Kalya tidak tahu apa yang membuat Gavin bisa bersikap setenang itu terhadapnya. Tanpa menunjukkan raut wajah bersalah, Gavin berdiri di depan meja kerja Kalya dan menatapnya dengan sorot mata seolah Kalya itu adalah seorang tersangka pembunuhan yang patut untuk dihakimi.
"K-kamu…" Kalya meremas kedua tangannya di bawah meja. Perasaannya mengatakan kalau ia ingin sekali memukul, ataupun mencakar wajah datar Gavin saat ini. Tapi, logikanya langsung melarang. Entah kenapa, dia jadi takut melihat wajah Gavin yang malah terlihat menyeramkan seperti ini. Dia jadi ingat dengan kejadian beberapa waktu lalu bersama Gavin.
"Gavin, mau apa kamu kemari? Kalau nggak ada yang mau diomongin, mending kamu balik ke tempat kamu sekarang."
Kalya berbicara dengan sedikit pelan. Matanya melirik ke kanan dan kiri melihat rekan kerjanya yang terus memperhatikan dirinya dan juga Gavin. Kalya jadi takut, kalau sikap Gavin yang seperti ini akan menimbulkan rasa curiga di antara karyawan lain terhadap diri Gavin yang mempunyai sebuah hubungan dengan Kalya.
"Mama tadi titip bekal ini buat lo. Katanya, lo nggak boleh telat makan dan minum vitamin yang dikasih sama dokter." Gavin menyerahkan buah kotak makan dan sebuah plastik putih ke atas meja kerja Kalya. Wajah dinginnya terlihat begitu datar saat Kalya menerima kotak bekal itu dengan tangan yang bergetar.
"M-makasih..." ucap Kalya terbata.
Kalya menundukkan wajahnya dalam. Sebenarnya, dia sangat ingin melemparkan makanan pemberian Gavin ini ke wajah lelaki itu, seperti dia melemparkan makanan pemberian Mario ke tempat sampah. Tapi, kendati melakukan hal semacam itu, Kalya lebih memilih untuk diam tanpa berkata-kata lagi. Bagaimana pun makanan itu adalah titipan dari Nia yang merupakan kakak ipar dari Kalya sendiri.
Satu detik, dua detik, sampai hitungan ke lima, Gavin masih tetap berdiri di tempatnya. Dan hal itu sukses membuat Kalya mengangkat wajahnya kembali memandang laki-laki di depannya dengan tatapan tidak suka.
"Ada apa lagi?" tanya Kalya mengerutkan dahinya melihat wajah datar Gavin.
"Nggak ada." Jawabnya.
"Terus, kenapa masih di situ?"
"Emang gue nggak boleh ada di sini? Emang lo siapa, berani larang-larang gue?" sengit Gavin tiba-tiba, membuat wajah Kalya memerah.
Tangan gadis itu mengepal dengan bibir yang terkatup geram.
"Aku memang bukan siapa-siapa. Tapi, kamu harus ingat, kalau kamu itu adalah anak magang di perusahaan ini. Kamu mau, kalau sampai Pak Kendra tahu tingkah laku kamu yang seperti ini?"
Sudut mata Kalya berair menatap Gavin yang hanya bisa terdiam. Mereka saling tatap, dengan Kalya yang memberikan isyarat bagi Gavin untuk sadar dimana mereka saat ini berada.
"Oke," Gavin menghelakan napas panjang dan mengedikkan bahunya sekilas. "Habis ini, jangan menghindar lagi. Dengar?"
Akhirnya, setelah mengatakan ultimatum semacam itu, Gavin berlalu meninggalkan meja kerja Kalya. Menyisakan raut wajah bertanya di setiap rekan kerja Kalya yang melihat dan mendengar pembicaraan keduanya. Sayup-sayup, Kalya pun bisa mendengar kalau beberapa di antara mereka sudah mulai berbisik satu sama lain.
"Itu anak magang, ada urusan apa sih, sama Kalya?"
Kalya pun diam pura-pura tidak mendengar ucapan teman-teman di sampingnya. Dia hanya menarik napas panjang dan menatap kotak makan pemberian Gavin tadi dalam-dalam. Andai saja kejadian buruk itu tidak menimpa dirinya dan Gavin sebagai pelakunya, mungkin saat ini Kalya pasti akan dengan senang hati menyantap makanan pemberian ibunya Gavin itu dengan lahap. Tapi, masalahnya sekarang adalah, mengingat nama Gavin ataupun segala hal yang bersangkut paut dengan lelaki itu, membuat Kalya ingin mengeluarkan semua isi perutnya.
Kalya benci. Sangat benci mengingat Gavin dan apa yang telah lelaki itu lakukan untuk merusak masa depan Kalya. Jika saja selama ini Kendra tidak memperlakukan Kalya selayaknya adik yang sangat disayangi oleh pria itu, pasti saat ini Kalya sudah pergi dari rumah keluarga Gavin tanpa menoleh sekalipun. Tapi, Kalya sadar, kalau ia mengambil langkah itu, sama saja dengan dia melukai perasaan Kendra yang telah mengasihinya selama ini. Apalagi, Kendra tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Kalya hingga membuat gadis itu menghindar beberapa hari belakangan ini.
"Mas… maafin Kalya, ya?" gumam Kalya bersedih. Sebelum air matanya menetes, gadis itu menelungkupkan wajahnya di atas meja. "Kalya bersalah…"
***
Kalya menggigit bibir bawahnya resah. Tangannya saling meremas gelisah karena harus duduk dalam satu mobil dengan Gavin. Dan itupun, hanya mereka berdua.
Tadi, sebelum pulang kerja, Kendra sempat menghubungi Kalya dan melarang gadis itu untuk kerja lembur hari ini. Kondisi Kalya yang jatuh sakit beberapa hari yang lalu dijadikan Kendra sebagai alasan untuk menyuruh anaknya, Gavin, untuk membawa Kalya pulang ke rumah mereka. Dan Kalya pun, tidak bisa menolak karena takut Kendra curiga ataupun kecewa, terpaksa harus menerima ajakan Gavin untuk masuk ke dalam mobilnya.
Sepanjang perjalanan, tidak ada interaksi apapun yang terjadi di antara. Keduanya hanya fokus dengan kegiatan masing-masing, dimana Kalya terlihat jelas menghindari komunikasi apapun dengan Gavin.
"Kalo mau tidur, ya tidur aja… gue nggak bakal ganggu kok," terdengar suara dingin Gavin yang masih menatap lurus ke depan, membuat Kalya tidak percaya dan menegakkan tubuhnya kaget.
Gavin pun menghelakan napasnya sedikit. Dia menggeleng sedikit dan kemudian kembali fokus pada jalanan dimana mobil-mobil hanya bisa merayap pelan di atasnya.
"Lo nggak usah takut. Gue cuma mau lo istirahat doang. Ntar, kalo lo sampai sakit lagi, Papa dan Mama gue juga yang repot, kan?"
Ucapan Gavin kali ini lagi-lagi menusuk relung hati Kalya. Secara tidak langsung, Gavin telah mengatakan kalau Kalya itu adalah orang yang merepotkan.
Kalya kembali membuang pandangannya ke arah luar jendela. Sungguh, dia sangat ingin cepat-cepat turun dari mobil itu. Dia sudah tidak tahan. Jantung dan hatinya terus saja berdenyut tidak senang berada di samping Gavin dan mendengar suara lelaki kejam itu.
Suara yang berasal dari ponsel di dalam tas Kalya, membuat Kalya berjangkit sedikit. Dia merogoh isi tasnya dan menjawab panggilan tersebut yang ternyata dari seniornya, Mario.
"Halo, Mas?" sapa gadis itu lembut.
"Halo, Kal? Kamu dimana? Kok nggak ada di kantor?" tanya Mario langsung.
"Oh, iya, Mas… Aku udah di jalan. Mau pulang,"
"Pulang?!" Mario seperti terkejut mendengar jawaban Kalya. "Tapi, bukannya kamu bilang mau pulang bareng aku? Kok jadi aku yang ditinggal, sih?" protes Mario kemudian.
Kalya hanya bisa tersenyum masam. Dia mengusap tengkuknya tidak enak, dan melirik ke arah Gavin yang saat ini memasang tampang menyeramkan. Tatapan mata lurus dan tajam, serta rahang yang mengetat dengan tangan yang mencengkram erat kemudinya.
"Maaf, Mas... tadi, Pak Kendra nelpon aku dan nyuruh aku pulang cepat. Jadi, aku belum sempat ngabarin Mas, deh… Maaf, ya?"
"Belum sempat atau lupa?" sindir Mario lagi, membuat Kalya hanya bisa tersenyum pelan.
"Maaf deh, Mas… jangan marah gitu, dong…. Aku janji, lain kali nggak akan lupain Mas lagi, kok…. Bener!" seolah lupa dengan siapa yang ada di sampingnya, Kalya mengangkat dua jarinya ke udara dan tertawa pelan, ketika mendengar Mario menggerutu.
"Yaudah, deh… nggak papa," Mario menarik napas panjang, dan kembali bertanya. "Oh ya… kamu pulang naik apa? Naik taksi, atau…"
Pertanyaan itu seketika membuat Kalya tersadar. Dia melirik ke arah samping, tepat pada wajah Gavin yang terlihat seperti ingin membunuh seseorang.
"Aku sama Gavin, Mas. Tadi, Pak Kendra yang minta Gavin buat antar aku," jawab Kalya pelan nyaris berbisik.
"Oh…, yaudah kalau begitu, bilang sama Gavin hati-hati bawa mobilnya. Nggak usah ngebut." Pesan Mario, diam-diam membuat Kalya meringis dalam hati. Jangankan mengatakan hal tersebut, menegurnya saja Kalya sudah tidak mau.
"Dan buat kamu, begitu sampai rumah, jangan lupa makan, terus mandi. Oke?" pesan Mario lagi, kali ini membuat Kalya memberengutkan sedikit wajahnya.
"Nggak oke!" kata gadis itu membuang pandangannya ke arah lain. "Aku 'kan udah gede! Nggak usah dibilangin juga, aku pasti lakuin, kok…" protesnya pada Mario, lagi-lagi membuat pria itu tertawa pelan di tempatnya.
"Ya, bagus dong, kalau begitu, artinya aku naksir sama orang yang tepat. Mandiri dan bukan tipe cewek manja. Bener, nggak?"
Entah itu kalimat yang berasal dari hati Mario sebenarnya, atau hanya sebuah candaan semata, Kalya merasa sedikit senang mendengarnya. Hatinya damai dengan detak jantung yang begitu menenangkan.
Seperti berbisik, Kalya menjawab. "Iya,"
Hati Kalya yang tadinya sedang berbunga, mendadak terasa layu, ketika mendengar suara deheman keras dari sebelahnya. Gavin yang sepertinya terlihat tidak suka, langsung melirik Kalya dengan sorot matanya yang tajam.
"Eum...Mas… aku… aku tutup teleponnya dulu, ya? Takut Gavin terganggu." Pamit Kalya nyaris berbisik pada Mario yang malah terdengar menggerutu.
"Nggak usah gitu juga, otak anak itu udah terganggu kali, Kal!" decak Mario.
"Mas…!"
Mendengar teguran Kalya yang gusar, membuat Mario hanya bisa menarik napas panjang. "Yaudah deh, gak papa. Kamu hati-hati, ya… Bye!"
"Bye,"
Begitu panggilan itu terputus, Kalya langsung memasukkan ponselnya ke dalam tas. Setelah itu, dia memiringkan tubuhnya kaku menatap jalanan kota yang terlihat cukup macet sore itu.
"Romantis banget, sih… udah jadian, ya?"
Kalya berusaha menulikan telinganya, mendengar nada sindiran yang Gavin keluarkan untuknya. Dia tidak mau membuka interaksi apapun pada cowok itu, karena takut akan mengundang hal yang tidak Kalya inginkan sama sekali. Bagaimana pun, hasil perbuatan Gavin malam itu menimbulkan rasa takut yang amat besar dalam diri Kalya. Apalagi, saat ini mereka hanya berdua di dalam mobil. Maka Kalya, akan berusaha sekuat tenaga untuk tidak menanggapi Gavin di sisinya.
Sementara itu, Gavin yang sadar dengan sikap Kalya yang sengaja mengabaikannya, langsung merasa marah dan berkata cukup keras.
"Kayaknya bumi ini udah penuh sama orang-orang brengsek!"
Pukulan Gavin pada kemudinya yang terdengar begitu keras, membuat Kalya kaget dan menoleh pada lelaki itu. Matanya menatap tajam sosok Gavin yang saat ini tengah mengatur napasnya karena emosi.
"Kamu salah satunya, kan?" balas Kalya, seketika membuat Gavin melihat ke arahnya.
"Apa?!"
Suara gemeretak gigi Gavin menatap Kalya, membuat nyali wanita itu kembali menciut. Dia hanya memberengutkan wajahnya dan membuang pandangannya lagi ke arah lain.
"Putusin cowok itu sekarang!" perintah Gavin tiba-tiba, seketika membuat Kalya merasa terkejut bukan main.
"Apa?!"
"Lo nggak budek, Kalya! Gue minta, lo putusin si brengsek Mario itu sekarang! Detik ini juga! Paham?"
Tepat saat itu, kemacetan jalan raya mulai berkurang. Perlahan-lahan, jalanan mulai lempang kembali, hingga membuat Gavin bisa leluasa melajukan mobilnya dengan kecepatan yang tinggi.
Sedang Kalya, gadis itu hanya bisa terdiam mencerna semua ucapan Gavin kepadanya.
"Aku benar-benar nggak ngerti sama jalan pikiran kamu, Gavin. Mas Mario itu--"
"Pokoknya, gue nggak mau tahu! Besok, gue nggak mau dengar lagi kalau lo punya hubungan sama cowok manapun! Termasuk si Mario! Ngerti?!"
Kalya tersentak, ketika Gavin membentak tepat di depan wajahnya. Emosi Kalya yang saat itu memang sedikit tidak terkendali, jadi membuncah dan berani membalas Gavin.
"Enggak! Aku nggak ngerti sama sekali! Aku ini Tante kamu! Apa hak kamu ngatur-ngatur aku?! Mau aku pergi bareng siapa juga, itu urusan aku! Bukan urusan kamu! Kamu itu cuma anak kecil yang nggak tahu apa-apa! Kamu cuma anak ingusan, yang bertindak tanpa berpikir sama sekali! Kamu pikir, apa yang kamu lakukan sama aku itu adalah hal yang wajar, hah?! Coba kamu pikir lagi, Gavin! Pikir! Jangan suka bertindak sembarangan, apalagi tentang apa yang harus aku lakuin! Ngerti kamu?!"
Kalya terengah-engah meluapkan kemarahannya dalam kalimat yang panjang. Pandangannya berserobok dengan mata Gavin yang menunjukkan kilat amarah.
Gavin pun tersenyum sinis. Emosi yang sudah mencapai ubun-ubun membuat Gavin semakin mengencangkan laju kendaraannya. Cengkramannya semakin kuat pada kemudi membelah jalanan menuju rumah mereka.
Begitu tiba, Gavin langsung turun dari mobil dan menghampiri Kalya yang masih syok duduk di tempatnya. Pria itu membuka pintu Kalya kasar dan mencengkram kedua bahu Kalya kuat.
"Ga-Gavin…"
"Dengar! Gue ngomong ini bukan untuk becanda sama lo. Tapi, ini peringatan! Gue mau, lo untuk berhenti dekat sama cowok manapun! Entah itu Mario, atau cowok manapun di kantor ataupun dimana aja! Ngerti?!"
Kalya yang merasa ketakutan hanya bisa diam menatap Gavin dengan sorot mata memelas. Cengkraman Gavin di lengannya begitu menyakitkan. Ditambah dengan ucapan pria itu yang melarang Kalya berhubungan dengan pria lain, membuat Kalya bingung dan bertanya-tanya dalam hati. Apa sebenarnya salah Kalya pada Gavin?
"Tapi, Tante--"
"DIAM!" bentak Gavin tiba-tiba memukul kaca mobil di sisi Kalya hingga menimbulkan suara hantaman yang keras. Kalya jadi beringsut takut melihat Gavin yang terlihat kerasukan setan seperti itu. Air mata Kalya bahkan sudah menetes saking ketakutannya.
"Udah berapa kali gue bilang, lo itu bukan Tante gue! Gue bukan keponakan lo! Lo bukan keluarga gue! Lo dengar nggak, sih?!"
Teriakan Gavin depan wajah Kalya benar-benar membuat hati Kalya terluka. Dia sadar, kalau dia bukanlah keluarga kandung dari Gavin. Dia bukan adik Kendra. Dia hanya anak angkat yang diasuh oleh kedua orangtua Kendra dulu. Dan ingatan itu berhasil membuat air mata Kalya semakin tumpah ruah membanjiri pipi merah gadis itu.
"Iya, saya dengar dan saya mengerti," dengan rembesan air mata dan tatapannya yang pilu, Kalya mendorong tubuh Gavin untuk menjauhinya.
"Saya tahu, dan saya sadar siapa diri saya sebenarnya. Tidak usah kamu perjelas juga, saya sudah mengerti, kok…. Dan apa yang kamu inginkan dari saya, juga akan saya turuti. Sebagai orang yang sudah diangkat dan diasuh oleh keluarga kamu, saya akan menuruti apapun yang kamu minta."
Kalya menundukkan sedikit wajahnya dan menarik napas panjang. Setelah itu, dia menghapus air matanya dan menatap Gavin yang terdiam di tempatnya.
"Seperti yang kamu bilang, saya bukanlah keluarga kamu. Saya bukan Tante kamu, dan kamu bukan keponakan saya. Jadi, mulai sekarang, mari hidup seperti orang yang tidak saling kenal. Saya orang asing, dan kamu pun demikian." Putus Kalya kemudian.
Wanita itu langsung keluar dari dalam mobil meninggalkan Gavin yang masih terdiam di tempatnya. Sampai akhirnya Gavin tersadar, dan berseru memanggil namanya.
"Kalya!"
Tepat di depan pintu rumah mereka, Kalya menghentikan langkah kakinya. Dia menoleh dan mencoba tersenyum datar pada lelaki itu.
"Soal aku yang nggak boleh dekat sama cowok lain, kamu tenang aja. Aku nggak ada niat, kok. Emang, laki-laki mana yang mau sama perempuan tidak terhormat seperti aku ini?" Kalya tersenyum pahit melihat Gavin yang sepertinya cukup terkejut mendengar ucapan Kalya.
"Aku sadar diri. Selain nggak punya keluarga... Aku juga nggak punya kehormatan."
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Indahlestari
sedih nya lihat Kayla
2023-02-24
0
🌼ᴍᴇᴀᴍᴏʀ_ᴍʏʀᴀɴᴅʜᴀ🇲🇾
Ada yang panas tapi bukan api. Cemburu kali ya si Gavin? Kalau suka sama tante angkat sendiri, ya ngomong! Bukannya perkosa. Begok juga jd org. Oh ya thor.. Gue anggap aja umur mereka bedanya 2-3 tahun gitu. ❤️
2022-10-10
0
Pecinta Halu
Gavin sbnarnya cinta ma Kayla tp krn kayla menganggap Gavin keponakan itulah yg mmbuat Gavin marah..blm bisa mengungkapkan dengan baik kpd Kayla...laaah Gavin mah gtu deh sereeeem...lanjut
2021-12-05
0