BAB 11

Gista berdiri sambil berkacak pinggang, matanya menatap lurus pada papan di depannya. Diagram yang baru saja dibuatnya.

Gista menempelkan foto Alisya di paling atas, menarik garis lurus ke samping. Dia menuliskan 'korban' kemudian dilinkari. Lalu menempelkan foto Rico di sampingnya, melakukan hal yang sama. Dia menuliskan Rico sebagai pacar Alisya.

Terakhir dia menempelkan tujuh foto di bawahnya, meyeret spidol nya untuk membentuk garis penghubung tiap foto. Tujuh foto itu adalah ALASTOR. Arka, Leon, Alfa, Saga, Tara, Olan, dan Ragas.

Gista melingkari ketiga foto yaitu Saga, Ragas, dan Arka. Cowok yang menurut rumor paling dekat dengan Alisya. Seandainya waktu itu dia tidak melihat orang lain di atap gedung, Gista tidak akan mungkin mau menyelidiki kasus ini.

Kasus yang mengingatkannya pada mendiang sang mama. Gista menggenggam liontinya, tanpa sadar air matanya menetes membasahi pipi. Selalu saja cengeng jika menyangkut mamanya.

Gista langsung menyeka air matanya, saat suara dering ponselnya menggema di ruang kamarnya.

"Halo." Gista mengangkat sambungan telepon dari nomor tak dikenal. "Apa?" Dia dibuat terkejut dengan kabar yang  dibawa oleh informasinya.

"Kirim alamatnya sekarang, sisanya biar gue yang tangani." Gista memicingkan mata, tangannya mengepal erat. Sepertinya berita buruk. "Ok. Gue tunggu kabar selanjutnya." Gista menutup sambungan telepon.

Dia segera membereskan papan diagram tadi, menyembunyikannya ke belakang rak buku besar di ujung kamar. Gista meraih hoodie-nya, lalu keluar lewat jendela.

Gista mendengkus, sudah lima belas menit dia berdiri di trotoar. Tapi tak satupun taksi yang lewat. Gista menatap layar ponselnya, belum menunjukkan tanda-tanda ada yang mengambil orderannya.

Gista menghela napas berulang kali, jarak rumahnya ke galeri sangat jauh tidak mungkin dia jalan kaki.

"Mikir Gista, mikir!" Gista memukul-mukul kepalanya, otaknya sudah buntu. Seandainya dia bisa membawa salah satu kendaraan di garasi, tapi Gista tak mau ambil resiko.

Gista berjongkok, menelungkupkan wajahnya di atas lutut. Dia sudah pasrah, bahkan Gista sudah memutuskan untuk pulang. Hingga terdengar suara deru kenalpot racing membuat Gista mendongak.

"Ragas!"

Kenapa cowok itu selalu muncul ketika Gista membutuhkan bantuan. Tampang Gista begitu kuyu.

"Naik!" perintah Ragas.

"Gak!" Diposisi seperti ini, Gista masih saja keras kepala.

Ragas menghela napas, kasar. "Lo gak liat ini jam berapa?"

Gista langsung mengecek ponselnya, ternyata sudah pukul 00.15. Pantas saja tak ada taksi yang lewat, terlebih tempat ini bukanlah akses jalan utama.

"Buruan naik!" Gista masih menggeleng, Ragas berdecak kesal. Haruskah dia menyeret gadis keras kepala itu? "Lo mau ke mana? Gue anterin. Gue yakin lo gak mau pulang kan?"

Gista terdiam, namun matanya masih menatap Ragas. Mencari ketulusan di raut wajah dingin itu. Gista tampak bimbang, hanya Ragas yang bisa membantunya. Tapi haruskah dia libatkan cowok itu?

"Gue pernah bilang kan sama lo. Kalo lo butuh bantuan bisa telepon gue, jangan bilang lo hapus nomor gue?" Ragas memicingkan matanya, menaruh curiga pada ekspresi Gista.

"Lupa." Gista bangkit berdiri, memasukkan tangannya ke saku hodie. "Lo beneran mau nganterin gue?" Ragas mengangguk.

Gista tak punya pilihan lain, akhirnya dia naik ke motor Ragas. Terpaksa menurunkan gengsi, misinya jauh lebih penting.

"Kenapa gak jalan? Katanya lo mau anterin gue?" tanya Gista, karena Ragas diam saja.

"Pegangan."

"Apa?" Gista denger kok, dia hanya memastikan saja. "Ragas!" pekik Gista, saat tangannya ditarik membuat tubuhnya ikut tertarik dan menabrak punggung Ragas.

"Jangan dilepas!" Ragas meletakkan tangan Gista di perutnya. "Gue bilang jangan dilepas." Ragas berdecak, menahan tangan Gista yang hendak ditarik oleh gadis itu.

Ragas tersenyum tipis dibalik helm fullface-nya, karena Gista akhirnya tak berontak. Dia langsung melajukan motornya ke tempat yang dituju Gista.

"Lo yakin mau ke sini?" tanya Ragas ketika menghentikan motornya di depan gerbang galery art.

Gista tak menjawab, dia langsung turun. Meringis saat kakinya menghentak tanah, pergelangan kakinya belum sembuh total.

"Lo boleh pergi, thank's," ucap Gista.

"Lo mau ngapain si?"

"Gak usah kepo, udah sono pergi," usir Gista. Dia tampak celingukan takut satpam curiga.

"Lo gila, gak mungkin gue pergi dan tinggalin lo sendirian di sini. Gue gak seberengsek itu." Gista memandangi Ragas yang terus menggerutu, tak terima dia usir.

"Lo mau nungguin gue?" Ragas langsung mengangguk, tampak antusias. "Tunggu gue di sana." Gista menunjuk warung kopi di seberang jalan.

"Terus lo?"

"Gue ada urusan bentar, gak usah bawel. Kalo lo gak mau mending balik gih."

"Oke, gue tunggu di sana. Kalo setengah jam lo gak dateng, gue bakal susulin!" teriak Ragas, sementara Gista hanya melambaikan tangannya dan berjalan memutari gedung itu.

Gista menaiki pagar, susah payah dia masuk lewat belakang gedung itu. Tidak mungkin Gista masuk lewat depan bisa ****** ketahuan sama satpam.

Gista mengambil jepit rambut di saku hodienya, dia mulai beraksi membobol pintu belakang. Membuka pintu seperti ini hal yang mudah bagi Gista.

Gista berhasil masuk, dia langsung menuju gedung utama. Gista terdiam, terpaku di tempat kala melihat deretan lukisan yang dipasang di dinding.

"Mama," lirih Gista.

Kenangan masa kecilnya kembali terlintas di otak. Mana mungkin dia lupa dengan semua hasil karya tangan mamanya. Gista menyentuh lukisan berbentuk gelembung, yang di setiap gelembung terlukiskan anak kecil di dalamnya.

Itu Gista saat kecil, waktu itu dia sering menemani mamanya melukis di taman. Sedangkan dia asyik bermain mengejar kupu-kupu.

Mata Gista berkilat saat melihat nama pelukis di bawahnya. "Rosalin Andromeda?" Gista berdecih, lalu tertawa sumbang.

Dasar wanita licik! Gista rasanya ingin mencekik wanita ular itu. Berani-beraninya dia memamerkan hasil karya mamanya atas nama dia. Gista sudah geram sekali, tangannya sudah gatal.

Tanpa menunggu aba-aba, Gista langsung merusak lukisan-lukasin itu. Dia merobeknya, membantingnya. Ruangan itu berubah jadi kacau balau, padahal besok akan diadakan pameran lukisan di galeri ini.

"Good bye pencuri!" Gista tersenyum puas setelah menyemprotkan piloks ke dinding. Menuliskan kata 'pencuri' dengan ukuran yang sangat besar.

Namun kesenangannya terusik ketika terdengar suara langkah kaki yang mendekat. Gista panik, sepertinya satpam sedang berpatroli. Dia segera keluar, menyeret kakinya yang tiba-tiba kram.

"Siapa itu?!"

Gista semakin panik saat satpam itu meneriakinya. Tak peduli dengan rasa sakit, Gista langsung naik ke atas pagar. Tanpa perkiraan dia loncat, membuat pergelangan kakinya semakin sakit ketika menginjak tanah.

"Arrgghhh!!!" ringis Gista, dia menoleh ke belakang. Suara satpam itu masih terdengar.

Gista berusaha bangkit, namun kakinya sangat sakit. Sepertinya kakinya kembali terkilir, Gista merangkak. Dia harus segera lari dari sana, sebelum berhasil tertangkap. Namun kondisinya tak memungkinkan.

Gista tersentak ketika tubuhnya diangkat, dia mendongak dan matanya bertemu dengan mata hitam milik Ragas.

Ragas, selalu jadi dewa penolongnga tanpa diduga.

Ragas mendudukkan Gista di bangku taman, keduanya berhasil kabur dari tempat itu. Mungkin jika Ragas tidak datang tepat waktu Gista sudah ditangkap oleh satpam-satpam itu.

"Awwww!!" jerit Gista ketika kakinya di pijit Ragas.

"Sakit?" tanya Ragas.

"Gak! Yaiyalah sakit, ngapain gue jerit kalo gak sakit." Gista tampak sewot.

"Suruh siapa loncat dari sana. Kalo gak ada gue gimana coba."

"Ya, gak gimana-gimana." Ragas mendengkus, Gista terlalu jaim untuk mengakui kebaikannya.

"Masih sakit? Coba gerakin." Gista menurut, dia menggerakkannya perlahan.

"Loh kok gak sakit kaya tadi." Gista tampak senang, dia menggerak-gerakkan kakinya yang tak sesakit tadi.

"Lo gak mau bilang sesuatu gitu." Ragas berdiri, memasukkan salep yang dibawanya ke dalam tas.

"Makasih Bapak Ragas yang terhormat." Gista membungkukkan badannya.

"Gak gratis."

"What? Kan gue gak minta lo buat lakuin ini, lo inisiatif  sendiri." Gista bersungut-sungut tak terima.

"Gue gak peduli, besok pulang sekolah temenin gue ke mall. Titik gak pake nolak!"

Gista rasanya ingin mengamuk, memangnya dia siapa seenaknya saja menyuruh-nyuruh Gista. Tapi Ragas seakan tak peduli dan langsung naik ke motornya.

"Bisa jalan kan? Atau mau gue gendong?" goda Ragas.

Gista melotot dan itu justru membuat Ragas terkekeh geli. Ekspresi marah Gista justru terlihat menggemaskan baginya.

————

Gista duduk di meja makan dengan tenang, dia tersenyum miring mendengarkan celotehan Rosalin tentang galerinya. Sepertinya wanita itu belum mendapat kabar apa pun.

"Selamat sayang, ini hadiah untuk kamu."

Gista rasanya ingin muntah melihat kemesraan dua orang di depannya. Dia tak tahan lagi, rasanya ingin menghancurkan kebahagian semu itu.

"Hasil nyuri karya orang aja bangga," celetuk Gista. Seketika keadaan menjadi hening, semua mata tertuju padanya. "Why? Ada yang salah?" Gista tersenyum miring, matanya seolah mengejek ekspresi kaget Rosalin.

"Maksud kamu apa?" Valery tersulut emosi, tak terima dengan ucapan Gista.

"Tanya aja sama nyokap lo sendiri." Gista kembali makan dengan tenang.

Papanya berdehem keras, menatap Gista dengan tatapan tajam. "Jangan merusak momen kebahagian di rumah ini Gista."

"Apa aku merusaknya? Aku hanya bicara soal fakta." Gista menaikkan sebelah alisnya, tak gentar dengan wajah garang sang papa.

"Diam!" teriak Rosalin. Dia siap meneriaki Gista namun suara pelayan menginterupsinya.

"Ada telepon Nyonya, dari manager galeri." Rosalin langsung menyambar telepon itu.

"Halo."

Semua orang menatapnya, kecuali Gista yang dengan tenang melanjutkan sarapan.

"Apa?!" Rosalin  refleks berdiri, wajahnya pucat seketika. Bahkan telepon dari genggamannya terjatuh. "Gak mungkin!!" teriak Rosalin tampak histeris.

Semua orang berusaha menenangkannya, menanyakan perihal yang terjadi. Sementara Gista tersenyum puas, melihat wanita itu tampak syok dengan kabar galerinya. Sepertinya impiannya akan pupus.

"Kamu!!" teriak Rosalin, menghentikan langkah Gista. "Pasti kamu pelakunya?!" tuduh Rosalin.

Gista berbalik, menatap datar wanita itu. "Apa Anda punya bukti? Anda tidak bisa sembarangan Menuduh tanpa bukti yang jelas." Gista tersenyum miring.

"Aku yakin kamu pelakunya, siapa lagi di rumah ini yang tidak suka dengan kebahagiaan saya. Hanya kamu!!" Emosi Rosalin sudah meluap-luap, bahkan papa Gista sampai kewalahan memegangi wanita itu.

"Rosalin tenang. Gak mungkin Gista pelakunya, kamu gak bisa———"

"Apa karena dia putrimu, jadi kamu membela dia! Padahal jelas-jelas dia pelakunya!" Rosalin menunjuk Gista.

"Bukan Gista, aku yakin." Papa Gista bersikeras dengan ucapannya, hal itu membuat Gista muak. Basi!

"Buktinya apa kalo bukan dia?" Tangis Rosalin semakin pecah. Terdengar helaan napas panjang dari pria paruh baya itu.

"Aku yang memastikan sendiri kalo semalem Gista tidur di rumah." Papa Gista berkata apa adanya dia memang semalam diam-diam masuk ke kamar Gista.

"See, bukan gue pelakunya." Gista menyeringai. Ingatannya kembali berputar pada kejadian semalam.

"Lo yakin turun di sini?" Ragas heran kenapa Gista minta di turunkan di belakang rumahnya buka di depan.

"Yakin. Thank's." Gista langsung masuk lewat pintu belakang. Dia masuk ke garasi, naik ke atap garasi dan langsung memanjat dinding ke kamarnya.

Ragas yang melihat hal itu hanya geleng-geleng kepala. Padahal kaki Gista belum benar-benar sembuh. Dia langsung pergi ketika Gista melambaikan tangannya, mengisyaratkan dia untuk segera pergi.

Gista mencopot sepatunya, menyembunyikannya di sudut kamar. Dia langsung bergelung di bawah selimut, ketika mendengar suara langkah kaki.

Dugaannya benar, sang papa masuk ke kamarnya. Semenjak kejadian pagi itu, papanya jadi sering masuk ke kamarnya. Hanya untuk memandangi Gista, mengusap kepalanya.

Gista melambaikan tangannya, ketika suara teriakan Rosalin semakin lantang terdengar. Dia pergi meninggalkan tempat itu dengan senyum mengembang.

"Ini hanya permulaan tante sadako! Lo akan dapet karma yang setimpal."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!