BAB 10

Kebiasaan para cewek Sma Pelita disaat pagi hari, saling unjuk gigi mencari perhatian dari geng ALASTOR.

Tapi tak ada seorang pun yang mampu memikat keenam cowok tampan yang tengah berkumpul di parkiran.

Mungkin diantara mereka, hanya Leon yang sedikit antusias menyahuti sapaan dari cewek-cewek genit itu.

"Gaje banget si lo! Sok ganteng," cibir Tara yang sudah muak melihat tingkah Leon.

"Syirik aja lo sama orang ganteng," balas Leon.

Tara memutar bola mata. Jengah! Enggan menggubris Leon yang semakin menjadi. Bahkan cowok itu dengan santainya membalas kiss bye para cewek yang melewati mereka.

"Ragas mana? Tumben belom keliatan," tanya Saga. Cowok itu duduk di atas kap mobil sembari mengisap rokok ditangannya.

Teman-temannya mengedikkan bahu, tanda tak tahu. Lalu tiba-tiba Leon memekik histeris. "Itu Ragas kan?"

Seketika mata mereka semua tertuju ke arah gerbang, di mana motor Ragas mulai memasuki area sekolah.

"Gercep juga tuh bocah." Alfa tersenyum miring, saat matanya lebih fokus pada orang yang duduk di jok belakang motor Ragas. "Lo gimana Lan? Gak tertarik?" Alfa menolehkan kepalanya pada Olan.

"Padahal si Ragas biasanya paling males kalo disuruh deketin target," tambah Tara.

Sementara yang di tanya justru memilih diam membisu, tapi netranya menatap tajam kedatangan motor Ragas.

Ragas berhenti di dekat motor Olan. Dia melepas helem, lalu melirik ke belakang. "Lo bisa turun?"

Gista tak mejawab tapi gadis itu langsung turun, dia meringis saat kakinya menginjak tanah. Dengan cepat melepaskan helem yang dipakainya.

"Thank's." Gista langsung memberikan helem itu pada Ragas. Dia bergegas pergi, karena merasa risih dengan tatapan cowok-cowok di depannya.

"Kok bisa bareng gitu?" tanya Leon. "Jangan bilang lo sama dia sema———"

"Kenapa lo kecewa?" Ragas menyeringai.

"WOW!" pekik Alfa. "Jangan bilang dia jalan tertatih karena ...." Alfa menggantungkan ucapannya, membuat teman-temannya ikut berpikiran ke arah sana.

Ragas berdecih, memang teman-temannya ini gak ada ahlak. Dia memutar bola matanya, saat teman-temannya mulai berspekulasi tentang dia dan Gista.

"Gue duluan," celetuk Arka tiba-tiba. Dia turun dari atas kap mobilnya lalu berjalan meninggalkan teman-temannya.

"Kenapa dia?" tanya Ragas.

"PMS, kali," sahut Leon asal.

"Yaudah kantin aja gimana? Cacing gue pada kelaperan nih." Tara langsung merangkul bahu Ragas. "Lo yang traktir hari ini." Cowok itu terkekeh.

Lalu mereka semua pergi menuju kantin.

————

Gista memutar bola matanya, sudah hampir satu jam berlalu kelasnya dibiarkan kosong. Dia tak tahan berada di kelas yang berisik, apalagi suara melengking dari cewek-cewek yang sedang bergibah.

Bahasan mereka tak jauh-jauh dari ALASTOR, semakin membuat Gista muak mendengarnya. Memang apa hebatnya mereka? Sampai semua anak mengelu-elukan namanya.

"Mau ke mana?" tanya Zee ketika melihat Gista beranjak dari bangkunya.

Hidup Gista benar-benar suram di sekolah ini, kenapa juga dia harus satu kelas bahkan satu bangku dengan gadis kepo ini. Ah, wajar saja karena hanya Zee yang berani mendekatinya. Sementara anak-anak yang lain, menjauhinya karena kartu merah yang diberikan ALASTOR.

"Bukan urusan lo!" Gista selalu saja berbicara ketus, tak peduli dengan reaksi lawan bicaranya. Dia melangkah keluar begitu saja.

Tempat tujuannya rooftop, dia butuh udara segar untuk menghilangkan penat. Meski jalannya sedikit tertatih, Gista tetap melanjutkkannya sampai di depan pintu rooftop. Dengan sekali tarikan dia langsung membuka pintu.

"Aaa!!" pekik Gista terkejut karena hampir saja bertabrakan dengan seseorang yang akan keluar.

"Ngapain lo?" tanya Cowok itu, menatap Gista penuh selidik.

"Bukan urusan lo!" Lagi-lagi dia bicara ketus, Gista mendorong cowok itu lalu masuk ke rooftop.

"Siapa yang bolehin lo ke sini?" teriak cowok itu yang masih berdiri di depan pintu.

"Emang harus minta izin ya? Gue pikir ini fasilitas sekolah dan gue bayar untuk itu." Gista berbalik menatap cowok itu yang tengah berjalan mendekat.

"Lo anak baru kan? Lo belum tahu aturan di sekolah ini? Hanya A———"

"ALASTOR maksud lo!" sergah Gista. "Gue si gak peduli." Gista tersenyum miring menatap kota Jakarta dari atas gedung.

"Lo gak takut?"

"Kenapa harus takut. Memangnya mereka siapa? Siluman? Monster? Atau tukang debus?" Hanya Gista yang berani menistakan ALASTOR, entah apa reaksi mereka jika mendengar hal itu.

Cowok itu hanya geleng-geleng kepala. Dia menatap Gista dengan tatapan yang berbeda, Gista terlalu menarik baginya.

"Gue Arka." Cowok itu mengulurkan tangannya.

"Gak nanya." balas Gista, mengabaikan uluran tangan Arka. Dia tampak tak peduli dengan kehadiran cowok itu.

"Jutek juga ya lo." Arka terkekeh, memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Matanya menatap ke bawah. "Lo gak takut berada di ketinggian begini?"

Gista menolehkan kepalanya, menatap Arka yang masih menunduk ke bawah. Dia pun mengikuti arah pandang Arka, menatap ke bawah.

"Waktu itu lo kan yang jadi saksi mata?" Arka menoleh, membuat Gista heran. Hingga dia menangkap maksud ucapan Arka.

"Iya." Gista mengangguk, memalingkan wajahnya ke arah lain. "Kenapa?"

"Apa waktu itu lo liat dia sebelum jatuh?" Tatapan Arka begitu tajam, seolah tengah mencari kejujuran di bola mata Gista.

Sementara Gista terdiam, kaku dan tak mampu berkutik. Apa sedahsyat itu pesona mata Arka, sampai membuatnya terpaku.

Gista langsung memalingkan wajahnya, bertepatan dengan suara bel. "Gue mau ke kelas." Gista menyeret kakinya pergi dari sana.

"Lo belom jawab." Suara Arka membuat langkah Gista terhenti.

"Gue ...." Bibir Gista tiba-tiba kelu. "Gue ... gak tahu. Kalo lo gak percaya, atau lo penasaran bisa tanya ke polisi. Karena kesaksian gue sama seperti yang ada di BAP."

Gista kembali melangkah, meninggalkan Arka yang terdiam setelah mendengar jawaban Gista.

Kini Gista berada di kantin, setelah bel istirahat berbunyi lima menit yang lalu.

"Gis, lo masih penasaran soal kasus itu?" tanya Zee yang duduk di depannya. Sedari tadi dia memperhatikan Gista yang tampak serius mencoret-coret bukunya.

"Iya."

Terdengar helaan napas kasar dari Zee. "Gis, udahlah ngapain si lo ngurusin itu. Bukannya itu jadi urusan polisi? Kita hanya anak SMA, bisa apa?"

Gista mengangkat wajahnya, menatap Zee dengan datar. "Kenapa kalo SMA?"

"Ya gak papa si." Zee menggaruk kepalanya yang tak gatal, dia jadi salah tingkah sendiri.

"Menurut lo diantara ALISTOR siapa yang paling deket?" tanya Gista.

"Em ...." Zee tampak berpikir sejenak. "Arka, Ragas dan saga. Mereka yang paling dekat dengan Alisya. Itu si menurut rumor," bisik Zee, karena situasi kantin yang ramai terlalu sensitif jika membicarakan ALASTOR ditempat seperti ini.

Gista terus mencecar Zee dengan berbagai pertanyaan, dia terus mengorek informasi tentang ALASTOR.

Sementara di luar kantin begitu ricuh saat gerombolan cowok kelas XII, memasuki kantin. Mereka ALASTOR.

"Wuihh rame cuy," celetuk Tara, matanya mengedar ke seluruh penjuru kantin.

"Ke tempat biasa aja," kata Ragas.

"Eiiitsss." Alfa menghalangi teman-temannya. "Kalian gak lihat, bangku kita udah ada yang nempatin." Alfa melirik ke arah bangku paling pojok, di belakang.

"Berani juga dia." Saga menyeringai, melihat Gista duduk di tempat keramat. Tempat yang biasa diduduki ALASTOR.

"Tenang, tenang. Biar gue yang urus." Leon langsung menerobos ke depan mereka. "Liat aksi babang Leonardo de caprio." Dengan gaya sok angkuhnya, dia berjalan menuju bangku di mana Gista berada.

"Berani taruhan?" tantang Ragas. "Gue yakin dia digampar."

Teman-teman Leon sibuk taruhan, sedangkan dia sibuk menyisir rambutnya dengan sisir lipat yang selalu di bawanya.

"Hai," sapa Leon, dia duduk di sebelah Zee.

"Hai Kak Leon." Zee melambaikan tangannya.

Gadis itu sama saja seperti gadis lainnya. Tapi Gista tampak tak peduli dengan kehadiran Leon. Dia sibuk memakan roti isi yang ada di tangannya.

Baru akan menggigit rotinya, Gista dibuat jantungan karena muka Leon tiba-tiba muncul di depan wajahnya dengan jarak sejengkal. Cowok itu dengan tampang watados, ikut menggigit ujung roti satunya.

Gista langsung melepehkan rotinya, dia terbatuk-batuk. Kantin yang tadinya ramai seketika hening. "Lo gila!" Gista berdiri, menatap sebal Leon yang malah sibuk memakan sisa rotinya.

"Rotinya enak, apalagi yang bekas lo. Berasa abis ciu——"

Plak!

Zee spontan menutup mulutnya, matanya mengerjap melihat Leon meringis kesakitan. Sementara Gista berbalik pergi setelah menggampar Leon.

"Kurang ajar!" maki Gista.

Leon menganga di tempatnya, mengusap pelan pipinya yang masih terasa panas. Sementara teman-temannya tengah tertawa terpingkal-pingkal.

"Leon yang malang."

Terpopuler

Comments

🌺Miss_Sweety🌺

🌺Miss_Sweety🌺

miss sweety mampir lagi thor, bawa banyak like sampe sini..balik mampir ya..

miss sweety udah klik favorit karyamu, kita saling dukung 🤗 semangat up...

2020-08-18

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!