Arumi keluar dari kamar mandi dengan menundukkan kepalanya, ia tampak malu-malu diperhatikan Ibram yang baru selesai berpakaian. Ibram tersenyum lalu mendekati istrinya, "Butuh bantuan?"
Arumi menggelengkan kepalanya.
"Cepat pakaian, kita sholat berjamaah," ucap Ibram.
"Mas tidak ke mesjid?" tanya Arumi menyakinkan.
"Aku mau sholat denganmu," jawab Ibram.
Arumi tersenyum senang mendengarnya, ini adalah sholat kedua kali mereka setelah kemarin malam sebelum berhubungan suami istri.
"Tunggu, ya, Mas. Aku mau pakaian," kata Arumi semangat.
Beberapa menit kemudian mereka sholat berjamaah lanjut membaca Alquran. Arumi begitu senang akhirnya suaminya menerima dirinya. Tak lupa ia bersyukur kepada Sang Maha Pencipta, doa-doa yang selalu dipanjatkan satu persatu dikabulkan.
Selesai sholat, Ibram biasanya akan berolahraga ringan lalu lanjut membersihkan halaman sebelum mandi untuk berangkat ke kantor.
Ibram keluar dari kamar menyusul istrinya yang masih berkutat dengan alat penggorengan. Ibram mendekat dan mengecup ujung kepala istrinya secara spontan.
Arumi sempat terdiam melihat sikap suaminya yang begitu manis. "Aku bau bumbu, Mas!"
"Biarin saja, memangnya aku peduli!" ucap Ibram santai. Menarik kursi dan menyeruput teh hangat.
"Ini bekal makan siang buat Mas," Arumi meletakkan tas berukuran kecil di samping suaminya.
"Terima kasih!" Ibram tersenyum hangat.
"Hari ini aku mau ke pasar, Mas mau dimasakkan apa?" tanya Arumi.
"Terserah kamu saja," jawab Ibram.
"Mungkin belanja hari ini sangat banyak, karena beberapa bahan bumbu dapur sudah habis," kata Arumi.
"Mau aku antar?" Ibram menawarkan diri.
"Tidak usah, Mas. Nanti Mas Ibram terlambat gajinya dipotong, aku juga yang rugi," ujar Arumi membuat Ibram tertawa kecil.
"Aku naik becak atau ojek saja, Mas."
"Aku antar nanti kamu pulang naik becak," Ibram memberikan usulan.
"Boleh juga!" Arumi menyetujui saran suaminya.
Ibram pun berangkat mengantarkan istrinya ke pasar lalu lanjut ke kantor.
-
-
Sore harinya, Ibram mendatangi sebuah kafe karena permintaan Bagas yang kebetulan sedang mendapatkan bonus besar.
Ketiganya melihat Ibram tampak lebih bersemangat dan selalu tersenyum.
"Sepertinya ada yang lagi bahagia, nih!" singgung Syahrul.
"Siapa? Bagas?" terka Ibram.
"Lah kamu!" ucap Syahrul.
"Sepertinya aku biasa saja!" kata Ibram.
"Bram, bagaimana kabarnya Arumi?" Robi sengaja menggoda temannya itu.
"Alhamdulillah dia sehat dan makin bahagia," Ibram berkata dengan bangga.
"Benarkah? Kenapa aku tidak yakin, ya?" ledek Robi.
"Alhamdulillah kalau Arumi bahagia, kasihan anak orang diambil tapi cuma disakiti," sindir Bagas.
"Aku tidak menyakitinya hanya belum siap menerimanya!" Ibram menyangkal.
"Sama saja itu!" sinis Robi.
"Berarti kalian sudah melaksanakannya, 'kan?" tanya Syahrul penasaran dan hanya dijawab dengan tawa kecil.
"Mendengar kamu dan Arumi bahagia, aku jadi pengen cepat menikah," ceplos Syahrul.
"Sudah buruan nikahi dia, diambil orang baru tahu rasa!" kata Bagas.
"Dia belum siap," ucap Syahrul sedikit sedih.
"Tanyakan lagi kepadanya, dia benar serius denganmu atau tidak. Biasanya perempuan itu inginnya cepat di nikahi," ujar Ibram memberikan pendapat.
"Nanti aku tanyakan lagi kepadanya," ucap Syahrul.
"Kalau kamu?" Bagas mengarahkan pandangannya kepada Robi.
"Aku?" Robi menunjuk dirinya.
"Iya, kamu kapan nikah?" tanya Bagas.
"Aku ingin seperti Arumi," jawab Robi.
"Perbaiki diri sebelum mendapatkan seperti dia!" cetus Ibram.
"Kamu saja bisa mendapatkan Arumi. Kenapa aku tidak?" Robi membandingkan dirinya dengan Ibram yang menurutnya sikap, sifat dan akhlak tak jauh beda.
"Entahlah, mungkin mendapatkan Arumi adalah anugerah dan rejeki," ucap Ibram bangga.
