Larut dalam duka

Gadis itu memeluk pigura photo Vania yang tengah memangku dirinya, seakan merengkuh kenangan manis yang pernah menemani saat-saat terindah, menghabiskan waktu bersama, melimpahkan kasih sayang padanya yang takkan bisa tergantikan oleh apapun.

"Mommy, I love You," ucap Sena lirih sembari mengecup potret mendiang ibunya, sampai air mata menetes membasahi kaca pigura tersebut, serta mengusap dengan jemari kaku, dan gemetar.

"Mommy, why did you leave me? I still need you, Mommy," lanjutnya dalam isakan penuh duka yang begitu mendalam. Sena seakan masih berat melangkah untuk meninggalkan unit apartemen. Malam itu, ia masih duduk di atas sofa sembari merangkul pigura sang ibu tercinta.

Terlalu lama terhanyut dalam kesedihan, Sena meringkuk di sofa, memeluk erat pigura foto Vania seakan ingin merasakan kehangatan tubuh ibunya yang telah tiada. Tanpa disadari, matanya yang sembab itu terpejam dalam keheningan ruangan yang remang-remang.

Tak berapa lama kemudian, indera penciuman Sena menangkap aroma masakan dan mendengar suara riuh alat-alat masak dari arah dapur. Ia segera membuka matanya, menaruh kembali pigura itu di tempat semula, dan bangkit dari sofa. Senyum mulai terukir di bibirnya, meredakan kesedihan dan kehampaan di dalam hati. Ia melangkah menuju arah sumber aroma dan suara itu.

"Mommy, apakah itu kau?" serunya, mengintip dari ambang pintu, melihat seorang wanita setengah baya yang mirip sekali dengan ibunya.

"Mommy masih hidup." semua kesedihannya menguap saat melihat gerakan Vania, yang ketika itu sedang memasak di dapur. Mungkin hanya beberapa langkah dari tempat Sena berdiri.

"Mommy..." panggil Sena antusias, dan Vania pun menoleh sambil memberikan senyuman hangat yang selalu dikenang Sena. Tanpa ragu, gadis itu berlari mendekap tubuh wanita paruh baya tersebut.

"Mommy, tolong jangan tinggalkan aku. Aku sayang Mommy," isak Sena dalam dekapan erat, Vania merenggangkan pelukan tetapi kedua tangannya masih bertengger di kedua pundak Sena.

"Mommy tidak pernah meninggalkanmu, sayang. Mommy selalu ada di hatimu," ucap Vania lembut dan penuh dengan ketulusan. "Mommy akan selalu menyayangimu," tambahnya, membuat Sena kembali memeluknya dengan erat.

"Aku juga, Mommy," balas Sena. Tanpa diduga, Vania membimbing Sena ke ruangan lain. Di sana, langit terlihat sangat cerah, seolah dinding kaca apartemennya tiba-tiba lenyap.

"Sena, Mommy harus pergi," kata Vania, berhenti sejenak sebelum melangkah menuju jendela.

"Kemana Mommy akan pergi?" tanya Sena agak berteriak, saat Vania hampir menembus batas dinding kaca.

"Tempat Mommy bukan di sini lagi, Mommy harus pulang," jawab Vania sambil mempertahankan senyum manisnya.

"Mommy," isak Sena, berusaha menahan agar ibunya tidak pergi.

"Selamat tinggal, Sena, I Love You." Vania memberikan ciuman jarak jauh, melambaikan tangannya, lalu berbalik dan menghilang.

"Mommy..." teriak Sena, yang kemudian terbangun. Ternyata itu semua hanya mimpi.

(Jujurly, Author nulis adegan ini sambil nangis.)

Dada Sena terasa sesak menyadari kenyataan bahwa sang ibu sudah benar-benar pergi selamanya. Dia menyesal karena terkadang menjadi anak yang nakal, tidak selalu mendengarkan kata-kata Vania.

"Mommy, maafkan aku," isak Sena dalam kehampaan, hanya kesunyian yang menjadi teman saat ini, pikirannya selalu terpaut pada kenangan manis bersama Vania.

Dia mengingat jelas momen-momen itu. Saat mereka tertawa di sofa sambil menikmati camilan, mendengarkan lagu favorit bersama, dan membicarakan masa depan. Semua itu kini hanya tinggal kenangan.

Sena memutar lagu itu, seolah dia sedang mendengarkannya bersama sang ibu, suaranya ikut bersenandung mencoba mengusir kehampaan di dalam hati, air mata kembali membasahi wajahnya, dan entah sudah beberapa kotak tisu yang ia habiskan untuk menyeka air matanya itu.

...

Di tempat yang berbeda, saat Hans tengah sibuk dengan pekerjaan, tiba-tiba dadanya terasa sesak, seolah-olah ia sedang menahan kesedihan yang mendalam, meskipun sebenarnya ia merasa baik-baik saja. Air mata seakan-akan ingin keluar, lidah menjadi kelu, otot-otot menegang, dan ia merasakan nyeri di kepala.

"Ada apa sebenarnya denganku? Mengapa aku merasa ingin menangis? Padahal aku tidak sedang berduka." Hans merasa heran dengan perasaannya akhir-akhir ini. Ia tidak menyadari bahwa fenomena ini mungkin disebabkan oleh hubungan darah dan ikatan batin antara orang tua dan anak, meskipun ia sendiri tidak pernah memiliki anak dan tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya.

Aktivitas Hans terganggu sejenak, dan ia terisak seorang diri di ruang pribadinya. Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya dalam sekejap.

