Wajah Hans semakin pucat ketika Sena mencoba melukai dirinya sendiri. Bu Nita dan Pak Jacky memegang lengan Hans, memandunya duduk di sofa. Salah satu maid memberikan air hangat untuk meredakan ketidaknyamanannya.
"Sebaiknya kita panggil dokter," usul Pak Jacky kepada putranya. Hans menggeleng, merasa keadaannya tidak begitu serius, mungkin hanya perlu istirahat sejenak.
Di tempat lain, Vania terkejut saat membuka pintu kamar Sena dan melihat putrinya mencoba melukai diri dengan serpihan kaca cermin.
"Sena!" seru Vania panik, segera menghentikan tindakan nekat gadis tersebut.
"Biarkan aku mati!" isak Sena. Vania tidak akan membiarkan hal itu terjadi, ia memeluk putrinya erat.
"Sayang, tolong, jangan lakukan itu," kata Vania, air matanya ikut mengalir. Dia menggenggam kedua pipi Sena.
"Kamu adalah satu-satunya keluarga yang Mommy punya, kamu adalah belahan jiwa Mommy. Jadi, tolong, jangan pernah melakukan hal bodoh seperti tadi! Apakah kamu tidak sayang pada Mommy?" Vania menatap kedua mata putrinya yang masih berlinang air mata.
"Maafkan aku, Mommy," ucap Sena penuh penyesalan, lalu memeluk ibunya dengan erat. Dia tidak berani mengungkapkan tentang Richie yang telah merenggut kesuciannya, memilih merahasiakan semua itu agar sang ibu tidak marah dan semakin kecewa.
Entah mengapa, Sena merasakan ada yang berbeda dari pelukan sang ibu kali ini. Pelukan Vania begitu hangat, tidak seperti biasanya.
"Sena, Mommy mencintaimu," ucap Vania sambil mencium kening Sena dengan tulus.
"Aku juga sangat mencintaimu, Mommy," balas Sena, enggan melepaskan dekapan ibunya.
"Mommy rela mempertaruhkan nyawa demi kamu, sayang, demi kebahagiaanmu. Mommy rela melakukan itu," ungkap Vania, kata-katanya terdengar janggal di hati Sena.
"Mommy, jangan berkata begitu. Aku juga rela bertaruh nyawa demi Mommy. Aku ingin menjadi anak yang berbakti, merawat Mommy ketika Mommy tua nanti," ucap Sena sambil meneteskan air mata di kemeja Vania, hingga akhirnya ia tertidur dengan tenang dalam dekapan sang ibu, merenungkan semua sesal dan kesalahan atas ketidakpatuhannya pada Vania.
Vania mengusap lembut kepala dan punggung Sena, ia memperlakukan gadis itu seperti seorang bayi. Dia menyanyikan lagu kasih sayang seorang ibu, membuat Sena terhanyut, suara merdu Vania berhasil membawanya ke alam mimpi yang indah.
...
Perbedaan Waktu sungguh terasa di 2 negara yang berbeda...
Sementara itu, Hans merasa semakin bugar seiring dengan kesembuhan Sena. Namun, ia terdiam sejenak, merenungi sesuatu yang aneh terjadi dalam tubuhnya.
"Apa mungkin ini hanya gejala kolesterolku saja?" gumam Hans, meskipun ia tidak terlalu khawatir dengan kondisinya. Ia segera beranjak setelah berpamitan kepada kedua orangtuanya, dan berangkat untuk memulai aktivitas di perusahaan.
Mengendarai mobil sport mewah terbaru, Hans tampak sangat keren, mencitrakan sosok pria high class. Ketika tiba di drop-off area, ia memarkir kendaraannya dan melangkah keluar.
Kehadirannya selalu disambut ramah oleh para staf, termasuk Laura, yang sudah menganggap Hans sebagai kekasihnya meskipun Hans tidak pernah mengiyakan.
"Selamat pagi, Pak Hans," sapa Laura dengan senyum menggoda. Hans melirik ke arah wanita itu sebentar sebelum melanjutkan langkahnya tanpa berkomentar.
