Hari pertama masuk sekolah setelah libur semester. SMA Pelita pagi ini cukup heboh, karena insiden kaca pecah.
Beberapa siswa dipanggil ke ruang Bk, terutama para senior yang tadi main basket dilapangan.
Tujuh orang siswa itu akhirnya keluar setelah mendapat peringatan keras dari guru paling killer se-Pelita. Bukan hanya itu bahkan mereka dihukum membersihkan toilet sehabis pulang sekolah. Tidak tanggung-tanggung selama seminggu mereka menjalani hukuman itu.
"Gue gak bakal maafin tuh cewek!" celetuk salah seorang dengan wajah jutek.
"Sial, banget tuh cewek! Dia yang lempar kita yang dihukum!" sahut yang lain.
"Kita musti bikin perhitungan sama tuh cewek! Saiko, emang!" timpal cowok di sebelahnya.
"Gimana kalo kartu merah?" kata cowok yang berada di barisan paling belakang.
Sontak saja mereka semua berbalik menatap cowok itu. Yang tengah menaikkan sebelah alisnya, dengan seringai mengerikan.
"Setuju!"
"Gak masalah."
Dan pembahasan selesai, ketika suara dari pengeras suara menginterupsi. Semua siswa dikumpulkan dilapangan. Kegiatan upacara sekaligus pembukaan MOS. Sejauh ini semua berjalan dengan tenang, hingga tiba di bagian sambutan kepala sekolah.
Gista berdecak, sedari tadi dia terus menghentak-hentakan kaki. Bahkan dia terus menggerutu karena kepala sekolah terus berbicara hampir setengah jam lebih.
"Arghh ...." erang Gista, mulai kesal karena tak ada tanda-tanda kepala sekolah akan menyudahi pidatonya. "Pak kalo ngomong jangan pake narasi sepanjang jalan tol, ini kaki saya udah gemeteran berdiri!" teriak Gista.
Semua anak, bahkan guru-guru sampai tercengang. Mereka melongo mendengar teriakan Gista yang begitu lantang.
Gista menoleh ke sekitar, karena semua anak menatapnya dengan ekspresi heran. "Apa?" Gista berdecak, merasa risih diperhatikan.
"Kamu! Maju ke depan!" Suara bariton kepala sekolah membuat Gista berjengit mundur saking terkejutnya.
Dan disinilah Gista, berdiri di depan tiang bendera. Bukan hanya dihukum, dia juga jadi tontonan para murid. Banyak anak yang berbisik membicarakannya. Bahkan terdengar selentingan mengenai insiden kaca pecah.
"Bagus Gista, hari pertama lo udah bikin ulah!" gumam gadis berambut panjang, yang sedang memperhatikan Gista dari lantai dua.
"Lo kenal Val?" sahut temannya.
"Oh, gak!" jawab Valery.
"Kirain, kantin yuk," ajak temannya lalu keduanya pergi.
Hampir setengah jam Gista berdiri di sana, keringat mulai bercucuran di dahi. Terik matahari begitu menyengat kulit putihnya.
"Lo kuat Gista," gumam Gista, berusaha menyemangati diri sendiri.
Gista menundukkan kepala sejenak, sinar matahari begitu menyengat menyilaukan mata. Kepala Gista mulai berdenyut. Tensi darahnya rendah, tak memungkin baginya bertahan terlalu lama berdiri.
Gista menghela napas panjang, lalu kembali mendongak. Namun tiba-tiba ia dikejutkan dengan sesuatu yang terjatuh dari atas. Gista refleks mundur, matanya melebar seketika.
Gista mengerjapkan mata berulang kali. Darah segar itu mengalir menyentuh ujung sepatunya. Dia membungkam mulutnya, saat pekikan histeris begitu berdengung di telinganya.
"ADA YANG BUNUH DIRI!!"
——————
Gista keluar dari ruang kepala sekolah, setelah hampir setengah jam diinterogasi oleh petugas polisi. Dia berjalan gontai, tatapannya kosong meski langkahnya terus maju ke depan.
Rasanya seperti dejavu.
Gista segera masuk ke toilet membasuh wajahnya berulang kali. Dia mencengkram wastafel, jantungnya masih berdegup kencang. Bayangan kejadian tadi masih berputar-putar di kepalanya.
Darah segar yang mengalir dari kepala yang pecah ... Gista langsung merasa mual, dia berkumur berulang kali. Berusaha menepis bayangan mengerikan itu dari kepalanya, namun justru semakin teringat jelas.
Gadis itu membelalakan mata, menatap ke atas gedung. Gista mendongak lalu netranya tanpa sengaja melihat sekelibatan orang di atas sana. Tapi dia tak ingin berspekulasi sendiri, itu sebabnya dia tak mengatakan hal itu pada polisi.
"Gue gak nyangka kak Alisya memilih bunuh diri kaya gitu!"
"Gue juga, mungkin dia depresi karena jadi target ALASTOR! Ditambah bulian dari Qween, tambah jadi ...."
Gista menoleh ke arah segerombolan cewek yang memasuki toilet. Mereka mengatupkan bibir ketika melihat Gista di dalam. Tak ingin mendengar lebih banyak, dia memutuskan keluar. Bertepatan dengan bel istirahat.
Gista melangkahkan kakinya ke kantin. Dia membeli minuman dingin, menyegarkan tenggorokannya yang kering.
Suasan kantin begitu ramai, bahkan topik pembahasan mereka tak beda jauh dengan para gerombolan cewek tadi. Semua membicarakan kasus bunuh diri itu. Gista berdecih, merasa sial sekali harus melihat orang mati di depan matanya langsung.
Dia menyeruput es jeruknya, hingga tiba-tiba matanya teralihkan pada sosok gadis yang duduk di depannya tanpa permisi.
"Hai," sapa gadis itu. Gista tak menjawab dia hanya memperhatikan gadis itu dengan intens.
"Lo keren!" seru gadis itu. Gista menaikkan sebelah alisnya, menatap heran gadis itu. "Kenapa?" tanya gadis itu ketika melihat Gista tak bereaksi.
Gista tak menyahut, dia hanya merasa aneh saja dengan gadis di depannya. Gadis itu tampak cuek, bahkan dia makan dengan tenang tak peduli dengan tatapan tak suka dari Gista.
"Gue Zee, lo?" Gadis bernama Zee itu mengulurkan tangannya pada Gista.
Tapi Gista justru menatap aneh uluran tangan gadis itu.
"Nama lo Gista 'kan," ucap gadis itu sembari menarik kembali tangannya, karena di abaikan oleh Gista. "Hebat lo, baru pertama masuk udah bikin gempar se-Pelita."
Gista mengernyitkan dahi, dia tak mengerti maksud ucapan gadis itu. "Maksud lo?"
"Oh, lo bisa ngomong juga. Gue kira bisu!" Zee terkekeh, sedangkan Gista memutar bola matanya jengah dengan gadis itu.
"Terserah!"
Gista tak lagi menggubris Zee, meski gadis itu terus berceloteh. Dia asik memainkan sedotan es jeruknya. Hingga suara pekikan histeris, mengalihkan fokusnya.
Gista menatap ke arah pintu masuk kantin. Segerombolan anak cowok masuk. Disambut pekikan histeris dari cewek-cewek se kantin, kecuali dirinya dan gadis aneh di depannya.
Gista terdiam, ketika tatapannya terkunci dengan salah satu cowok di gerombolan itu. Mata itu ....
Gista merasa tak begitu asing dengan mata biri cowok itu. Tapi siapa? Pikirannya terus berkelana, berusahan mengingat-ingat kepingan memorinya. Namun suara Zee menbuyarkan pikirannya.
"Lo harus hati-hati sama ALASTOR?" bisik gadis itu, membuat kening Gista berkerut.
ALASTOR? WHY?
Gista tak menyahut, dia tidak peduli. Meski rasa penasaran muncul dalam benaknya. Namun dia lebih memilih diam, mendengarkan Zee yang masih berbicara sampai mulutnya berbuih.
"Buat lo!"
Gista mendongak, begitupun Zee. Mereka menatap salah satu cowok yang berdiri di depan mereka. Cowok berkaca mata tebal, baju seperti jojon dan rambut klimis persis Cecep.
"Siapa? Gue?" beo Gista, menunjuk dirinya sendiri. Cowok itu mengangguk. "Dari siapa?" tanya Gista, matanya menatap bungkusan kado di meja.
"Dari ... buka aja." Cowok itu langsung berbalik, pergi begitu saja.
Gista hanya menatap bungkusan itu, enggan membukanya. Dia heran siapa yang memberinya kado. Padahal dia tidak sedang ulang tahun.
"Buka aja, dari pada penasaran," celetuk Zee.
Gista awalnya tak mau, tapi benar apa kata Zee. Lebih baik dia membukanya, dari pada mati penasaran.
Meski ragu dia membuka bungkusan kado itu. Gista menaikkan sebelah alisnya, menatap heran isi kotak itu.
"Apa isinya?" tanya Zee yang terlihat sangat kepo.
Gista mengambil kartu itu, lalu mengangkatnya. Menunjukkan pada Zee. Gadis itu seketika melotot melihat apa yang dipegang Gista, dia mundur.
"WOY!! ADA YANG DAPET KARTU MERAH!!" teriak salah satu cowok.
Gista mengerjapkan mata, ketika semua anak panik dan menjauh darinya.
Ada apa ini?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments