Sepuluh | Nightmare

“Hyeong! Kau harusnya tersenyum saat difoto!” ini adalah yang ke empat kalinya Fahmi memprotes sikap kakaknya yang begitu kaku saat di foto. Tak ada ekspresi. Bahkan senyum pun tidak. Padahal ini adalah foto bersama mereka yang pertama setelah Fahmi lolos menjadi anggota tim nasional sepakbola korea termuda, sekaligus perayaan hari pertama Agam menjadi seorang profiler yang berbakat dan jenius.

“Eoh, Oppa! Kau terlihat sangat tegang.” Yeon Woo turut menimpali perkataan Fahmi. Ia juga merasa gemas pada Agam karena harus memotret mereka berdua berulang kali demi mendapatkan hasil foto yang bagus. “Tolong lebih santai sedikit, eoh? Oke? Aku mulai, ya? Kalian berdua siap?”

Yeon Woo kembali bersiap dengan kamera DSLR yang dipegangnya. Bidikannya tertuju pada dua orang kakak beradik yang berada di hadapannya. Fahmi melingkarkan tangannya ke bahu Agam dan tersenyum cerah. Sementara Agam, karena tak ingin kembali diprotes oleh dua orang yang umurnya jauh lebih muda darinya, maka ia pun memaksakan dirinya untuk merenggangkan kedua sudut bibirnya lebar-lebar.

Agam berhasil tersenyum. Yeon Woo yang melihatnya nampak puas dan semakin bersemangat untuk mengambil foto mereka berdua. Fahmi pun juga turut senang. Dan senyuman Agam yang semulanya masih nampak kaku, secara perlahan akhirnya ia bisa tersenyum lepas, bahkan tertawa bersama adiknya.

Klik.

Momen indah tersebut berhasil diabadikan oleh Yeon Woo. Agam yang penasaran akan hasilnya meminta Yeon Woo untuk memperlihatkan foto yang telah diambilnya.

“Bagaimana? Apa hasilnya bagus?” tanya Agam.

Namun, bukannya jawaban yang Agam dapatkan, tapi mendadak suasana di sekeliling Agam seketika berubah. Pemandangan dan keadaan di sekitarnya tiba-tiba saja menyatu dalam kegelapan. Kemana pun matanya tertuju, yang ada hanya kegelapan yang sangat pekat. Seakan-akan dirinya telah terjebak dalam kegelapan yang sangat menakutkan.

Hanya ada Fahmi di sana. Dia berdiri tepat di samping Agam. Akan tetapi ada yang aneh dengannya. Ekspresi wajahnya berubah sendu dan pucat. Seluruh tubuhnya gemetar hebat. Hingga kedua mata Fahmi melayangkan tatapan tajamnya pada Agam. Ada kilatan marah sekaligus sedih di sana. Tangan yang tadinya memegang bahu Agam tiba-tiba menghilang, dan darah mulai mengucur deras dari pangkal tangan Fahmi.

“Hyeong … bagaimana bisa kau membiarkanku mati seperti ini? Kenapa?!”

Deg!

Agam terbangun dengan napas tersengal, jantungnya berdegup kencang seolah ingin melompat keluar dari dada. Keringat dingin membasahi dirinya, dan selimut yang biasanya memberikan kenyamanan kini terasa seperti belenggu yang mengikatnya dalam kecemasan.

“Yang barusan itu … hanya mimpi ‘kan?” Dia mengusap matanya, berusaha mengusir sisa-sisa mimpi buruk yang masih berputar di benaknya. Gambaran adiknya, Fahmi, terlalu nyata untuk diabaikan. Akhirnya untuk menetralisir perasaannya yang benar-benar kacau, Agam pun menarik napasnya dalam dalam, dan menghembuskannya pelan-pelan. Itu ia lakukan berkali-kali sampai Agam merasa yakin, bahwa dirinya telah baik-baik saja.

Setelah degup jantungnya mulai kembali normal, Agam yang masih sedikit goyah, bangkit dari tempat tidur dan berjalan pelan ke arah dapur. Dia membuka kulkas dan mengambil sebotol air putih dingin, lalu menenggaknya hingga habis.

“Aku tidak tahu apakah kau masih hidup atau tidak. Tapi aku pasti akan menemukanmu,” gumam Agam, pada dirinya sendiri. Netra coklatnya menatap pantulan dirinya di kaca pembatas antara dapur dan ruang tamu. Sangat berantakan. Hingga suara dering telepon yang begitu nyaring dari dalam kamarnya, mengejutkan lamunan Agam.

Buru-buru Agam meletakkan botol minumnya, dan berjalan cepat ke kamar. Agam mengambil ponselnya dari atas meja, dan melihat nama Detektif Han di layar ponselnya.

“Detektif Han?” Agam melirik jam di dinding kamarnya. Pukul lima pagi hari. “Untuk apa dia menelponku sepagi ini?”

Karena penasaran akan maksud Detektif Han menelponnya sepagi itu, Agam memutuskan untuk menjawab panggilannya.

“Ya, Detektif Han? Ada apa?” sahut Agam.

“Seonbae! Kami menemukan mayat seorang laki-laki lagi!” Kata Detektif Han memberitahu.

Mata Agam membulat lebar. “Apa?!”

“Korban ditemukan di atap gedung konstruksi. Dan kondisinya nyaris sama seperti korban sebelumnya. Hanya saja yang ini berbeda. Untuk kasus kali ini, yang hilang adalah kaki.”