Hans kemudian dipandu oleh sang asisten menuju lantai 20, di mana ruangannya berada. Di sepanjang dinding koridor, terdapat desain jam tangan eksklusif yang berharga fantastis.
Sesampainya di ruangan, Hans dengan mantap melangkah masuk. Andi, sang asisten masih berdiri di ambang pintu.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak? Atau ada keperluan lain, barangkali?" tawar Andi. Hans hanya menggelengkan kepala.
"Tidak ada, kalau saya membutuhkanmu, saya akan menghubungimu," jawab Hans tegas. Andi mengangguk paham.
"Kalau begitu, saya pamit," ucap Andi sembari menundukkan kepala. Hans menjawab sambil menyalakan monitor di meja kerjanya.
"Ya, silakan, Andi," jawab Hans dengan ekspresi datar.
Di tengah konsentrasinya, Hans terkejut ketika handle pintu yang baru saja di tutup oleh Andi, tiba-tiba bergerak. Ia mengangkat kepalanya untuk melihat siapa yang datang.
"Pagi, Honey," sapa Laura dengan manja, meskipun Hans tidak meminta kehadirannya, dan diam-diam tangan Laura menutup dan mengunci pintu dengan rapat.
"Apakah ada yang bisa saya bantu, Laura?" tanya Hans menawarkan tanpa terpengaruh oleh godaan wanita itu.
"Saya hanya kangen," jawab Laura sambil melangkah mendekati Hans yang masih duduk tegak di kursi kebesarannya.
Laura dengan berani membuka blazer berwarna putih gading, menampilkan t-shirt hitam di baliknya. Ia memiliki ukuran gunung kembar yang terlihat menantang, dan rambut pirang selaras dengan warna kulitnya yang cerah, karena Laura merupakan wanita yang selalu menjaga penampilan, tentunya ia memiliki paras yang sangat cantik dan menawan, seperti barbie hidup kata orang-orang.
Laura berani mengalungkan kedua tangan ke leher Hans, mendekatkan wajahnya, membuat konsentrasinya hancur seketika. Meskipun lelaki itu sama sekali tidak mencintai Laura, namun godaannya sungguh sulit untuk di tolak.
Kedua mata Hans memicing tajam pada Laura, kemudian membuka jas dan mengendorkan dasinya. Laura langsung merasakan bibirnya dengan penuh keinginan, sambil melepas beberapa anak kancing kemeja putih pria tersebut.
"Kamu sangat agresif, Laura," bisik Hans penuh kilatan hasrat. Laura menanggapi dengan senyuman miring.
"Saya suka bermain dengan Anda, saya ingin mengulanginya lagi, Pak Hans," balas Laura dengan bisikan halus, sambil memperlihatkan sesuatu yang membuat kedua mata lelaki itu melotot tajam ke bagian bawah.
"Aish!" pekik Hans, menggelengkan kepala.
"Jadi, kamu pergi ke kantor tanpa mengenakan itu?" tanya Hans sembari menunjuk sesuatu di balik pakaian bagian bawah wanita tersebut. Laura menjawab dengan seringai.
"Saya membawanya di dalam tas, dan saya berniat agar bisa... Ehm... begitu dengan Bapak di sini," goda Laura tanpa mempertimbangkan situasi.
"Dasar perempuan gila!" batin Hans. Meskipun begitu, kedua jari Hans menyusup ke dalam hutan belantara terlarang itu, memainkan sesuatu yang menjadi spot favorit bagi kaum adam, membuat Laura meringis dan gemetar.
Dengan cepat wanita itu berjongkok, lengannya bergerak bebas mencapai sesuatu yang ia inginkan sedari tadi. Laura merasakan seperti sedang menjilati es krim strawberry kesukaannya. Hans menutup mata, menikmati perlakuan wanita itu, dan tanpa sadar mencengkram rambutnya secara kasar.
"Shhh..." Hans mengerang panjang dan bergetar, merasakan sensasi yang diberikan Laura seakan tanpa ampun.
