Pengobat Rindu

Saat Sena mengambil pigura foto mendiang sang ibu dari dalam koper, ekspresi wajahnya penuh dengan rasa sayang dan kerinduan. Dengan lembut, ia memeluk pigura foto itu erat-erat sambil mencium berkali-kali, seolah ingin menyampaikan sejuta rasa sayangnya pada almarhumah Vania yang kini sudah berada di sisi Tuhan.

"Mommy, aku sudah sampai di Indonesia, tanah kelahiranmu, dan aku akan selamanya berada di sini," ucap Sena lirih, air matanya kembali mengalir saat ia mengusap lembut kaca pigura tersebut. Tiba-tiba, terdengar ketukan pintu yang membuatnya terkejut. Sena segera menaruh pigura foto itu di atas meja dan melangkah ke ambang pintu untuk membuka.

"Hai, Yuna," sapa Sena ramah ketika melihat sahabat barunya berdiri di depan pintu.

"Boleh aku masuk?" tanya Yuna dengan lembut. Sena mengangguk dan mempersilakan Yuna masuk.

Yuna duduk di kursi kayu sambil memperhatikan pigura foto yang basah oleh air mata Sena. Ia penasaran dan bertanya, "Itu foto siapa, Sena?"

Sena memperlihatkan foto tersebut pada Yuna sambil berkata, "Ini Mommy, yang aku ceritakan waktu di bandara. Dia sudah tenang di sisi Tuhan, tapi aku selalu merindukannya."

Yuna mengerti perasaan Sena dan memberikan dukungan, "Yang sabar ya, Sena."

Kemudian, Yuna menanyakan tentang ayah Sena. Gadis itu menghapus air matanya dan menjawab, "Mommy bilang, Daddy sudah tidak ada di muka bumi ini, tapi aku tahu dia berbohong. Dia merahasiakan ini semua dariku, makanya aku akan mencari Daddy disini. Aku yakin dia masih hidup."

Yuna merasa tersentuh dengan cerita Sena dan menceritakan tentang ayahnya yang telah meninggal saat Yuna berusia 15 tahun. Sena memeluk Yuna dengan erat, dan keduanya saling menguatkan satu sama lain.

"Maaf ya, gara-gara aku, kamu jadi sedih," kata Sena saat mengamati air mata yang mengalir di kedu pipi Yuna.

"Tidak apa-apa, namanya juga curhat. Sena, kalau kamu tidak keberatan, aku mau kok bantuin kamu cari Ayah kamu," usul Yuna dengan penuh kepedulian.

Sena mengangguk cepat, merasa memiliki secercah harapan untuk menemukan ayahnya yang selama ini dirahasiakan oleh almarhum sang ibu.

"Tapi, pasti itu akan sulit, karena aku sendiri tidak tahu ciri-ciri Daddy-ku seperti apa. Mungkin dia sudah beruban, perutnya buncit, pakai kacamata bulat," cerita Sena sambil berimajinasi.

"Hmm... Kalau boleh aku tebak, pasti usianya sudah kepala 5," kata Yuna berandai-andai, membuat Sena tertawa dengan imajinasinya sendiri.

Setelah berbagi cerita, Yuna mengajak Sena untuk makan, karena ibunya sudah sengaja memasak sesuatu. Yuna, sebagai putri tunggal Bu Yusni, merasa senang memiliki teman baru dengan kehadiran Sena.

"Ayo, Sena," ajak Yuna, dan Sena tersenyum serta mengangguk. Kedua gadis itu melangkah bersama-sama sambil tertawa ceria.

Tiba di ruang makan, Sena melihat berbagai macam menu lezat, kuliner asli nusantara, tersaji di meja dengan aromanya yang menggugah selera.

"Ayo Nak, silakan. Jangan sungkan, anggap saja rumah sendiri," ujar Bu Yusni ramah kepada Sena, membuatnya merasa beruntung di pertemukan dengan orang-orang baik seperti Yuna dan Bu Yusni. Yuna menyeret kursi untuk Sena, sambil berkata, "Silahkan, Sena," membuat gadis itu merasa dihargai oleh mereka.

"Terima kasih banyak, Yuna, Bu Yusni. Kalian sangat baik sekali kepada saya. Kebaikan Ibu mengingatkan saya pada mendiang Mommy," terang Sena, kedua matanya kembali berkaca-kaca. Bu Yusni merasa iba, mendekat, dan langsung mendekap tubuh Sena. Dalam dekapannya, kerinduan Sena pada Vania seakan terobati.

"Sudahlah, jangan sedih lagi. Kalau kamu tidak keberatan, anggap saja Ibu seperti Ibumu sendiri, Nak," kata Bu Yusni dengan penuh ketulusan, meski baru pertama kali mengenal Sena. Entah mengapa, mereka merasa nyaman dan sayang satu sama lain. Sena merasakan kehangatan di antara Yuna dan Bu Yusni.

"Sekarang, mending kamu cicipi masakan Ibu," kata Bu Yusni, menunjuk beberapa makanan di atas meja. Sena mungkin masih asing dengan beberapa makanan itu, tetapi aromanya tak bisa ditolak.

"Di Amerika sana, kamu makan apa?" tanya Bu Yusni. Sena tersenyum dan menjawab, memberi tahu Bu Yusni tentang makanan yang tidak familiar baginya.

"Ada semur jengkol gak?" tanya Yuna sambil tertawa. Sena mengerutkan kening karena merasa asing dengan menu tersebut.

"Apa itu semur jengkol?" tanya Sena, penasaran.

"Besok ibu akan masak semur jengkol, pasti kamu suka," kata Bu Yusni dengan ceria, sementara Yuna cengengesan karena tidak yakin apakah Sena akan menyukai jengkol.

Suasana berubah khidmat ketika mereka mulai menyantap hidangan pada sore itu. Sena begitu lahap saat pertama kali mencicipi kuliner nusantara, yang tidak pernah di masak ibunya ketika tinggal di New York, karena lidah mereka sudah terbiasa dengan makanan barat.

"Sena, gimana? Kamu suka?" tanya Bu Yusni, mengamati reaksi Sena saat mengunyah makanan.

"Saya sangat suka, Bu," jawab Sena, terkejut bahwa makanan Indonesia begitu nikmat di lidahnya, meskipun tidak begitu menyukai makanan pedas.

"Ini makanan terenak yang pernah masuk ke mulut saya. Kalau Mommy bisa memasak makanan enak ini untuk saya di Amerika, mungkin saya bisa menjadikannya peluang bisnis yang menguntungkan," ujar Sena, yang sudah belajar berbisnis dari almarhum ibunya.

"Suatu saat, kalau saya sudah sukses di sini, saya ingin mengenalkan makanan nusantara di sana." Sena berharap, ia juga ingin mengajak Yuna dan Bu Yusni menjalankan bisnis makanan bersama-sama, karena Bu Yusni sangat pandai membuat masakan yang enak.

"Ya, semoga cita-citamu tercapai, Nak. Yang penting, usaha dulu, karena usaha tak akan mengkhianati hasil," ujar Bu Yusni dengan bijaksana.

...

Di tempat lain, sejak pertemuan mereka, wajah manis Sena selalu menghantui pikiran Hans, mengganggu konsentrasinya saat bekerja.

"Gadis itu, dia sungguh berbeda dengan wanita-wanita yang pernah aku temui. Seperti ada getaran yang sulit dipahami," batin Hans sambil menghela nafas panjang.

Ia bahkan tidak menyadari bahwa semua ini terjadi karena ada ikatan batin antara mereka, yang membuat hati keduanya terhubung secara tidak langsung saat bertemu.

Laura muncul secara tiba-tiba di tengah kesibukan Hans, seperti yang sering terjadi, dia selalu muncul di saat-saat yang tidak tepat, menggoda Hans dengan caranya yang khas.

"Honey," rayu Laura, membuat Hans memutar kedua mata kesal.

"Laura, bisakah kamu ketuk pintu dulu sebelum masuk!" Hans memperingatkan dengan nada tegas, tetapi wanita itu tetap saja tak terpengaruh, terus berusaha menggoda seperti biasanya.

"Sayang, ayo!" Laura membuka blazernya dengan penuh hasrat.

"Maaf, Laura, saya sedang tidak mood untuk bermain!" tolak Hans, membuat Laura kecewa.

"Kalau begitu, aku minta uang untuk perawatan." Laura bergelayut manja kepada Hans tanpa ragu.

"Baiklah, nanti saya akan transfer. Sekarang, bisakah kamu keluar? Saya sedang ingin sendirian!" usir Hans, membuat Laura meninggalkan ruangan dengan wajah yang di tekuk.

...

Malam itu, setelah pulang, Laura pergi ke salon bersama Windi, salah satu temannya.

Senyum sumringah tak henti-hentinya terpancar dari bibir Laura.

"Aku senang banget punya pacar yang tajir, ganteng, pokoknya sempurna," oceh Laura, membuat Windi menanggapi dengan senyum sinis.

"Tapi, apakah kamu yakin dia akan menikahimu?" Windi melemparkan pertanyaan pedas, karena Hans selalu menghindari topik pernikahan. Hans hanya ingin bersenang-senang dengan tubuh Laura tanpa memiliki niat untuk menikahinya, karena Laura jauh dari kriteria yang Hans cari selama ini. Laura memang cantik, pintar, dan memiliki riwayat pendidikan yang baik. Namun keagresifannya membuat Hans ilfeel.

...

Bersambung...

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!