Tanpa bicara panjang lebar lagi, Agam menarik jaketnya secara asal, meraih kunci mobil dan meluncur keluar dari rumahnya.

***

Setibanya Agam di area pelataran gedung konstruksi yang ada di daerah Yangjae-dong, distrik Seocho, Agam segera memarkir mobilnya di sekitaran gedung dan berlari menuju lokasi.

“Apa ini tempatnya?” Agam memeriksa kembali nama gedung yang ada di hadapannya dengan napas tersengal.

Dalam radius beberapa meter, terlihat beberapa mobil polisi dan juga ambulans yang telah standby. Mereka telah menutup akses pintu masuk ke dalam gedung dengan memasang garis polisi, mencegah orang-orang tak berkepentingan masuk dan merusak tempat kejadian perkara.

Agam mendengar hiruk pikuk para warga yang datang berbondong-bondong di sekitaran gedung dan juga beberapa wartawan, berbisik-bisik penuh tanya tentang siapa mayat itu dan bagaimana hal mengerikan itu bisa terjadi di daerah tempat mereka tinggal.

Karena hanya ada satu akses untuk bisa masuk ke dalam gedung, Agam terpaksa harus menerobos kerumunan tersebut.

“Permisi … tolong biarkan saya lewat.” Seru Agam, setengah berteriak agar orang-orang di depannya mau memberikan jalan.

Akibat terburu-buru dan kacaunya situasi saat itu, Agam yang berusaha lepas dari desakan para warga yang juga penasaran dengan apa yang telah terjadi, membuatnya secara tidak sengaja menabrak seseorang.

“Maafkan saya. Saya sedikit terburu-buru, jadi ….”

Sosok pria yang ditabrak Agam, tak menggubris permintaan maafnya. Dia langsung berbalik pergi dengan mengeratkan topi serta maskernya, lalu masuk ke dalam kerumunan para warga.

Dahi Agam berkerut samar. “Sepertinya orang itu tidak terlalu asing. Pernah lihat di mana, ya? Ah, sudahlah. Aku harus segera masuk ke dalam sana secepat mungkin.”

Agam akhirnya telah berada di dalam gedung, dan langsung menuju ke atap.

“Seonbae! Akhirnya kau sampai juga di sini.” Ucap Detektif Han, nampak lega melihat kedatangan Agam. Di sampingnya berdiri seorang pria yang cukup dikenal oleh Agam, yang mana jabatannya hampir sama dengan Detektif Han. Hanya divisinya saja yang berbeda.

“Ah, selamat datang Profesor.” Sapanya dengan sopan, seraya menundukkan kepalanya memberi salam.

Agam balik membalas salaman laki-laki itu dengan ikut menundukkan sedikit kepalanya. “Senang bisa bertemu denganmu lagi Detektif Kim. Di mana mayatnya?”

“Han akan menunjukkannya padamu. Sebab aku harus segera menemukan jejak rekaman kamera keamanan gedung ini.”

“Silahkan, sebelah sini, Seonbae.”

Nada bicara Detektif terdengar berbeda dari biasanya. Raut wajahnya pun terlihat agak sedikit muram. Padahal selama ini, mau dalam kasus apapun, Detektif Han akan selalu memasang wajah yang sumringah dengan senyuman tengilnya. Namun tidak kali ini. Apa itu ada hubungannya dengan temuan mayat tersebut?

Detektif Han menunjuk ke arah sebuah lokasi yang tertutup dengan baja tulangan dan pipa, serta beberapa petugas polisi yang mengelilingi tempat itu.

Agam berjalan mendekat, diikuti oleh Detektif Han. Dan hal pertama yang dilihat oleh Agam adalah kedua kaki korban telah menghilang.

“Oh, ya ampun … jadi kali ini yang hilang benar-benar kaki?” Agam tak mampu menyembunyikan keterkejutannya.

“Tidak hanya itu. Gigi-giginya juga bahkan telah hilang. Sama seperti yang terakhir kali. Dan ujung jari-jarinya terlihat sudah dikuliti, seolah pelaku sengaja berbuat itu untuk menghilangkan sidik jari.” Ujar Detektif Han, memberitahu kondisi korban.

Agam tak merespon apa-apa. Arah pandangannya masih begitu fokus menyisir seluruh keadaan korban mulai dari atas ke bawah. Bahkan hingga ke bagian-bagian terkecilnya. Khususnya kondisi yang sangat mencolok dari sebagian tangan yang telah terpotong, berada di leher korban, hampir seolah-olah untuk mencekik korban.

“Tangan-tangan itu dikonfirmasi sebagai milik dari korban sebelumnya,” lanjut Detektif Han. “Seonbae, menurutmu apa yang sedang terjadi di sini?”

Layaknya sebuah kebiasaan yang sudah mendarah daging, Agam menggigit bibir bawahnya ketika sedang berpikir. Ekspresi wajahnya terlihat jauh lebih serius dibanding sebelum-sebelumnya.

Lalu dengan suara pelan dan berat, Agam mengatakan sesuatu yang membuat semua orang di sekitarnya terkejut.

Agam berkata, “Ini adalah kasus pembunuhan berantai.”

***

Terpopuler

Comments

Adam zaheer

Adam zaheer

yayyaya...ggogoo Agam!

2024-04-03

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!