melepaskan rindu dengan saling berpelukan. Ya, Malik jarang pulang kalau tidak ada acara atau hari raya. Terakhir bertemu ketika Arumi menikah.
"Suami kamu mana, Nak?" tanya Amir yang sedari tadi tak melihat Ibram.
"Mas Ibram sedang sakit, Yah. Makanya tak dapat ikut," jawab Arumi.
"Suamimu sakit, kenapa kamu pulang?" tanya Amir lagi.
"Aku tadi mau menunda ke sini tapi Mas Ibram melarangnya. Katanya dia tak ingin melihatku bersedih jika tidak bertemu kalian!" jawab Arumi menatap wajah kedua orang tuanya.
"Tapi apa kata orang, Nak. Suami lagi sakit malah ditinggal pulang kampung!" Amir tampak sedikit kecewa dengan sikap putrinya yang malah membiarkan Ibram dalam keadaan sakit.
"Mas Ibram tidak sakit parah, Yah. Hanya kelelahan saja, lagian obat dan vitamin sudah aku sediakan," jelas Arumi agar ayahnya berhenti bertanya mengenai suaminya.
"Yah, Mas Ibram tidak kesulitan berjalan. Walaupun wajahnya sedikit pucat, tapi dia sudah meridhoi Kak Arumi pulang kemari," sahut Malik.
"Iya, Yah. Arumi tidak akan mungkin keluar jika tanpa izin dari suaminya," timpal Aisyah, 50 tahun.
"Aku akan terus mengirimkan pesan dan meneleponnya untuk mengetahui keadaannya, Yah." Kata Arumi kepada sang ayah agar tak cemas dengan keadaan menantunya.
Amir mengangguk paham.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
Siti Muntamah
q suka sifat ibram masih belum suka dia nggak kasar sama istri
2024-06-06
1