Setelah merasa puas menikmati es krim strawberry yang membuat sudut bibirnya sedikit belepotan, Laura kemudian bangkit dan merapihkan pakaian serta rambutnya yang sedikit berantakan. Hans masih terengah-engah, mencoba mendapatkan kembali nafasnya.
"Apa-apaan ini, Laura? Nekat sekali kamu!" tanya Hans, masih terkejut dengan apa yang baru saja terjadi.
"Saya hanya memberi sedikit kenangan manis yang takkan pernah terlupakan, Honey," jawab Laura sambil tersenyum puas.
Hans menarik pinggang ramping Laura, kembali menautkan bibirnya yang sudah mencicipi es krim tersebut untuk merasakan adonan es krim miliknya sendiri yang lumer di sudut bibir Laura. Kemudian ia membimbingnya untuk naik ke atas meja.
Dengan cepat, Laura mengalungkan kedua tangannya ke leher Hans dari atas dalam posisi duduk saling berhadapan. Pagi itu, mereka merangkul kenikmatan luar biasa di dalam kantor.
...****************...
Keesokan harinya di tempat yang berbeda...
Vania dengan penuh perhatian menyiapkan sarapan untuk putrinya sebelum berangkat ke kantor.
"Sayang, ayo kita sarapan!" ajak Vania dengan semangat, suaranya sedikit berteriak agar Sena mendengar. Gadis itu pun segera menghampirinya.
Vania telah menyiapkan sandwich dan susu untuk Sena. "Terima kasih, Mom, you are my everything for me," ucap Sena sambil mengecup pipi Vania.
"Thank you, my daughter, I love you very much!" Vania juga mengecup singkat bibir Sena sebagai bentuk kasih sayang.
"Ayo, segera sarapan," ajak Vania sambil menarik kursi untuk Sena. Mereka terlihat sangat ceria, saling melempar candaan satu sama lain, kali ini sangat berbeda dari biasanya.
Setelah menikmati sarapan, Vania berpamitan untuk pergi ke kantor. "Sena, jadilah anak yang baik dan jangan pergi kemanapun tanpa izin Mommy!"
Saat Sena mengangguk, ia berjanji akan mematuhi ucapan sang ibu. "Yes, Mommy," jawab Sena, meskipun dalam hatinya masih terbayang saat-saat Richie merenggut kesuciannya. Meskipun begitu, Sena berusaha keras untuk terlihat baik-baik saja di hadapan ibunya.
Meski ditekan oleh larangan ibunya, di dalam hati Sena tetap teguh pada impian untuk mencari keberadaan sang ayah, meskipun ia tahu itu sangatlah mustahil.
"Bagaimana mungkin aku bisa ke Indonesia? Sedangkan Mommy melarangku kesana," gumam Sena sambil menekuk wajah, merasa frustasi dengan larangan yang menghambat mimpinya.
...
Sementara itu, dalam perjalanan menuju kantor, Vania menerima telepon dari Robert secara mendadak yang meminta wanita tersebut untuk bertemu di tempat lain. Mobilnya segera berbelok karena Vania merasa itu sangat penting.
"Kenapa harus di tempat lain? Mengapa tidak bisa bertemu di kantor saja?" tanya Vania heran atas permintaan Robert yang dirasanya sangat janggal. Meski begitu, Robert terus mendesaknya.
"Kita akan bertemu dengan Tuan Daniel dari Florida," jawab Robert, mencoba mengecoh Vania. Dia tahu bahwa pertemuan dengan Daniel, seorang klien yang sudah mereka tunggu-tunggu selama sebulan lebih, adalah sesuatu yang sangat penting untuk keberlangsungan kerja sama dalam bisnis mereka.
"Baiklah, kalau begitu," kata Vania, lalu mematikan teleponnya. Namun, di balik itu semua, Robert tersenyum sinis mulai dengan rencana jahatnya untuk melenyapkan Vania.
"Kau akan masuk ke dalam jebakanku!"
...
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments