Gavin keluar dari ruang divisinya menuju lobby dengan tergesa. Napasnya tersengal kesal akibat Kalya yang tak kunjung menjawab teleponnya. Dia marah, karena ia pikir Kalya telah berbohong kepadanya dan juga kedua orangtua Gavin, dengan mengatakan ada urusan penting di luar kantor.
Tidak tahan berdiam diri, Gavin pun keluar dari gedung perkantoran itu. Niatnya ingin mencari Kalya. Tapi, baru saja dia tiba di depan pintu utama, kedua kelopak matanya membesar melihat Kalya yang saat ini tengah berjalan berdua dengan seorang pria di sampingnya.
Pria itu bukan Mario. Gavin juga tidak tahu lelaki yang sedang terlihat mengobrol dengan Kalya itu bekerja di bagian apa. Gavin belum pernah melihatnya sebelum ini. Atau, jangan-jangan, Gavin yang tidak bisa melihat orang di sekitarnya?
"Bener-bener, ya..."
Gavin menggeram, ketika matanya berserobok dengan Kalya. Hanya sebentar, sampai akhirnya Kalya bersikap tidak peduli dengan keberadaan Gavin di depannya. Dia malah terlihat semakin asyik berbicara dengan lelaki yang bersamanya.
"Yaudah deh, Kal… lo duluan masuk aja. Gue masih ada urusan sebentar di bagian gudang." Kata lelaki itu menyentuh sebelah lengan Kalya santai. Dia tidak tahu, kalau ternyata perbuatannya itu membuat seseorang yang saat ini berada tidak jauh dari mereka menatapnya seolah ingin melalapnya.
"Oh, oke...."
Kalya pun mengangguk dan tersenyum sebentar, sebelum akhirnya melangkah menuju lift yang ada di sudut gedung.
Kalya baru saja hendak melewati Gavin yang masih berdiri di dekat pintu, ketika lelaki itu langsung menahannya dengan sebuah cengkraman di lengan Kalya.
"Mau kemana lo?" tanya Gavin dengan tatapan dan nada suara yang dingin.
Cengkraman tangan Gavin di lengan Kalya tak urung membuat perempuan itu meringis.
"Sakit…" lirih Kalya menatap tangannya yang sepertinya sudah mulai memerah.
Bukannya kasihan dengan melepaskan tangan Kalya, Gavin hanya melonggarkan sedikit pegangannya.
"Lo bohong sama Papa dan Mama! Lo bilang, lo ada urusan di luar kantor. Lo bilang, mau nemuin model yang mau dikontrak untuk produk baru perusahaan. Tapi, nyatanya? Lo malah pergi sama cowok lain! Maksud lo apa sih?!" bentak Gavin seketika menjadikan mereka pusat perhatian di lobby utama kantor tersebut.
Suara bisik-bisik sudah mulai terdengar, ketika Kalya melirik karyawan lain yang melintas di sekitar mereka.
"Gavin, kamu itu apa-apaan, sih? Bikin malu aja! Lepasin!" pinta Kalya begitu pelan, namun cukup tegas meminta Gavin untuk melepaskannya.
"Nggak! Gue nggak bakal lepasin lo! Apapun yang terjadi, gue nggak bakal lepasin lo! Paham?!" balas Gavin membuat Kalya mulai merasa jengah.
"Gavin, aku serius. Sekarang, lepasin tangan aku! Cepat!" pinta Kalya lagi hendak menyentak tangannya dari genggaman Gavin. Tapi, bukannya terlepas, Gavin malah semakin mengeratkan pegangannya lagi di tangan Kalya.
"Gavin!"
Tanpa bicara dan tanpa ekspresi, Gavin menyeret lengan Kalya masuk ke dalam lift dan menekan angka delapan pada papan tombol lift. Setelah itu, baru dia melepaskan cengkramannya dari tangan Kalya.
"Gue udah pernah minta, lo nggak boleh dekat sama cowok manapun dan lo setuju! Tapi, kenapa tadi gue lihat lo bareng sama cowok lain?! Lo lupa sama bahasa lo sendiri? Mulai pikun? Atau lo mau coba untuk jilat ludah sendiri, hah?!" cecar Gavin tanpa tedeng aling-aling pada Kalya hingga membuat perempuan itu menoleh tajam ke arahnya.
"Jangan bicara sembarangan, Gavin! Aku nggak pernah menjilat ludahku sendiri! Aku nggak semunafik itu!" bantah Kalya dibalas senyuman sinis dari Gavin.
"Oh, ya? Buktinya, lo tadi jalan sama cowok lain? Darimana? Janjian, ya?"
Entah kenapa, Kalya merasa Gavin berusaha menyindirnya lewat pertanyaan itu. Nada bicara Gavin yang sarat akan ejekan membuat hati Kalya mulai tersinggung dan marah.
"Dengar ya, Gavin… aku itu nggak sengaja ketemu sama Doni pas lagi sarapan di warung. Karena sama-sama mau balik ke kantor, kami berdua pun jalan bareng. Jadi, kamu nggak usah terlalu banyak mengkhayal!" tuding Kalya dengan tangannya yang lain.
"Lagipula, seperti yang aku bilang, aku nggak bakal dekat sama cowok manapun. Kamu bisa pegang omongan aku. Aku nggak akan dekat sama siapapun, termasuk kamu!"
Tepat saat pintu lift terbuka, Kalya langsung meninggalkan Gavin yang sudah melepaskan cengkramannya di tangan Kalya.
Gavin terlihat mengepalkan kedua tangannya geram melihat Kalya yang lagi-lagi mengabaikannya seperti ini.
"Eh, Kal… lo kok bareng anak magang ini?"
Begitu tiba di ruangan mereka, di dekat pintu, Indy yang tengah berdiri di dekat meja salah satu teman mereka langsung menyambut Kalya dengan satu pertanyaan. Membuat mata Kalya hanya bisa melirik malas pada Gavin yang baru ia ketahui mengikuti Kalya persis di belakangnya.
"Gue nggak bareng dia. Nggak sengaja ketemu di lift." Sahut Kalya menarik lengan Indy menuju tempat kerja mereka yang memang bersebelahan.
"Tapi, tadi si anak magang yang songong itu nyariin elo, loh…. Jadi, gue pikir, kalian emang bareng." Beritahu Indy lagi, membuat kaki Kalya berhenti di tengah jalan.
"Dia nyariin gue? Buat apa?" tanya Kalya bingung.
Indy pun mengedikkan bahunya sekali. "Mana gue tahu! Tanya aja dia sendiri!" Indy melirik ke arah belakang Kalya tempat dimana Gavin berdiri saat ini.
"Ah, biarin ajalah. Paling juga nggak penting." Gumam Kalya, kembali menarik lengan Indy ke meja kerja mereka.
"Lah, emang lo darimana, sih? Tumben-tumbenan datangnya agak lama?"
Sambil meletakkan tas bahunya ke atas meja, Kalya menjawab. "Sarapan."
"Sarapan?"
"Iya….Pagi ini Pak Kendra ada urusan gitu di luar. Jadi, gue harus naik kendaraan umum, deh... Dan karena masih ada waktu senggang, gue pergi aja sarapan di warung Mbak Runi. Makanya, agak lama," jelas Kalya yang hanya dibalas anggukkan kecil oleh Indy.
"Eh…! Kenapa sih, lo nggak minta Pak Kendra buat beliin lo mobil? Kan lo itu adiknya beliau! Beliau pasti maulah kasih lo satu mobil aja…" kata Indy tiba-tiba, membuat Kalya tersenyum tipis.
Mana mungkin Kalya mau merepotkan Kendra lagi dengan permintaan-permintaan semacam yang Indy katakan. Kendra masih menyayanginya sampai saat ini saja, sudah menjadi sebuah rasa syukur bagi Kalya. Konon lagi, dia harus merepotkan Kendra. Rasanya, Kalya itu bukanlah seorang manusia.
"Dulu Pak Kendra udah pernah kasih gue mobil, tapi gue tolak! Gue rasa, gue nggak begitu perlu sama mobil itu. Toh, gue nggak begitu suka pergi kemana-mana. Kalo mau ke kantor, bisa bareng Pak Kendra. Mau jalan, bisa bareng Mbak Nia. Jadi, buat apa gue dikasih mobil?" jawab Kalya, juga dibalas anggukan lagi oleh Indy.
"Iya, sih..." gumam perempuan itu. "Terus, kalo mau kencan, kan ada Pak Mario juga punya mobil! Ya, nggak? Jadi, lo nggak perlu repot, deh…" celoteh Indy tertawa, sontak membuat Kalya mengerjapkan matanya beberapa kali.
"Ih, Indy! Apaan, sih?! Norak banget..." rungut Kalya menyenggol Indy yang masih tertawa sambil menggodanya.
"Loh, kenapa? Kan apa yang gue bilang itu bener…. Lo sama Pak Mario emang diam-diam sering kencan! Jadi, nggak usah ditutupin lagi deh! Anak-anak lain juga udah pada tahu! Yang 'nggak, Sis?"
Indy minta bantuan pada temannya bernama Siska yang ada di ruangan tersebut. Tapi, ternyata bukan hanya Siska saja yang menjawab. Tapi, rekan mereka yang lainnya pun ikut menjawab semangat, hingga membuat wajah Kalya kian memerah.
"Iya…. Kita udah tahu, kok…" sorak mereka diiringi godaan-godaan kecil dari mulut mereka.
"Ih, kalian apaan, sih?! Kalo Pak Mario dengar, nggak enak tahu!" keluh Kalya memperingati teman-temannya yang hanya dibalas tawa lagi oleh mereka.
"Ya, malah bagus dong…Pak Mario bisa tahu kalo selama ini, lo juga naksir sama dia…. Jadi, cintanya dia nggak bertepuk sebelah tangan, deh!"
"Indy…!"
Bukannya diam, Indy dan teman-teman satu ruangan mereka pun hanya tertawa mendengar teriakan gusar dari Kalya. Mereka sangat senang menggoda Kalya yang terlihat salah tingkah dengan ucapan mereka. Tidak peduli dengan satu orang yang kini hanya bisa duduk tegang di kurisnya saat ini. Memandang Kalya dengan sorot mata tajam dan tidak ingin kehilangan.
***
"Apa?! Kamu mau, Papa mindahin Mario ke divisi lain?!"
Kendra yang tadinya fokus dengan beberapa lembar pekerjaan yang ada di hadapannya mendadak kaget melihat Gavin yang saat ini duduk di kursi yang berseberangan dengannya.
Ah, ya… Bukan tentang keberadaan Gavin yang membuat Kendra terkejut. Melainkan permintaan anak satu-satunya itu yang membuat dia kaget dan merasa bingung seketika.
"Iya, Pa…. Gavin mau, Papa pindahin si Mario itu ke divisi lain. Kemana, kek, asal bukan tempat dia yang sekarang."
"Kenapa? Apa alasannya?"
"Ya, karena Gavin mau aja."
"Hah?"
Sejenak, Kendra pun hanya bisa terdiam menatap Gavin.
"Emang kamu mau Papa pindahin dia kemana?" tanya Kendra penasaran. Pria itu melepaskan kacamatanya melihat Gavin yang sepertinya tengah berpikir.
"Kemana aja. Asal bukan di tempat dia yang sekarang ini." Jawab Gavin. "Atau, Papa bisa pindahin dia ke bagian pabrik? Gavin rasa, dia bakal cocok ada di sana." Sambung lelaki itu lagi, tak urung membuat Kendra mengerutkan dahinya bingung.
"Kamu tahu, kalau Mario itu lulusan ekonomi dan bukannya lulusan teknik industri, Gavin? Nggak mungkin dia bisa pindah ke sana!"
"Kenapa enggak, Pa? Dia bisa jadi asistennya Pak Handoko."
"Terus, Heru mau kamu kemana 'kan?"
"Heru? Heru siapa?" tanya Gavin bingung.
Lagi-lagi, Kendra menarik hanya mampu menggelengkan kepalanya heran. Kemudian, menatap malas pada Gavin yang masih terlihat kebingungan.
"Heru itu asisten manajer pabrik. Dia asistennya Pak Handoko. Kalau Mario kamu suruh jadi asisten Pak Handoko. Jadi, Heru mau kamu apain? Gantiin Mario? Atau, kamu pecat? Kamu nggak akan sekonyol itu 'kan, Gavin?"
Kali ini, Gavin yang terdiam. Dia menatap ayahnya sejenak, sebelum menyasarkan pandangan itu ke arah lantai yang dipijaknya. Benar, dia tidak mungkin sekonyol itu memecat orang hanya karena masalah Mario.
"Kalo gitu, Marionya aja yang dipecat!" cetus Gavin langsung, membuat Kendra menegakkan punggungnya kaget.
"Mario?!" ujarnya membelalak. "Gavin, kamu ini ngomong apa, sih? Jangan ngada-ngada, deh!" sambung Kendra gusar.
"Mario itu karyawan yang kompeten! Kinerjanya sebagai manajer pemasaran udah nggak diragukan lagi! Jadi, nggak ada alasan buat Papa untuk memecat dia. Mengeri?" tandas Kendra tegas, membuat Gavin memberengutkan wajahnya kesal.
"Lagian, kamu ini gimana? Mario itu lulusan ekonomi dan bukannya lulusan teknik industri seperti Heru dan Pak Handoko! Kenapa kamu malah mau mengusulkan dia buat pindah ke bagian pabrik, sih? Kamu ada masalah sama dia?" tanya Kendra kemudian melihat Gavin yang membuang pandangannya lagi ke arah lain.
"Gavin, dengarin Papa. Sebagai orang yang bakal menggantikan posisi Papa memimpin perusahaan, kamu harus bisa memisahkan mana yang masalah pribadi dan mana yang bukan. Kamu nggak bisa seenaknya aja memindahkan orang apalagi memecatnya, cuma karena kamu punya masalah pribadi sama dia! Kecuali, kalau memang dia melakukan suatu kesalahan, dan sulit untuk dipertahankan." Nasihat Kendra pada Gavin yang kini terpaku.
"Tapi, Gavin nggak suka sama dia, Pa…dia…"
Tiba-tiba, Gavin merasa gugup, saat Kendra tersenyum ke arahnya.
"Gavin… Papa tahu, kamu kini sudah bukan anak-anak lagi. Usia kamu juga bukan terbilang anak remaja. Kamu sudah dewasa. Dan sebentar lagi, kamu akan lulus kuliah, sebelum akhirnya belajar untuk menggantikan posisi Papa sebagai direktur di perusahaan. Oleh karena itu, Papa yakin, untuk masalah kali ini, kamu pasti bisa menghadapinya sendiri tanpa menggunakan kekuasaan Papa sebagai pemilik perusahaan. Benar 'kan?"
Kendra menatap dalam pada Gavin yang juga balas menatapnya.
"Kamu bukan orang lemah. Papa yakin itu!" ingatkan Kendra lagi, membuat Gavin menatapnya curiga.
"Jadi, intinya, Papa nggak setuju pecat Mario atau mutasi dia ke tempat lain?" tanya Gavin terakhir yang dibalas gelengan kepala oleh Kendra.
"Enggak."
***
Gavin keluar dari ruang kerja ayahnya dengan perasaan kecewa. Dengan lemas, dia menutup pintu ruangan tersebut, sebelum akhirnya pikirannya yang tadi sudah kusut berubah semakin bertambah kusut ketika melihat kehadiran Kalya yang berdiri tidak jauh dari dirinya saat ini.
Gadis itu, dengan kedua matanya yang lebar, menatap Gavin tak percaya.
"Kamu…mau pecat Mas Mario?!" pekik Kalya membuat Gavin menarik napas panjang.
Takut Kendra akan mendengar perdebatan mereka, Gavin pun menyeret Kalya menuju balkon rumah yang ada di lantai dua dimana mereka berada saat ini.
"Gavin, lepasin! Apa-apaan sih kamu?!"
Kalya menghempaskan tangan Gavin dari lengannya begitu mereka tiba di atas balkon.
"Gavin, kamu belum jawab pertanyaanku sebelumnya. Kamu mau pecat Mas Mario, ya?!" cecar Kalya tak sabaran melihat Gavin yang terlihat ogah-ogahan.
"Iya, gue emang berniat pecat si Mario itu! Kenapa? Masalah?" balas Gavin sarkastik.
"Kenapa kamu lakuin hal itu, Gavin? Kenapa?! Apa salah Mas Mario sama kamu?"
"Salah dia banyak! Dan salah satunya, dia udah masuk ke dalam hidup lo!" tuding Gavin pada wajah Kalya.
"Maksud kamu?"
"Maksud gue?" kali ini Gavin pun tersenyum sinis. "Maksud gue, dia harus cepat-cepat pergi dari hidup lo!"
"Pergi dari hidup aku? Maksudnya?!" tanya Kalya lagi semakin bingung. "Gavin, bicara itu yang jelas!"
"Gue udah bicara bahkan bertindak dengan sangat jelas! Cuma lo aja yang terlalu bego, nggak ngerti apa yang gue maksud terhadap lo!" sentak Gavin tak kalah sengit, hingga membuat Kalya terdiam.
"Dengar, kalo lo emang nggak bisa buat jauhin Mario, ya terpaksa... gue yang harus buat Mario jauh dari hidup lo! Apapun caranya, gue bakal buat Mario menjauh dari lo! Ngerti?" tukas Gavin tepat di depan wajah Kalya yang mendadak berubah pias.
"Gavin..., kamu gila! Kamu--"
"Ya, gue emang udah gila! Gue udah gila buat ngadepin orang kayak lo ini, Kal! Gue gila dan hampir nggak bisa tenang mikirin lo yang naksir sama si Mario itu!" ujar Mario keras tak ubah membuat Kalya mundur beberapa langkah.
"Kamu…"
Tanpa bisa Kalya menyelesaikan kalimatnya, Gavin sudah lebih dulu menarik kedua bahu Kalya dan memagut bibir wanita itu.
Sejenak, Kalya terpaku dengan apa yang Gavin lakukan terhadapnya. Namun, beberapa saat kemudian, barulah dia sadar dan langsung berusaha memberontak dengan memukul bahu serta punggung Gavin beberapa kali.
"Hmpt! Hmpt!"
Kalya tidak menyerah. Dia terus memberontak, hingga akhirnya Gavin pun melepaskannya.
"Kurang ajar kamu, Gavin!"
Kalya hendak memukul pipi Gavin. Tapi, lelaki itu sudah lebih dulu menahan tangan Kalya untuk tidak menyentuhnya.
"Ini belum seberapa. Tunggu sampai lo tahu ujung kegilaan gue terhadap lo." Lalu, dalam waktu satu detik, Gavin sudah menarik Kalya ke dalam pelukannya. "Lo bakal jadi pendamping gue."
Kalya sontak mendorong tubuh laki-laki itu. Dengan wajah memerah karena marah, dia langsung masuk ke dalam rumah meninggalkan Gavin yang masih terdiam menatap punggung Kalya.
"Kalya, kamu ngapain di situ?"
Kalya yang baru saja menginjakkan kakinya di dalam rumah, terkejut melihat Kendra yang sudah berdiri di depan pintu ruang kerjanya dan menatap Kalya heran.
"M-Mas... Mas Kend?"
Kalya gugup saat Kendra melihat ke arah pintu balkon yang ada di balik punggung Kalya.
"Loh, pintu balkonnya belum ketutup?"
Dan Kalya semakin terlihat gugup melihat Kendra berjalan ke arahnya. Dia tahu kakaknya itu hendak menutup pintu balkon yang ada di belakang Kalya. Hanya saja, masalahnya Kalya tidak ingin Kendra melihat apa yang ada di balik pintu tersebut.
"Mas!" seru Kalya tiba-tiba meraih tangan Kendra yang sudah berdiri di dekatnya.
"...aku mau bicara." Katanya, membuat Kendra menatap bingung ke arahnya.
"Mas! Aku mau bicara sama Mas Kendra sekarang. Bisa?" tanya Kalya panik, melihat Kendra yang masih mengerutkan dahinya bingung.
"Ada apa, Kalya? Mau bicara apa? Kok wajah kamu panik gitu?" tanya Kendra menyentuh wajah adiknya yang memang sedikit terlihat pucat.
"Kamu sakit?" tanyanya lagi, dibalas gelengan kepala oleh Kalya.
"Aku nggak sakit. Aku cuma mau bicara sama Mas." Jawab Kalya menundukkan wajahnya sedikit.
"Bicara apa? Kok kayaknya serius banget?"
"Iya, ini memang serius. Dan aku mau kita bicara di ruang kerja Mas Kendra aja…"
Kalya pun melirik Kendra yang memang jauh lebih tinggi darinya.
"Oh, oke… tapi, Mas mau tutup pintu balkonnya dulu, ya…"
Dan Kendra hendak melangkahkan kakinya lagi menuju balkon rumah, saat lagi-lagi Kalya dengan cepat menahan lengan pria tersebut.
"Biarin aja, Mas… Biar udara sejuknya masuk." Kilah Kalya, segera membuat Kendra menuruti ucapan adiknya itu untuk segera masuk ke ruang kerja Kendra.
Sementara itu, yang terjadi di balik pintu balkon lantai dua sebenarnya adalah Gavin yang diam-diam menatap punggung Kalya yang menjauh dengan sorot mata yang tidak akan pernah bisa diartikannya.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Erni Fitriana
oallaaa anak mudaaaa...anak mudaaa...mbok ya bilang kayla aku cinta kamu.. aku sayang kamy ..aku gak mau kamu dimilikn siapapun...jngn maen habeq gitu ajahhhh😇😇😇😇😇😇
2021-11-06
0
☆chika
lucu juga yah cerita nya.
mula nya kakak angkat ,jadi nya mertua.
bagus di kasih judul
kakak ku,(mertua ku)🤣🤣🤣🤣
2021-10-22
1
Kenzi Kenzi
pos3sif bin obsesi....20 vs 28,
2021-08-24
0