Pengakuan cinta yang diungkapkan Arumi membuat Ibram menjadi gundah, bingung dan bimbang. Bibirnya berkata tidak mencintai Arumi tetapi hatinya menolak kenyataannya. Ketika ada pria lain menjadi pengagum istrinya, dia begitu marah.
"Katanya tidak cinta, tapi kenapa mesti cemburu?" pikir Ibram.
"Ya Allah, kenapa dengan diriku?" gumam Ibram sembari menatap langit malam di balkon rumah.
Dikamar, Arumi tak mampu menahan air matanya setelah pengakuan cintanya. Suaminya secara terang-terangan takkan pernah mencintai dirinya meskipun sebaik apapun dirinya.
"Apa aku salah mencintai suamiku, Ya Allah?"
Arumi yang tak dapat tidur dengan tenang lantas mencari keberadaan suaminya. Ibram meninggalkan kamar setelah perdebatan kecil diantara mereka. Selepas Isya, suaminya itu tak kunjung ia lihat.
Pintu depan telah dikunci, motor Ibram juga sudah berada di dalam garasi. Arumi mencarinya di berbagai sudut ruang di rumahnya.
Arumi melihat pintu tangga menuju lantai atas terbuka, Arumi segera naik untuk memastikannya dan ternyata benar Ibram sedang berdiri bersandar pagar dinding. "Mas!"
Ibram menoleh namun tak bersuara.
Arumi mendekat, "Aku minta maaf!"
"Pergilah tidur, Rum. Lupakan obrolan kita tadi," ucap Ibram membalikkan badannya menatap istrinya.
"Aku tidak bisa tidur jika Mas Ibram belum memaafkan ku," kata Arumi menahan air matanya.
"Apa yang perlu dimaafkan? Kamu tidak bersalah, di sini akulah yang harus minta maaf kepadamu karena belum mampu menjadi suami sesuai keinginan hatimu."
Arumi yang tak kuat menahan rasa perih, menubruk tubuh suaminya dan memeluknya erat. "Aku sangat mencintaimu, Mas. Aku mohon berikan kesempatan itu kepadaku!"
Ibram terpaku, ia tak mampu membalas pelukan istrinya.
"Aku memang tidak secantik dan tak sehebat Nadira tapi aku memiliki cinta untukmu, Mas!" isak Arumi dalam pelukan.
"Maafkan aku, bila mencintaimu!" lirih Arumi.
Ibram melonggarkan pelukannya, ia memegang kedua lengan tangan istrinya. "Rum, sekali lagi kukatakan aku tak bisa mencintaimu!"
Arumi mengangguk mengiyakan dalam keadaan air matanya meleleh.
Ibram mencoba tersenyum, "Jalani saja ini, jika suatu hari kamu mencintai pria lain maka aku mengizinkanmu pergi."
Arumi menggelengkan kepalanya. "Aku tidak akan pernah mencintai pria lain kecuali suamiku."
Ibram melepaskan kedua tangannya dan mengacak rambutnya.
"Jika Mas Ibram terus menyuruhku mencintai pria lain, aku tidak akan pernah mau berpisah dengan Mas Ibram," ancam Arumi.
"Arumi, kamu akan tersiksa jika terus berharap padaku," kata Ibram.
"Aku akan pergi dari kehidupan Mas Ibram jika ajal menjemput ku!" Arumi berkata dengan tegas.
Suara petir menggelegar bersamaan dengan perkataan yang diucapkan Arumi. Keduanya lantas melihat ke arah langit.
Ibram menarik napasnya, ia tak tahu harus bicara apa lagi kepada istrinya agar paham dengan perasaan hatinya.
"Arumi, ayo kita masuk. Sepertinya hujan akan turun!" Ibram mengajak istrinya dengan suara lembut.
"Aku tidak mau masuk sebelum Mas Ibram memaafkan diriku!" kata Arumi.
Ibram menghela.
Arumi tak bersalah, dialah yang memberikan harapan kepada istrinya tapi enggan menerima hatinya.
"Cepat, Mas. Maafkan aku!" rengek Arumi.
"Aku memaafkanmu!" kata Ibram pasrah.
"Terima kasih, Mas!" Arumi menghapus air matanya dan tersenyum.
"Ayo kita tidur!" Arumi menggenggam tangan suaminya dan menariknya.
-
Arumi telah tertidur dengan pulas. Sementara Ibram belum dapat memejamkan matanya. Ia masih memikirkan obrolan dirinya dan istrinya. Rasa bersalah terus mengikutinya sehingga membuatnya menjadi gundah.
Arumi menikmati waktu istirahatnya setelah suaminya memaafkan dirinya. Memang tak mudah menaklukkan hati suaminya yang terobsesi dengan Nadira.
Ibram lantas memiringkan tubuhnya, ia memperhatikan wajah istrinya begitu dalam. Ia mengingat salah satu perkataan seorang pendakwah jika hubungan kalian terasa hambar pandanglah wajah pasanganmu ketika tidur.
"Aku tidak pantas memilikinya yang hampir sempurna," batin Ibram.
"Ma'afin aku, Rum!" lirih Ibram lalu mengecup kening istrinya untuk kedua kalinya. Ya, Ibram pernah melakukannya ketika selesai mengucapkan akad pernikahan.
Arumi meneteskan air matanya ketika suaminya memunggunginya, kecupan singkat itu yang ia harapkan selama ini. "Terima kasih, Mas!" batinnya.
***
Ibram duduk di kursi menikmati sarapan buatan istrinya. Arumi masih sibuk wara-wiri menyiapkan bekal makan siang suaminya.
"Apa kamu tidak bisa duduk sebentar, Rum?" singgung Ibram merasa risih melihat istrinya mondar-mandir.
"Aku harus mempersiapkan semuanya tepat waktu, Mas. Nanti malam kita akan menginap di rumah ibu," kata Arumi meletakkan nasi ke dalam kotak makan.
"Loh, memangnya ada apa?" tanya Ibram.
"Besok pagi ada acara nikahan sepupu Mas Ibram, masa lupa, sih'," jawab Arumi.
"Astaghfirullah, aku lupa." Ibram menepuk jidatnya.
"Masih muda sudah lupa!" sindir Arumi.
"Kenapa ibu tidak mengingatkan aku lagi?" tanya Ibram pada istrinya.
"Ponsel Mas tidak bisa dihubungi makanya tadi sehabis Subuh Dinda menelepon aku," jawab Arumi.
Ibram lalu melihat ponselnya, "Iya, memang mati." Ibram segera menghidupkannya.
Arumi lalu menyodorkan kotak makanan yang telah terbungkus di tas kecil. "Jangan bersisa, Mas. Kalau bisa dibagikan dengan teman-teman Mas Ibram." Karena biasanya suaminya jarang menghabiskan sayur atau lauk.
"Aku tidak mau berbagi dengan mereka, jika tahu rasa masakanmu mereka tiap hari akan menyuruhku membawa bekal," kata Ibram.
"Alhamdulillah kalau mereka suka, aku senang," ucap Arumi tersenyum.
"Ya sudah, aku mau berangkat. Siapkan semua perlengkapan yang mau kita bawa ke sana. Sebelum Maghrib kita pergi," kata Ibram
Arumi mengangguk mengiyakan.
**
Sore harinya Ibram pulang kerja, ketika sampai di garasi ia tak mendengar suara Arumi menyambutnya. Ia lantas masuk ke rumah memanggil nama istrinya.
"Arumi, kamu di mana?" Ibram mencari istrinya di setiap ruangan.
Seluruh ruangan telah ditelusurinya tapi tak menemukan sosok istrinya. Ia lantas menghubungi ponsel Arumi, terdengar suara dari arah kamar.
"Ponselnya di kamar, kemana sebenarnya dia?" gumam Ibram.
Arumi tidak pernah keluar rumah tanpa seizin Ibram. Istrinya itu selalu bicara jika ingin pamit bepergian termasuk ke rumah tetangga.
Ibram semakin gelisah, istrinya tak ditemukan. Ia kembali mencarinya di ruangan yang sama.
Ibram baru sadar kalau istrinya biasanya akan mengangkat jemuran ketika sore hari. Ibram dengan cepat naik ke balkon. Alangkah terkejutnya dirinya ketika melihat Arumi tergeletak.
"Arumi!" pekik Ibram berlari mendekat.
Ibram mengangkat kepala istrinya, diletakkannya di paha. "Arumi, bangunlah!" menepuk pipinya.
Arumi tak memberikan respon.
Ibram lantas mengangkat tubuh istrinya dan membawanya ke kamar. Ibram membaringkannya di atas ranjang. Ibram kembali membangunkannya. "Arumi, apa kamu mendengar aku?" tersirat kekhawatiran.
Arumi sama sekali tak bergerak, wajah dan tangannya pucat.
Ibram semakin cemas, ia meletakkan jemarinya di ujung hidung istrinya namun tak ada hembusan napas terasa.
"Arumi, jangan bercanda!" Ibram meninggikan suaranya karena benar-benar khawatir.
Tubuh Arumi tetap diam.
Ibram ingat dengan ucapan istrinya kemarin malam di balkon. "Tidak, Arumi. Kamu tak boleh meninggalkan aku. Ayo, bangun!"
"Arumi, aku mohon bangunlah!" Ibram menggoncang tubuh Arumi dengan kedua tangannya.
"Arumi!" pekik Ibram diiringi tangisan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments