BAB 8

Kita diajarkan untuk selalu mengingat

Tanpa pernah diberitahu caranya melupakan

🎃🎃🎃

Gista memijit pelipis, kepalanya berdenyut setiap kali ingatannya berputar pada kejadian heboh beberapa hari yang lalu.

Cowok yang memberinya kotak kado waktu itu, bunuh diri. Cowok itu loncat dari atap gedung sekolah dan saat ini keadaannya koma.

"Gue denger polisi masih nyelidikin kasus kak Alisya."

"Ditambah kasus kak Rico, makin banyak teka-teki yang belum dipecahkan."

"Tapi pihak sekolah minta polisi buat nutup kasus ini, karena banyak wali murid yang lapor ke kepala sekolah. Mereka resah karena anak-anaknya jadi pada takut ke sekolah."

"Iya serem banget, sekolah kita jadi kaya gini banget!"

Gista terdiam, menajamkan pendengarannya. Dia terus mendengarkan gosip dari gerombolan cewek di belakangnya.

"Tadi pagi gue gak sengaja denger, kalo polisi lagi nyari ponsel kak Alisya. Katanya sih, ponselnya ilang waktu kejadiaan."

Ponsel?

Gista menggeleng, menepis pemikirannya. Tidak, dia tidak perlu tahu lebih jauh. Cukup sampai di sini rasa penasarannya. Gista bangkit bertepatan dengan bel pulang sekolah.

Dia berjalan, tapi pikirannya entah ke mana. Hingga Gista tak memperhatikan langkahnya. "Awwww!" pekik Gista, memegangi keningnya yang membentur dada bidang di depannya.

Gista mendongak, menatap cowok yang berdiri di depannya. Gista mendengkus. Dia lagi!

"Eittzz, mau ke mana?" Cowok itu mencekal lengan Gista yang hendak berjalan melewatinya.

"Bukan urusan lo!" Gista berdecak, menghempas tangan cowok itu dari lengannya.

"Cantik-cantik galak." Cowok itu terkekeh.

Gista memutar bola matanya, lalu melanjutkan langkahnya meninggalkan cowok itu begitu saja.

"Dasar cowok aneh!" gerutu Gista.

"Ingat nama gue, Leon. Cowok paling tampan di PELITA!!" teriak cowok itu.

Sudah beberapa hari ini cowok bernama Leon itu gencar mendekatinya. Entah datang dari mana cowok absurd itu. Dia terus datang menemui Gista, padahal gadis itu tak pernah menggubrisnya.

Gista melangkah keluar gerbang, matanya menangkap sosok wanita paruh baya yang tengah membagi-bagikan kartu nama.

"Kamu kenal Rico? Saya ibunya, tolong beritahu saya jika kalian tahu sesuatu." Wanita itu memberikan kartu nama ke setiap anak yang keluar dari gerbang.

Namun tak ada satu pun yang mereka ambil, malah mereka membuangnya begitu saja. Terlihat jelas raut kecewa, pasrah dan putus asa. Wanita itu berlutut memandangi kartu namanya yang berserakan di depan gerbang.

Gista awalnya tak ingin peduli, namun wajah wanita itu mengingatkannya pada mendiang sang mama. Dengan inisiatifnya sendiri, Gista mulai memungguti kartu-kartu itu. Dia mengumpulkannya jadi satu, lalu berjalan menghampiri wanita itu.

Wanita itu mendongak, menatap sayu Gista yang berdiri di hadapannya sembari menyodorkan kartu namanya.

"Terima kasih," ucap wanita itu. Gista hanya mengangguk lalu berbalik hendak pulang, namun suara wanita itu menginterupsinya. "Tunggu."

Gista berbalik, menatap wanita itu yang menyodorkan kartu nama. "Buat kamu. Jika kamu kenal Rico ...."

"Saya kenal." Gista mengambil kartu nama itu. "Tapi kami tak begitu akrab, karena saya murid baru dan dia kakak kelas." Gista tersenyum simpul.

Wanita itu terlihat lega. "Oh, begitu. Gak masalah, jika kamu tau sesuatu kamu bisa hubungi saya. Saya mohon ...." Gista mengangguk, hatinya tersentuh melihat raut memohon wanita itu.

"Apa saya boleh jenguk kak Rico?" tanya Gista.

-------

Gista duduk di dalam ruang rawat VIP, matanya menatap tubuh yang terbujur lemas di atas bankar. Tubuh cowok itu tertancap berbagai alat medis, kepalanya di balut perban, kakinya di gips.

"Rico anak baik, dia jarang buat masalah di sekolah." Gista terkesiap, ketika mama Rico membuka suara.

"Dia selalu jadi murid berprestasi di sekolah, dia ...." Mama Rico kembali menangis, tak kuasa menahan gejolak pilu dalam hati.

Orangtua mana yang tak terpukul melihat putra semata wayangnya terbujur lemas dalam keadaan koma. Ditambah fakta mengejutkan yang melibatkan putranya dalam kasus pembunuhan.

Tanpa sadar mata Gista justru fokus memandangi foto di nakas, ketimbang mendengar ucapan mama Rico.

"Apa dia Alisya?" gumam Gista, meraih bingkai foto berukuran kecil.

Gista memandangi foto itu. Seorang gadis cantik berkaca mata dan Rico yang duduk di ayunan, mereka tersenyum ke arah kamera.

"Dia Alisya, pacar Rico." Gista tersentak, dengan cepat dia menaruh kembali foto itu ke nakas.

"Maaf." Gista menundukkan kepala, namun matanya terus melirik ke nakas.

Ada gantungan kunci berbentuk hati terbelah dan buku kecil berwarna biru. Rasa penasaran begitu menggebu, insting-nya mengatakan jika ada rahasia yang tertulis di dalamnya.

Bahkan hingga Gista keluar dari rumah sakit, pikirannya masih berkelana memikirkan tentang buku dan gantungan kunci itu. Gista yakin jika gantungan kunci itu sepasang, lalu sepasangnya lagi?

"Gak!" Gista menggelengkan kepala. "Ini bukan urusan gue. Gak perlu ikut campur Gista!" Gista terus memukul kepalanya.

Namun bayang wajah mama Rico justru menghantui pikirannya. Hatinya tak bisa menampik, jika dia sangat iba dengan wanita itu.

Wanita itu hanya punya Rico, sementara suaminya sudah lama meninggal. Lalu, bagaimana jika Rico juga meninggal atau kalo sadar dia bakal di penjara?

Gista kembali bimbang, haruskah dia membantu? Tapi dia tak tahu apa pun. Hingga tanpa sengaja dia melihat sekelebatan cowok berjalan secara tergesa melewatinya.

Gista berjalan mengikuti cowok itu, dia bersembunyi di balik tembok. Gista mulai mengintip. Matanya seketika melebar saat melihat siapa orang yang ditemui cowok itu.

Olando!

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!