BAB 15

"Oke, gue bentar lagi nyampe kok." Ragas mematikan sambungan teleponnya.

Ragas kembali fokus menyetir, dia dalam perjalanan menuju rumah Olan. Seperti biasa, Alastor selalu berkumpul di sana. Karena hanya rumah Olan yang bebas dari pengawasan.

"Gista!" pekik Ragas.

Dia berhenti, menoleh ke belakang. Memastikan jika yang dilihatnya memang benar Gista. Ragas memundurkan mobilnya, berhenti di samping trotoar.

"Ragas?"

Gadis itu benar Gista, dia sedang memegangi lututnya yang berdarah. Wajahnya terlihat kuyu, seperti kelelahan.

"Lo gak apa-apa?" tanya Ragas, berlutut di depan Gista. Dia segera mengambil sapu tangannya untuk menutupi luka di lutut Gista.

"Kenapa lo ada di sini?"

"Harusnya gue yang tanya, ngapain lo di sini?"

"Nyasar," jawab Gista.

Ragas mengusap wajahnya dengan kasar. "Gue anterin lo pulang, tapi kita obati dulu lukanya."

Gista mengangguk, dia tak punya pilihan  lain. Satu-satunya orang yang bisa menolongnya hanya Ragas.

Ragas membawa Gista ke apartemennya yang tak jauh dari sana. Dia menggendong Gista sampai ke  dalam unit.

"Lo ke mana? Terus ngapain bolos? Ngapain ke rumah sakit? Kenapa bisa ada di sana?" Ragas memberondong Gista dengan berbagai pertanyaan, setelah menurunkannya di sofa.

Gista mengembuskan napasnya dengan kasar. "Boleh minta minum dulu gak? Gue haus."

Ragas menghela napas, saking khawatirnya dia sampai lupa mengambilkan air. Gista tampak kehausan, dia menenggak habis segelas air dingin yang Ragas berikan.

"Kenapa telepon lo gak aktif?" tanya Ragas yang sudah duduk di sebelahnya.

"Lowbat." Gista menunjukkan ponselnya yang mati.

Ragas tak lagi bertanya, dia menarik kaki Gista membuat gadis itu memekik saking terkejutnya.

"Kyaa!! Lo mau ngapain?" bentak Gista, saat Ragas meletakkan kakinya di atas pangkuan.

"Menurut lo?" Ragas mmendengku. Dia mengambil kapas lalu menuangkan sedikit alkohol untuk mengobati lutut Gista.

"Aww ... pelan-pelan," cicit Gista, menahan tangan Ragas.

"Sakit banget ya?" tanya Ragas.

"Menurut lo? Ngapain gue jejeritan kalo gak sa ... Ragas!" Gista terkesiap, karena Ragas mengangkat kakinya, lalu langsung meniupi kakinya.

"Masih sakit?" Ragas menatap sendu Gista.

Gista yang ditatap seperti itu jadi salah tingkah, saking gugupnya dia refleks menarik kakinya dan langsung berdiri.

"Udah gak sakit, gue mau pu ... awwww!!" Mata Gista membulat sempurna, ketika tubuhnya terjatuh ke atas tubuh Ragas karena cowok itu menarik tangannya. "Lo!"

Gista berniat bangun, namun Ragas menahan punggungnya. Jantung Gista berdetak tak karuan, jarak wajah mereka yang hanya sejengkal membuatnya kalang kabut.

"Kenapa lo hobi banget bikin gue cemas si," gumam Ragas. Matanya masih menatap lekat wajah Gista.

"Em ... maksud ...." Bibir Gista kelu, posisi ini membuatnya gugup. Dia tak mampu mengelak pesona Ragas.

"Sakit banget ya?" Gista tersentak saat Ragas menyentuh sudut bibirnya. "Siapa yang bikin lo kaya gini? Gue gak bakal maafin orang itu."

"Gue gak papa kok. Lepasin," cicit Gista, namun Ragas tetap menahannya.

Gista melotot saat tiba-tiba Ragas mengecup sudut bibirnya. Cowok itu tanpa merasa berdosa, tersenyum lebar. Apa dia tidak tahu, jika tindakannya itu membuat jantung Gista berhenti sesaat.

"Gila lo!" Gista mendorong dada Ragas. Dia bangkit, memalingkan wajahnya ke arah lain.

Pipi Gista terasa panas, jantungnya berdebar-debar. Astaga, kenapa ini? Perasaan aneh itu tiba-tiba menelusup ke dalam hatinya.

—————

Gista mengacak-ngacak rambutnya, dia tak bisa memejamkan matanya. Bayang-bayang Ragas terus menghantuinya. Cowok gila itu benar-benar membuatnya frustasi.

Sial!

Harusnya Gista mengelak saat Ragas kembali menarik tubuhnya, tapi entah kenapa tubuhnya malah berkhianat. Dia membeku saat Ragas kembali mendaratkan bibirnya.

Hingga keesokan paginya, Gista masih belum bisa memejamkan matanya. Wajahnya mirip zombie, kantung matanya melebar. Dia berjalan gontai menuruni tangga, melewati meja makan begitu saja.

"Gista!" Hingga suara bariton itu menginterupsinya. "Mau ke mana kamu?"

"Sekolah," jawab Gista.

"Sarapan dulu, nanti biar Pak———"

"Aku gak laper," potong Gista. Dia kembali melangkah, mengabaikan panggilan papanya.

Gista benci dikasihani, dia tahu papanya hanya kasihan padanya bukan peduli. Gista mengembuskan napasnya dengan kasar, ia terus melangkah menuju gerbang.

Suara klakson mengejutkan Gista yang baru saja keluar. Dia berbalik, menatap mobil Marserati GranCabrio V8 yang berhenti di depannya. Tak lama seseorang keluar, menghampiri Gista.

"Pagi," sapa Olan.

"Lo!" Gista melotot melihat penampakan Olan di depannya. Cowok itu tersenyum lebar padanya. "Ngapain lo ke sini?" ketus Gista.

"Jemput lo."

"What? Tapi gue gak minta di jemput."

"Inisiatif sendiri kok. Gue gak tega biarin cewek cantik kaya lo berangkat sendirian."

Gista mendengkus, jawaban Olan membuatnya ingin muntah. Memangnya dia tak tahu apa, trik mentah begitu. Dasar buaya!

Gombalan Olan gak bakal mempan padanya. Gista bukan gadis-gadis diluaran sana, yang diberi kata-kata manis langsung klepek-klepek.

Belum selesai dengan Olan, tiba-tiba mobil lain berhenti di belakang mobil Olan. Gista memutar bola matanya saat tahu siapa yang datang.

"Dosa apa si gue dikelilingi, fakboi sama maniak gini," gerutu Gista.

"Ngapain lo di sini?" Ragas terlihat tidak suka saat melihat ada Olan di depan Gista.

"Jemput calon pacar," jawab Olan.

"Mending lo pergi, Gista berangkat bareng gue." Gista menepis tangan Ragas yang berniat memegang lengannya.

"Kalo gak mau jangan dipaksa, biarin dia milih." Olan menyeringai.

"Gis, ada yang mau gue omongin ke lo," kata Ragas. Namun Gista terlalu kesal dengan cowok itu dia enggan menoleh padanya.

"Tapi gue gak mau ngomong sama lo." Gista berjalan melewati Ragas, dia masuk ke mobil Olan.

Terpaksa Gista melakukannya, dia belum siap bertemu Ragas. Jantungnya saja saat ini berdetak tak karuan, bagaimana jika nanti dia semobil dengan Ragas. Bisa-bisa jantungnya berhenti berdetak.

"Lo liat, dia milih bareng gue. Sabar ya bro." Olan terkekeh, menepuk-nepuk bahu Ragas.

Ragas menggerakkan bahunya, matanya menatap Gista. Terlihat jelas jika Ragas tidak suka melihat Gista bersama Olan.

Sepanjang perjalanan, Olan terus mengajak Gista bicara. Tapi tak ada satu pun yang ia sahutin. Gista memalingkan wajahnya keluar jendela. Hingga mobil Olan mulai memasuki gerbang, menuju parkiran.

Gista segera melepas seat belt-nya. Dia tidak ingin berlama-lama di dalam mobil Olan. Gista sudah membuka pintu mobil, baru menginjakkan sebelah kakinya ke tanah. Tiba-tiba Olan menarik tangannya, membuat Gista berbalik dan hampir menabrak wajah Olan yang kini ada di depan wajahnya.

"Ma ...." Gista melongo, Olan baru saja mengecup pipinya.

Cowok itu tanpa merasa berdosa, menampilkan senyum devil. "Morning kiss."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!