BAB 9

Gista berjalan mengikuti cowok itu, dia bersembunyi di balik tembok. Gista mulai mengintip. Matanya seketika melebar saat melihat siapa orang yang ditemui cowok itu.

Olando!

Ngapain dia? Pikiran Gista mulai menerawang ke mana-mana. Dugaan-dugaan tak berarah mulai bermunculan dalam benaknya. Bahkan rasa curiga mendorongnya untuk lebih tahu.

"Lo dapetin yang gue mau?" tanya Olan. Cowok itu menggeleng. "Why?"

"Polisi patroli terus. Gimana gue bisa masuk? Ditambah banyak CCTV tambahan di sekitar ruangannya," jawab cowok itu.

Gista penasaran siapa cowok berhodie itu. Dilihat dari celana yang dipakai, Gista yakin kalo itu seragam sekolahnya. Apa mungkin yang di maksud cowok itu ruang rawat Rico?

Gista memperhatikan lebih seksama. Apa jangan-jangan ... Olan dibalik semua ini? Tiba-tiba saja pikiran itu terlintas di otaknya. Gista terus berspekulasi, matanya tak lepas dari kedua cowok itu. Hingga tiba-tiba dia merasakan sesuatu merambat di kakinya.

Gista menoleh ke bawah, memeriksa kakinya. Dia langsung terpekik, panik saat melihat ulat bulu yang merambat di kakinya. Gista refleks menjerit, berjingkrak-jingkrak——berharap ulat bulu itu jatuh dengan sendirinya.

Naas, hal lain justru terjadi. Gista terpeleset dan jatuh diatas tumpukan kayu. "Aww!!" Gista meringis memegangi sikunya yang berdarah, akibat terkena paku. "Sial!"

"Siapa itu?"

******! Gista langsung panik, dia mencoba bangkit tapi sepertinya kakinya terkilir. Dia kesusahan untuk bangun.

"Ayo dong, please." Gista memaksakan diri untuk bangun, dia berpegangan pada tembok usang itu. Menyeret kakinya, sebelum dia ketahuan.

Gista tak kuat lagi, rasa sakit yang begitu ngilu menyiksanya. Tak tahan lagi akhirnya Gista menjatuhkan diri di depan koridor kamar mayat yang sepi. Persetan dengan Olan yang bakal menemukannya.

"Ashh!!!" Gista meringis, menahan ngilu saat mencoba menggerakkan kakinya. Dia memijit perlahan pergelangan kakinya. "Sial banget si gue!" gerutunya.

Gista masih tak menyadari dengan langkah kakinya yang mendekat. Dia terus mengomel tanpa henti, sampai sentuhan di pundak membuatnya menjerit karena terkejut.

Gista menoleh, dia sudah pasrah jika itu Olan. Namun yang dilihatnya kini justru orang lain. "Ragas!"

"Ngapain lo di sini?" tanya Ragas.

"Bukan urusan lo!" Gista kembali berbalik, menggerakkan kakinya secara perlahan. Dia memaksakan diri untuk bangun. "Awww ...." Namun justru kembali terjatuh, beruntung ada tangan kokoh yang sigap menangkap tubuhnya.

"Kaki lo terkilir?" Ragas memperhatikan pergelangan kaki Gista yang memerah.

"Hm." Gista tak mungkin berbohong, dia sudah ketahuan. "Ragas!" Gista melotot karena Ragas langsung membopong tubuhnya. "Turunin gak!" teriak Gista.

Tapi cowok itu tak peduli, seakan telinganya tuli. Dia terus berjalan mengabaikan teriakan serta rontaan Gista. Bahkan beberapa orang yang melewati koridor memperhatikan mereka.

"Ragas! Gue bisa jalan sendiri!" Gista mendengkus. Dia lelah berteriak tapi sama sekali tak di gubris. Akhirnya dia diam dan membiarkan cowok itu membawanya.

Ragas membawa Gista memasuki sebuah ruangan. Wanita yang tengah duduk di dalam langsung berdiri. Terkejut saat melihat Ragas yang tiba-tiba masuk dan meletakkan Gista ke brankar.

"Ragas! Ada apa?" Wanita itu menghampiri Ragas.

"Kayanya kakinya terkilir deh Ma," jawab Ragas. Wanita itu langsung beralih menatap Gista.

Ma?

Mama? Gista memperhatikan wanita itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Wanita itu memang terlihat mirip dengan Ragas. Tapi wajahnya kenapa identik dengan Zee? Gista menggeleng, kenapa dia justru teringat gadis itu.

"Kenapa sakit?"

Gista tersentak, dia menoleh pada mama Ragas yang tengah memegangi kakinya. Gista mengangguk, sedikit meringis karena wanita itu menekan kakinya.

"Tahan ya," ucap mama Ragas.

Gista mengangguk. Lalu dia memekik, suaranya tertahan karena Gista membungkam mulutnya sendiri. Meredam suara lantang akibat kakinya yang ditarik hingga menimbulkan bunyi patahan.

"Coba gerakin."

Gista menurut, menggerakkan kakinya secara perlahan. Gista menganga. Bagaimana mungkin? Kakinya sudah tidak sesakit tadi, walaupun masih ngilu. Dia beralih menatap wanita itu.

"Udah gak sakit 'kan?" tanya wanita itu. Gista langsung mengangguk. "Kaki kamu cuma terkilir, nanti saya berikan salep. Kamu bisa olesin sendiri dan memijitnya perlahan." Wanita itu berdiri menuju meja kerjanya.

"Makasih," ucap Gista.

Wanita mengangguk, tersenyum hangat pada Gista. Dia kembali menghampiri Gista, menyodorkan kantong kresek berisi obat.

"Cepet sembuh ya," ucap wanita itu, mengelus pundak Gista.

Hangat, terasa nyaman. Bahkan Gista sampai tak berhenti memandangi wajah wanita itu, rasanya dia melihat sosok sang mama di dalam diri wanita itu.

"Ragas anterin temen kamu sampai rumah ya." Ragas mengangguk lalu membantu Gista berdiri.

——————

Gista berjalan dengan hati-hati saat menuruni tangga. Pergelangan kakinya masih sedikit sakit. Dia berhenti, melirik ke bawah. Memperhatikan papanya yang tengah bercengkrama dengan kedua anaknya.

Harusnya aku sama mama yang ada di situ. Gista menghela napas panjang, mendongak menghalau air mata yang tiba-tiba menerobos keluar.

"Cengeng!"

Gista langsung menoleh, melotot saat

Tristan berjalan melewatinya. "Apa lo bilang?!" bentak Gista, suaranya begitu lantang terdengar sampai ke meja makan.

"Apa?" Tristan menaikkan sebelah alisnya. "Emang bener kan lo itu cengeng!" Trista berdecih, tersenyum miring seolah mengejek Gista.

Gista semakin melotot, rasanya ingin sekali menguliti pria itu hidup-hidup. Lalu menceburkannya ke kandang Anaconda piaraan papanya.

"Lo!" Gista sudah siap melayangkan sepatu ke arah Tristan, namun suara bariton mengurungkan aksi Gista. Gista melirik papanya yang sudah berdiri, menatap tajam dirinya. "Dasar tua bangka!" Gista mendengkus, kembali memakai sepatunya.

Selama di meja makan, Gista begitu gondok mendengarkan celotehan Tristan yang begitu menyonbongkan diri. Sementara papanya tak henti-henti menyanjung pria itu secara berlebihan. Apa lagi wanita di hadapannya, yang sudah heboh bukan main.

Gista berdecak, mereka membuat nafsu makannya hilang. Gista meletakkan alat makannya dengan kasar, menimbulkan suara keras.

"Mau ke mana kamu?!" bentak Papanya saat melihat Gista sudah beranjak berdiri.

"Sekolah!" Tak ingin berdebat dengan papanya, Gista langsung berbalik berjalan dengan menyeret sebelah kakinya.

"Kaki kamu kenapa?"

Gista berhenti, menoleh ke bahunya. "Bukan urusan Papa! Lagi pula Papa juga gak peduli 'kan?" Gista tersenyum miris saat tak mendapati reaksi apa pun dari pria paru baya itu.

Karena Gista bukan siapa-siapa buat Papa!

Gista kembali melangkah meninggalkan ruangan itu. Dia tak berharap banyak dengan papanya. Mana mungkin papanya akan peduli. Gista berjalan menuju gerbang, mengabaikan orang-orang yang sedari tadi menyapa. Pikirannya terus berkelana entah ke mana.

Hingga suara bariton itu kembali terdengar, membuat langkah Gista berhenti. Gista berbalik menatap papanya yang tengah berlari menghampirinya.

"Biar Papa anter kamu," ucap papanya. Gista tersenyum sinis, dia benci dikasihani.

"Gak perlu!" Gista langsung berbalik dan kembali melangkah. Tapi papanya kembali menahan bahunya, seketika gadis itu berhenti menoleh ke belakang.

"Kalo kamu gak mau, biar sopir yang anter. Dari pada kamu berjalan tertatih seperti itu."

Gista tersenyum miris, harusnya dia senang karena papanya peduli. Tapi hal itu justru menyakiti perasaanya. Gista tahu, papanya gak peduli dia hanya kasihan dan tidak mau dipandang buruk oleh orang-orang.

"Papa cuma khawatir sama kamu." Papanya memandang miris kaki Gista.

"Aku gak papa kok." Gista menyingkirkan tangan papanya dari pundak. "Bahkan sebelum ini, aku pernah hidup sebatang kara di negeri orang dan aku baik-baik saja. Jadi gak usah khawatirin aku!"

Gista berbalik, berjalan menuju gerbang mengabaikan panggilan sang papa. Ini lebih baik Pa!

Gista menyeka air matanya, terkadang dia memang tidak bisa mengontrol emosinya. Sebenarnya gadis itu begitu rapuh, tapi dia tutupi semua itu. Dia benci di kasihani.

Gista berhenti di depan gerbang, matanya mengerjap kala motor gede itu berhenti di depannya. Gista melongo saat orang itu melepas helemnya.

"Ragas! Kamu ...?"

"Ayo naik!"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!