"Pak Hans, apa yang terjadi? Apakah Pak Hans sedang menangis?" tanya Andi yang melihat sembab di kedua mata sang atasan, ia datang sambil membawa sebuah map yang langsung meletakkannya di atas meja kerja Hans.

"Hmm, entahlah, Andi. Sepertinya saya perlu berkonsultasi dengan dokter mengenai gejala yang saya rasakan belakangan ini. Saya merasa ingin menangis, padahal saya tidak memiliki masalah serius yang harus membuat saya menangis," kata Hans dengan wajah bingung.

Andi terdiam sejenak, mencerna kata-kata sang atasan tersebut. "Biasanya jika seperti itu, itu berarti orangtua atau saudara kita sedang mengalami kesulitan atau musibah," jelas Andi.

"Hus, jangan asal bicara! Orangtua dan saudara saya baik-baik saja, tidak ada yang mengalami masalah," sangkal Hans, semakin bingung dengan perasaannya.

"Tolong carikan saya seorang dokter yang bisa menangani kondisi saya ini," pinta Hans. Andi mengangguk dan segera mencari dokter melalui internet.

......................

Keesokan harinya, saat sinar matahari mulai memasuki ruang apartemen dan mengusik indera penglihatan Sena melalui celah-celah tirai yang setengah tertutup, gadis itu perlahan menggeliat. Kedua mata gadis itu terasa bengkak dan memerah karena terlalu lama larut dalam duka, dan hidungnya sedikit tersumbat. Sena masih sulit menerima kenyataan bahwa ia harus berpisah dengan ibunya.

Meskipun begitu, Ia tahu bahwa dirinya tidak bisa terus tinggal sendirian di New York. Dengan tekad yang sudah bulat, ia memutuskan untuk mencari anggota keluarganya di Indonesia, baik dari pihak ibu maupun ayah, meskipun ia tidak memiliki bukti yang pasti untuk melacak keberadaan mereka dan hanya bisa memasrahkan semuanya pada takdir.

Setelah mandi dan sarapan, Sena menyiapkan dan memeriksa kembali pakaian dan barang-barang lainnya di dalam koper, siap untuk berangkat menuju bandara.

Ia melangkah menuju pintu, dan berdiri sejenak, menghela nafas panjang, mengenang sisa-sisa manis bersama Vania. "Selamat tinggal Mommy, aku akan selalu merindukanmu," gumam Sena, langkahnya terasa berat ketika hendak keluar dari ruangan yang penuh dengan kenangan indah ini.

Ketika keluar dari apartemen, Richie mencegah sebelum ia naik ke dalam taksi. Tatapannya penuh ketidaksetujuan terhadap keputusan Sena untuk pergi.

"Sena, kemana kau akan pergi?" tanya Richie, wajahnya penuh kekhawatiran.

"Kemana pun aku pergi, yang jelas, jauh dari jangkauanmu, loser!" jawab Sena tajam, tatapannya penuh dengan kekesalan karena Richie telah merusak harga dirinya.

"Sena, maafkan aku. Aku sungguh mencintaimu," ungkap Richie sambil menggenggam tangan Sena dengan lembut, berharap Sena akan mengubah pikirannya.

"Lepaskan aku!" Sena menarik tangannya kembali, langsung masuk ke dalam taksi tanpa melihat ke belakang.

Pemuda itu berteriak memanggil nama Sena saat taksi melaju pergi. "Sena, please, stay with me!"

Tak ikhlas melepasnya, Richie berupaya mengejar dengan mobil sport yang ia kendarai. Kendaraan super canggih itu, dengan cepat memalang laju taksi yang di naiki Sena.

Richie keluar, dan menggedor jendela taksi tersebut membiarkan kemacetan di jalan raya. "Sena, please! Kau jangan pergi!" ia terus berteriak.

Tibalah 2 orang polisi lalu lintas, mereka langsung mengamankannya, Richie di gelandang oleh 2 polisi New York itu, membuat Sena bisa bernafas lega, dan taksi kembali melaju tanpa hambatan yang berarti.

Sesa tiba di Bandara Internasional John F. Kennedy dan menuju ke tempat pemeriksaan imigrasi.

Antrian panjang terlihat di depan, tetapi Sena tetap tenang dan sabar menunggu gilirannya.

Saat akhirnya tiba di meja imigrasi, petugas tersebut menanyakan tujuan perjalanannya. "Tujuan Anda ke Indonesia, right?" tanya petugas pria itu.

Sena mengangguk. "Yes, Sir," jawabnya dengan tegas.

Setelah selesai, ia melanjutkan langkah berikutnya menuju ke area keberangkatan. Ia duduk di ruang tunggu sambil memandang pesawat yang akan membawanya ke Indonesia. Hatinya campur aduk, antara sedih meninggalkan New York karena banyak kenangan indah dan harapan untuk menemukan keluarganya di Indonesia.

Ketika panggilan untuk naik pesawat terdengar, jantung Sena deg-degan. Ia melangkah menuju pesawat dengan hati yang mantap dan yakin, siap menghadapi lembaran baru di tanah air yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya.

Sena duduk di kursi kabin pesawat, memasang earphone, dan memutar lagu favorit yang sering ia dengarkan bersama mendiang Vania. Dengan mata tertutup, ia merasakan kehadiran sang ibu di sisinya, seolah Vania sedang duduk di samping Sena, tersenyum lembut menyapa dengan hangat menemani perjalanan ini.

Suara musik mengalir, membawa kenangan manis bersama, dan Sena larut dalam momen itu, memeluk erat bayangan yang masih begitu kuat dalam ingatan.

...

Bersambung...

Terpopuler

Comments

Aditya HP/bunda lia

Aditya HP/bunda lia

kuat Sena semangat 💪

2024-02-25

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!