Tiga bulan telah berlalu, akhirnya resepsi pernikahan Ibram dan Arumi dilaksanakan. Mereka mengadakannya di kediaman Ibram. Sesuai permintaan keluarganya Arumi karena kebanyakan saudara dan kerabat tinggal di kotanya Ibram.
Keduanya duduk di pelaminan, sembari berjabat tangan dengan tamu undangan. Tampak teman-temannya Ibram datang untuk mengucapkan selamat bahagia.
Robi naik ke panggung pelaminan seorang diri, ia melemparkan senyuman kepada Arumi yang menundukkan pandangannya. Tentunya hal itu tak luput dari perhatiannya Ibram sehingga pria itu berdehem.
"Selamat ya, akhirnya resepsi kalian jadi digelar!" sindir Robi bersalaman dengan Ibram.
"Terima kasih!" ketus Ibram.
"Arumi, jika Ibram pergi. Datanglah kepadaku!" kata Robi melirik Arumi.
"Aku tidak akan pergi darinya!" tegas Ibram dengan pelan.
"Aku senang mendengarnya, semoga kamu menepati kata-katamu!" lagi-lagi Robi berucap seringai.
"Turunlah cepat, jangan membuat acaraku berantakan!" titah Ibram.
"Iya, ini aku mau turun. Selamat bahagia buat kalian!" ucap Robi menatap kedua pengantin secara bergantian.
"Jangan dimasukkan hati perkataan dia!" bisik Ibram di telinga istrinya, Arumi pun mengangguk pelan.
Jam terus berputar, acara resepsi pernikahan Ibram dan Arumi telah berakhir. Tampak kedua pengantin kelelahan, namun tersirat senyuman di wajah Arumi.
Ibram memilih beristirahat lebih dahulu setelah sholat Isya, sementara Arumi masih membersihkan riasan wajahnya.
Setelah membersihkan diri, Arumi naik ke ranjang dan tidur di sebelah suaminya. Ia memandang wajah Ibram yang begitu menggemaskan, hanya begini ia dapat menatapnya lama.
Ibram membuka matanya, dengan cepat Arumi memalingkan wajahnya. "Kenapa belum tidur?"
"Aku lapar, Mas."
"Kenapa tidak bilang dari tadi?" Ibram lantas bangkit.
"Tadi tamu masih ramai, jadi tak sempat makan," alasan Arumi.
"Aku akan mengambilkan makanan, kamu di sini saja," kata Ibram.
Arumi mengiyakan.
Ibram lantas keluar dari kamarnya. Tak lama kemudian membawa sepiring nasi dan segelas air putih. Lalu menyodorkannya kepada sang istri.
"Terima kasih, Mas!"
"Makan yang banyak," kata Ibram.
"Nanti aku gendut, Mas Ibram tak suka," celetuk Arumi.
"Kamu gendut atau tidak, tetap istriku!" kata Ibram.
"Aku memang istrimu tapi tidak di hati Mas Ibram," singgung Arumi jujur.
"Kamu ingin berdebat malam ini?" Ibram menatap tajam istrinya.
Arumi menggelengkan kepalanya.
"Aku mau tidur, jangan ganggu!" Ibram yang kesal naik ke atas ranjang.
Arumi menikmati makanan yang diberikan suaminya dengan pelan.
***
Esok paginya, Arumi terbangun lebih awal dari suaminya. Keluar kamar dan melangkah ke dapur membantu ibu mertuanya yang akan menyiapkan sarapan.
"Ibram belum bangun, Rum?" tanya Mayang.
"Belum, Bu." Jawab Arumi sembari memotong bawang.
"Bangunkan sana, suruh ke mesjid!" titah Mayang.
"Iya, Bu." Arumi menyelesaikan pekerjaannya lalu bangkit dari tempat duduknya.
Arumi kembali ke kamar, ia mendekati suaminya. "Mas, bangunlah. Waktunya sholat!" ucapnya dengan lembut.
"Sebentar lagi, Rum!" Ibram berkata masih dengan mata terpejam.
"Ibu yang menyuruh, Mas!"
Mendengar kata Ibu, Ibram segera bangkit dari tidurnya membuat Arumi tersenyum.
"Sudah sana siap-siap sholat!" ucap Ibram.
"Aku lagi libur, Mas!"
"Oh," ucap Ibram lantas turun dari ranjang.
-
Selesai sholat Subuh, Ibram dan Arumi menikmati sarapan bersama keluarga besar suaminya. Tak ada yang curiga dengan hubungan antara sepasang suami istri. Tampak harmonis padahal cenderung kaku. Tiga bulan hanya jalan di tempat. Ibram sampai sekarang enggan menyentuh istrinya.
"Arumi, jika kamu hamil jangan terlalu lelah bekerja, ya. Biarkan semua pekerjaan rumah diberikan kepada Ibram," kata Mayang.
Arumi hanya tersenyum mengiyakan.
"Kenapa semuanya diserahkan kepadaku, Bu?" protes Ibram.
"Memang begitu, Bram. Apa salahnya kamu membantu istrimu? Dia 'kan sedang mengandung," ujar Mayang.
"Masalahnya dia belum hamil, Bu!" cetus Ibram.
"Iya, Ibu tahu. Makanya, sebelum hamil Ibu ingatkan," kata Mayang.
"Nanti aku bantu dia," kesal Ibram.
"Mas Ibram suka bantu-bantu di rumah, Bu. Walaupun aku belum hamil," sahut Arumi.
"Memang seharusnya begitu," kata Mayang.
-
Beberapa saudara sudah berpamitan pulang. Peralatan dan benda-benda pendukung resepsi telah diambil pemiliknya. Ya, seluruh barang di sewa keluarga Ibram.
Arumi menghampiri ibu mertuanya yang sedang seorang diri lagi beristirahat di dipan kesayangannya tepat di ruang tengah.
"Ibu, maaf mengganggu!" kata Arumi pelan.
Mayang lantas duduk ketika dihampiri menantunya. "Iya, Nak. Ada apa?"
"Bu, ada yang ingin aku bicarakan," ucap Arumi dengan ragu.
"Katakanlah!" Mayang tersenyum lembut.
"Bu, aku minta maaf. Jika belum bisa memenuhi keinginan Ibu," kata Arumi menunduk.
"Keinginan apa, Rum?" tanya Mayang bingung.
"Bagaimana jika aku tidak bisa hamil?" Arumi balik bertanya namun dengan kehati-hatian.
"Nak, kalian baru menikah tiga bulan. Jangan pesimis begitu!" nasehat Mayang menguatkan menantunya.
"Seandainya itu terjadi bagaimana, Bu?" tanya Arumi.
"Tak ada istilah seandainya, semua belum dijalankan," jawab Mayang.
"Bagaimana kalau aku benar-benar tidak dapat memberikan keturunan buat Mas Ibram, Bu?" tanya Arumi. Ia ingin jawaban dari mertuanya seandainya dirinya tak hamil, apakah masih menyayanginya atau tidak.
"Kamu tetap menantu kesayangan Ibu," jawab Mayang tersenyum.
"Kalau Mas Ibram tidak mencintai aku lagi, apa Ibu masih menganggap aku sebagai menantu?" tanya Arumi dengan wajah sendu.
Mayang tersenyum lalu memeluk Arumi. "Ibu tetap menyayangi kamu, apapun yang terjadi."
"Terima kasih, Bu!" Arumi meneteskan air matanya.
Obrolan keduanya ternyata di dengar Ibram yang ingin mengambil sesuatu di kamar namun langkah kakinya pergi ke arah ibu dan istrinya.
"Kenapa dia berkata seperti itu? Bagaimana mungkin hamil sedangkan aku belum menyentuhnya? Aku belum mencintainya, tapi mengapa harus bilang jika aku tidak mencintainya lagi? Memulai saja belum," batin Ibram.
-
Arumi ke kamar setelah mengobrol dengan Mayang. Ia terkejut ketika melihat suaminya ada di dalam. "Mas Ibram, bukannya tadi lagi menemani Dinda ke rumah bibi?"
"Aku sudah mendengar percakapan kamu dengan ibu," kata Ibram datar.
Arumi menelan salivanya.
"Kenapa kamu berkata begitu? Apa kamu ingin selalu dapat perhatian dan dekat dengan ibuku?" tuding Ibram.
"Aku menyayangi ibu, Mas Ibram dan Dinda, Mas," ucap Arumi dengan nada pelan m
"Tapi, aku tidak suka wajah pura-pura kamu. Jangan pikir aku tertarik dengan kebaikan yang kamu berikan!" kata Ibram menatap tajam.
Arumi menundukkan kepalanya dan meneteskan air matanya. "Maaf, Mas!"
"Halah, tak usah tunjukkan wajah sedihmu itu. Sama sekali tidak membuatku luluh!" sindir Ibram.
Arumi segera menghapus air matanya.
"Nanti sore kita pulang. Aku tidak mau lama-lama di sini, kamu semakin manja jika di dekat ibuku!" tukas Ibram.
-
Jam 6 sore, mereka tiba di rumah. Menyusun pakaian yang bersih di lemari dan pakaian kotor diletakkan di mesin cuci.
"Kamu tidak perlu menyiapkan makan malam, biar aku saja!" ketus Ibram.
"Tapi, Mas..."
"Tinggal panaskan saja, menurutku tidak terlalu repot!" Ibram cepat memotong ucapan istrinya.
Selesai Maghrib, keduanya duduk saling berhadapan menikmati makanan tanpa ada obrolan tampak hening. Hanya terdengar suara sendok dan garpu yang beradu.
Ibram yang mengambil alih mencuci piring, ia membiarkan istrinya beristirahat. Arumi ingin menolak tapi takut jika Ibram marah. Arumi memilih ke kamar dan membaca buku. Arumi tak mengerti dengan sikap suaminya, begitu baik kepadanya tapi masalah hati sulit mengungkapkannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments