BAB 14

Gista menghela napas, berulang kali. Kini ia berada di klinik karena Olan tak sadarkan diri. Gista tak tahu kenapa cowok itu bisa tiba-tiba datang dan berlagak jadi superhero.

"Lo yang nyuruh pak Kim ke sini?" Suara bass Farel membuyarkan ketermenungan Gista.

Gista menoleh pada Farel yang duduk di kursi tunggu, cowok itu menatapnya dengan tajam. Gista tak menjawab, dia malah menoleh pada seseorang yang memasuki klinik.

"Nona Gista, Den Farel," sapa pak Kim. Gista hanya mengangguk, berbeda dengan Farel yang langsung bangkit dari duduknya.

"Nyebelin!" ketus Farel, ketika melewati Gista.

Gista memutar bola matanya. Dia memang sengaja menghubungi pak Kim, meski Farel bersikeras ingin pulang sendiri. Tidak, Gista tak akan mungkin membiarkan bocah itu berkeliaran sendirian. Terlalu beresiko jika hal seperti tadi terulang kembali.

"Harusnya Pak Kim lebih mengawasi dia, bukan malah kecolongan. Bisa Pak Kim bayangkan murkanya papa, jika tahu anaknya dikeroyok?" Gista menghela napas, kasar. Ada sesak yang menggerogoti hatinya, rasa miris saat mengatakan hal itu.

Gista tahu papanya sangat mengutamakan keselamatan ketiga anaknya. Tapi pria itu lupa, jika dia punya empat anak dan mengabaikan salah satu putrinya. Gista tersenyum kecut.

"Nona baik-baik saja?" tanya pak Kim. Dia khawatir melihat wajah dan tangan Gista yang penuh goresan luka.

"Hm." Gista mengangguk.

"Pak Kim, lama!!" teriak Farel yang sudah duduk di dalam mobil.

"Gak usah peduliin saya." Gista menatap pak Kim. "Saya bisa jaga diri sendiri, sudah biasa bagi saya menghadapi hal seperti ini. Lagi pula jika terjadi apa-apa pada saya, tak akan ada yang peduli," ujar Gista.

Pak Kim hanya diam, bibirnya kelu. Dia tahu betul bagaimana kehidupan Gista berubah setelah kematian ibunya. Semua yang tadinya seperti surga berubah layaknya neraka. Satu-satunya orang yang ia miliki justru membuangnya jauh ke luar negeri.

"Pak Kim!!!"

Pak Kim mendengkus, teriakan Farel terus terdengar. Dia menatap sendu Gista, meski gadis itu memalingkan wajahnya. Enggan menghadapnya.

"Baik Non, jaga diri baik-baik. Jangan sungkan untuk hub———"

"Gak perlu," sela Gista.

Pak Kim hanya mengangguk, lalu segera pergi dari hadapan Gista. Dia berhenti di depan pintu klinik. Melirik Gista sekilas, sebelum akhirnya keluar.

Gista menghela napasnya, memejamkan mata sejenak. Hingga suara derit pintu terbuka, membuat matanya perlahan terbuka. Gista menatap Olan yang sedang berjalan ke arahnya sambil memegangi kepala yang sudah diperban.

"Kunci mobil!" pinta Olan, mengulurkan tangannya ke depan Gista.

Gista mendengkus, sebal dengan kelakuan Olan yang masih saja arogan.

"Gue yang stir, gue anterin lo balik." Gista tak menunggu jawaban Olan, dia melangkah keluar. Mengabaikan suara Olan yang parau, memanggil dirinya.

Selama perjalan, mereka saling membisu. Hanya ada suara musik dari radio diantara keduanya. Gista memilih fokus ke depan, tak berniat berbicara dengan Olan. Sedangkan Olan memilih tidur, merilekskan kepalanya yang masih berdenyut.

Gista memarkirkan mobil Olan di depan rumah cowok itu. Rumah yang begitu besar dan terlihat sangat mewah.

"Udah sampe," ucap Gista, membuat Olan membuka matanya.

Tanpa bicara apa pun Olan turun begitu saja, hal itu jelas membuat Gista kesal. Dia ikut turun, memapah Olan yang berjalan sempoyongan. Gista tak peduli dengan penolakan cowok itu.

"Gue bisa sendiri." Olan berusaha melepaskan tangan Gista dari lengannya. "Gak usah sok peduli ...."

"Gue gak peduli. Tapi gue juga gak suka hutang budi," kata Gista, tetap memapah Olan berjalan masuk ke rumah.

Olan terdiam, menatap Gista yang tampak biasa saja. Berbeda dengan Olan yang merasakan sensasi berbeda dari sentuhan tangan Gista di lengannya.

"Kamar lo mana?" Gista mendongak, membuat Olan terkesiap dengan cepat ia memalingkan wajahnya.

"Di atas," jawab Olan tanpa menatap Gista.

Gista benar-benar tak peduli dengan sikap Olan, dia membawa cowok itu menuju kamarnya.

"Orang tua lo mana?" tanya Gista setelah masuk ke kamar cowok itu.

"Di rumahnya." Gista tercengang mendengar jawaban Olan. Dia berbalik dan sialnya malah melihat Olan yang sedang mencopot baju seragamnya.

"Harus banget lo ganti baju di sini?!" Gista berbalik, merutuki matanya yang sudah tercemar oleh roti sobek milik Olan.

"Terus di mana? Lagian lo sendiri yang milih tetep di sini, gue gak nyuruh."

Gista mendengkus, ucapan Olan memang benar. Ngapain dia masih di sini? Gista segera berbalik, berjalan menuju pintu dengan mata terpejam.

"Mau ke mana lo?" Olan mencekal lengan Gista.

"Pulanglah," jawab Gista.

"Lo gak bisa keluar masuk rumah orang tanpa pamit," kata Olan.

Gista menoleh, menatap Olan yang berdiri di belakangnya. Tatapan Olan begitu dalam, meski wajahnya terlihat sangat dingin.

"Yaa!! Sakit!" Gista meringis, ketika tangannya di seret Olan. Cowok itu mendudukkan Gista ke sofa.

"Tunggu sini." Olan langsung pergi setelahnya.

Gista mendengkus, mengumpati Olan dalam hati. Dia menghela napas lelah. Menyandarkan kepalanya ke sofa. Rasa perih di wajahnya mulai terasa, Gista memegangi sudut bibirnya. Dia memekik, rasanya begitu sakit.

Gista bangkit, mendekat ke meja belajar Olan. Dia mencari cermin, tapi tak ada. Bahkan Gista dengan lancang membuka laci, matanya terfokus pada gantungan kunci berbentuk hati. Baru akan menyentuhnya, tiba-tiba terdengar suara knpo pintu yang ditarik.

Gista bergegas menutup kembali laci itu, dia berlari dan duduk manis di sofa. Bersikap biasa saja saat Olan masuk.

Olan duduk di samping Gista, memandang Gista penuh selidik. "Abis ngapain lo?"

"Ngapain? Gue gak ngapa-ngapain kok. Dari tadi juga gue duduk di sini."

Gista berdecak, tak suka ditatap Olan seperti itu. Meski dalam hati dia merutuki diri, hampir saja dia ketahuan.

"Awww!!" pekik Gista, ketika Olan tiba-tiba menekan pipinya dengan kapas. "Lo ngapain si?!" Gista menoleh menatap sebal Olan.

"Obatin luka lo, nanti infeksi," ucap Olan. Dia kembali mengulurkan tangannya.

"Gue bisa sendiri———"

"Berisik!" Olan menepis tangan Gista, membuat gadis itu menggerutu.

"Pelan-pelan!!" pekik Gista, karena Olan terus menekan pipinya. "Kalo gak ikhlas mending gak usah!"

"Diem!" Olan menempelkan hansaplas ke pipi dan pelipis Gista. Lalu ia menarik bahu Gista agar menghadapnya.

Gista terdiam ketika Olan memajukan wajahnya. Matanya terus tertuju pada wajah Olan yang terus mendekat. Bagaimana pun Gista gadis normal, saat berhadapan dengan cowok apalagi jarak yang hanya sejengkal. Membuat jantungnya berdetak tak karuan.

Olan mengoleskan kapas ke sudut bibir Gista yang berdarah. Tidak seperti tadi, Olan begitu hati-hati. Entah dorongan apa, Olan menyentuh sudut bibir Gista.

"Pasti sakit?" gumamnya, sembari mengusapnya lalu beralih ke bibir bawah Gista.

Olan meniupi luka itu, tangannya terus bergerak membuat Gista tak nyaman. Ditambah jarak yang semakin terkikis karena Olan semakin mendekat.

Alarm dari tubuh Gista berbunyi, memperingatkan. Kesadarannya seketika pulih sepenuhnya, dia langsung mendorong dada Olan. Berdiri dengan napas memburu, tanpa berkata apa pun Gista berlari keluar. Meninggalkan  Olan yang terdiam, mencerna apa yang baru saja terjadi.

Dirinya hampir saja mencium Gista. Olan terkekeh, menyadari hal itu. Dia mengusap bibirnya sendiri. Pikirannya menerawang.

"Menarik," gumam Olan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!