"Tolong cari 'kan satu untuk aku seperti dia!" pinta Robi.
"Kalau kami yang mencarinya, dipikir mau nambah istri lagi!" celetuk Bagas membuat Ibram dan Syahrul tertawa.
"Nadira tuh sepertinya menyukaimu!" ceplos Ibram menatap Robi.
"Hah! Benarkah?" Syahrul tampak tak percaya.
"Iya, Arumi yang bilang padaku. Arumi pernah bertemu Nadira dan mereka sempat mengobrol," jelas Ibram.
"Aku tidak mau dia, cari wanita lain saja!" tolak Robi secara terang-terangan.
"Rob, Nadira cantik. Tinggal bimbing saja dia ke jalan yang benar," sahut Bagas.
"Aku setuju kalau Nadira dengan kamu," timpal Syahrul menatap Robi.
"Aku tidak mau dengannya, apa tak ada pilihan lain?" kesal Robi.
"Kami hanya menyarankan saja, Rob. Daripada Nadira menikah dengan mantan pacarnya yang aneh itu!" ujar Syahrul.
"Mantan pacarnya yang suka memukulnya itu?" tanya Bagas. Dia memang mengetahui cerita asmara sepupu Syahrul daripada Ibram dan Robi.
"Iya. Dia tak mau, tapi ibunya Nadira selalu memaksanya apalagi mantan pacarnya itu anak orang kaya," jawab Syahrul.
"Buruan nikahi, Rob!" desak Ibram.
"Loh, kenapa aku? Memangnya dia hamil? Harus aku yang tanggung jawab. Tidak 'kan?" Robi tak suka dipaksa.
"Daripada dia dengan pria lain," sahut Ibram.
"Kamu saja dengan dia, aku sama Arumi!" ucap Robi blak-blakan.
"Arumi tidak akan pernah aku serahkan kepada siapapun. Ibuku akan mengutukku!" kata Ibram, jika ingat ucapan ibunya yang lebih menyayangi Arumi daripada dirinya.
-
Selepas mengobrol sejenak dengan teman-temannya, Ibram pulang membawa sebungkus makanan pemberian Bagas.
"Assalamualaikum!"
"Waalaikumussalam!" Arumi menyambut Ibram dengan senyuman meraih tangan dan dikecupnya.
"Aku bawa ini untukmu, dari Bagas," Ibram menyerahkan kantong plastik tersebut.
"Alhamdulillah. Katakan pada teman Mas, terima kasih," Arumi menerimanya dengan senang hati.
"Nanti aku sampaikan!" kata Ibram. "Aku mau mandi, kita sholat Maghrib di masjid, ya!" lanjutnya.
Arumi mengangguk mengiyakan.
-
Sementara di tempat lain, Robi memikirkan perkataan temannya. Ia tak percaya jika Nadira pernah mengalami hal buruk ketika menjalin hubungan dengan seorang pria. Memang tidak ada berita yang ia dengar dari media elektronik ataupun sosial.
"Aku tidak mau menikah dengan Nadira. Dia itu berbeda, bukan seperti Arumi yang baik dan sopan. Pakaiannya saja selalu terbuka, apalagi bagian punggung dan paha," gumam Robi sembari menyetir.
"Entah kenapa Ibram sempat menyukainya? Padahal Nadira sama sekali tak ada menariknya meskipun dia tinggi, langsing, hidung mancung dan sangat sempurna tapi bagiku dia biasa saja," kata Robi bermonolog.
Hampir 45 menit di jalan, Robi akhirnya tiba di rumah. Kedua orang tuanya bersiap-siap hendak menuju masjid terdekat.
"Mama, Papa, mau ke mana?" Robi heran dengan penampilan kedua orang tuanya.
"Kami mau sholat di masjid, Robi," jawab Papa Robi.
"Sholat?" Robi mengerutkan keningnya. "Tumben? Ada angin apa?" sindirnya.
"Astaghfirullah, ini anak. Orang tuanya mau bertobat malah di tanya angin apa?" omel Mama Robi.
"Rasanya aneh saja melihat Mama dan Papa sholat ke mesjid," kata Robi.
"Harusnya kamu bersyukur Mama dan Papa bertobat sebelum ajal menjemput," ucap Papa Robi.
"Baiklah, aku ucapkan alhamdulillah. Semoga Papa dan Mama istiqomah dalam kebaikan!" harapan Robi.
"Ya sudah, kami pergi dulu. Sebentar lagi adzan," kata Mama Robi. "Kamu mandi sana, jangan lupa sholat biar cepat dapat jodoh!" lanjutnya.
"Ya Allah, kenapa bahas jodoh lagi, Ma?" protes Robi.
"Ayo, Ma. Kita berangkat!" Papa Robi menarik tangan istrinya dan berlalu.
"Jodoh lagi, jodoh lagi. Kenapa selalu itu saja pembahasannya?" Robi menggerutu kesal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments