I Miss U Daddy

Saat Sena menangis kencang, Vania merasa terjebak di antara jadwal meeting penting dengan seorang klien.

"Apa yang harus aku lakukan?" ia tampak sangat bingung, sementara panik mulai merayapi pikirannya. Meskipun begitu, ia tak ingin membiarkan putrinya merasa tidak nyaman, lalu memangku Sena dengan cepat untuk memberikan ASI, meski sang asisten sudah berteriak memanggil di ruangan pribadi Vania.

"Nyonya Vania, kita sudah ditunggu oleh Tuan Robert di ruang meeting, segeralah!" tegas Debora, asisten pribadi Vania.

"Baiklah, saya minta waktu untuk menyusui bayi saya, nanti saya akan menyusul," jawab wanita tersebut kepada sang asisten.

Setelah memberi ASI pada Sena, saat hendak meletakkannya kembali di box bayi, Sena terus menangis. Vania mencoba menenangkan kembali dengan memeluk tubuh mungil itu dan mengucapkan kata-kata lembut, tetapi tangisnya tak kunjung reda.

"Cup-cup-cup, Sayang Mommy disini," ucap Vania sambil menimang tubuh mungil Sena.

Vania merasa terjebak dalam situasi yang sulit dan akhirnya memutuskan untuk membawa Sena ke ruang meeting. Saat berjalan di koridor, semua staf tersenyum, namun perhatian mereka langsung tertuju pada Sena.

Ketika sampai di ambang pintu, semua mata terpaku pada Vania yang membawa bayinya. "Maaf atas kendala ini," ucap wanita tersebut dengan nada hormat di hadapan klien dan audiens.

Para hadirin saling bertatapan, namun bukannya mendapat sindiran, Vania justru mendapat pujian karena dianggap sebagai super Mom yang mampu mengatasi segala situasi dengan baik, termasuk merawat putrinya yang masih bayi, bahkan ia di banjiri tepuk tangan, membuatnya merasa amat di hormati.

"Bayi Anda sangat cantik, Nyonya Vania," puji Robert kagum dengan kemampuan Vania dalam menangani bayinya.

"Terima kasih," balas Vania dengan senyum. Meski harus membawa Sena, meeting berjalan lancar dan sukses.

Bayi mungil itu terlihat nyaman di gendongan sang bunda, senyumnya tak pernah lepas ketika Vania tengah memberikan presentasi di depan para hadirin, memperkenalkan produk perhiasan terbaru. Sesekali, suara lucu dan menggemaskan keluar dari mulut Sena, tertangkap oleh mikrofon dan mengundang tawa dari para pendengar.

"Sepertinya bayi Anda juga ingin ikut presentasi, Nyonya Vania. Dia calon pebisnis handal di masa depan!" ujar Nichole, diikuti tawa dari yang lainnya.

Vania tak henti-hentinya tersenyum, merasa gemas pada tingkah laku putrinya yang begitu menghibur dan mengesankan.

Setelah presentasi selesai, Vania mengucapkan rasa terimakasihnya kepada para hadirin dan menyelesaikan pertemuan dengan sukses. Kemudian, ia kembali fokus pada Sena yang kini tertidur pulas di gendongannya.

"Selamat ya, Nyonya Vania. Sena benar-benar anak yang luar biasa," ujar Robert dengan tulus.

"Terima kasih, Tuan Robert. Saya sangat bersyukur memilikinya," jawab Vania sambil tersenyum bangga.

Setelah itu, Vania pulang ke unit apartemennya dengan perasaan ceria dan bahagia. Ia merasa lega bisa mengatasi semua tantangan sebagai seorang ibu tunggal yang juga memiliki karir sukses. Bagi Vania, Sena adalah anugerah terbesarnya, dan ia akan selalu berusaha menjadi ibu terbaik bagi putri satu-satunya itu.

Sehabis menyusui Sena, ia membaringkan tubuh sang bayi disisinya sembari mengelus, dan mengucapkan kata-kata penuh makna. Meski Sena belum mengerti apa-apa, tetapi Vania mengajaknya berbicara layaknya orang dewasa.

"Ketahuilah, Nak. Dunia ini sangat kejam, terlebih mahkluk yang bernama 'laki-laki' Mommy ingin, jika kamu dewasa, kamu menjadi wanita yang tangguh dan mandiri seperti Mommy. Jangan mau harga dirimu di injak oleh kaum pria! Kamu harus tunjukan kalau kamu adalah wanita hebat." Vania yang masih terluka dan kecewa karena hubungan asmaranya di masalalu, ia meluapkan semua emosinya dengan cara curhat kepada Sena.

Bayi itu mengerjapkan kedua matanya sesaat, melirik wajah sang bunda, kemudian berceloteh dengan bahasa yang sulit di pahami oleh orang dewasa.

Vania tersenyum hangat sambil meraih kotak musik kecil yang menjadi favorit Sena. Saat kotak itu terbuka, suara melodi lembut mengalun, memenuhi ruangan dengan kehangatan.

Kedua tangan mungil Sena terangkat ke udara dengan gerakan-gerakan menggemaskan, sampai akhirnya bayi mungil itu kembali tertidur.

...

Beberapa tahun kemudian...

Kini sudah Sena berusia lima tahun, ia tumbuh menjadi gadis yang cantik dan pintar, menikmati hari-harinya di Taman Kanak-Kanak.

Wajahnya selalu dihiasi keceriaan, penuh dengan kebahagiaan yang melimpah dari kasih sayang Vania, sebagai Ibu sekaligus ayah baginya. Namun, terkadang, Sena terlihat murung dan sedih, terutama ketika ia duduk sendiri dan terdiam. Saat itulah, ia sering kali menanyakan tentang ayahnya kepada Vania.

Sorot matanya penuh dengan penasaran dan rasa ingin tahu yang tidak terucapkan, mungkin mencari jawaban yang belum pernah diberikan.

"Mommy, aku ingin bertemu Daddy, dimana dia berada, Mom?" tanya Sena dengan kepolosannya.

Vania saat itu tengah memasak makan siang, ia terdiam sejenak, menghirup nafas kasar sebelum memberikan jawaban.

"Sayang, dia sudah lama meninggal, sebaiknya berhenti menanyakannya!" Vania terbawa emosi, membuat kedua mata gadis kecil itu berembun, padahal ia hanya sekedar ingin tahu.

"Bisakah aku melihat wajah Daddy?" pintanya yang seakan tak pantang menyerah, Vania menggeleng tegas.

"No, No, No!" ia menggerak-gerakan jari telunjuknya di depan Sena, gadis itu mengeluarkan air mata yang cukup deras.

"Kenapa?" rintihnya sembari menarik-ekor baju Vania. "Mommy tolong beri tahu aku, please!"

Vania sudah habis batas kesabarannya, ia sampai detik ini enggan memberi tahu putrinya perihal ayah biologisnya.

"Sayang, Daddy mu tidak ada di Negara ini! Jadi tolong, berhenti untuk menanyakannya lagi!" bentak Vania.

"Oh, aku tahu, Itu artinya Daddy masih hidup, dan dia berada di Indonesia? Benar begitu, Mom?" celetuk Sena, membuat kedua mata Vania melebar tajam, padahal ia tak pernah mengatakan perihal keberadaan Hans di Indonesia, bahkan tak ingin sampai putrinya mengunjungi tanah air, meski Sena selalu di ajarkan berbicara bahasa Indonesia sekalipun jika berkomunikasi berdua. Ia ingin Sena lahir dan tumbuh dewasa di Amerika Serikat.

Vania yang sudah semakin marah, ia memilih untuk bungkam, tak ingin menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang di layangkan oleh putrinya.

"Mommy, aku ingin bertemu Daddy di Indonesia," pinta Sena penuh permohonan.

"Sena, stop! Mommy bilang stop untuk menanyakan Daddy, Daddy, Daddy! Dia sudah tidak ada di muka bumi ini, mengerti!" semprot Vania, sembari menyajikan makan siang di atas meja makan kepada putri kecilnya tersebut.

"Ayo, sekarang kamu makan!" titahnya, lalu melirik waktu di pergelangan tangan.

"Satu jam lagi, Mommy akan kembali ke kantor, jadi, Mommy harap kamu menghabiskan makan siangmu dengan segera, ingat! Jangan bikin Mommy marah!" ia memperingatkan Sena dengan wajah serius, gadis itu hanya bergeming tanpa menyentuh makan siangnya.

"Sena, hei, kamu dengar Mommy berbicara?" Vania mendekatkan wajahnya dengan gadis kecil itu, tampak Sena kini murung seakan kehilangan selera makan karena bentakan sang ibu.

"Aku tidak mau makan!" ia mendorong piring di hadapannya.

"Sena!" sentak Vania, gadis itu beranjak dari kursi meja makan, dan berlari kecil ke dalam kamarnya, ia mengunci diri disana.

Vania segera menyusul Sena, meski ia marah, tetapi tak ingin sampai terjadi sesuatu terhadapnya.

"Sena, Mommy minta maaf," teriak Vania menggedor kamar putri kecilnya itu, tetapi tak ada jawaban, yang ia dengar hanyalah rintihan Sena tengah memanggil-manggil nama 'Daddy'

"Daddy, I Miss You so..." kata Sena, yang teramat ingin bertemu sang Ayah meski ia belum pernah melihat wajahnya sekalipun. Hal itu membuat Vania frustasi, karena ia tidak mungkin memberi tahu Sena tentang Hans, ia berjanji akan terus merahasiakan semua tentang Hans sampai kapanpun, ia bersumpah dalam hatinya.

Vania terus berusaha membujuk Sena untuk membuka pintu, tetapi gadis kecil itu tetap kukuh dalam keputusannya. Setelah beberapa saat, Vania akhirnya berhasil membuka pintu kamar Sena dengan kunci cadangan yang ia simpan.

"Sena, sayang, I'm Sorry. Mommy tahu kamu ingin tahu tentang Daddy," ucap Vania sambil memeluk Sena yang masih menangis di atas tempat tidurnya.

"Mengapa Mommy tak mau memberitahuku tentang Daddy? Apakah Daddy sudah tidak mencintai kita lagi?" tanya Sena dengan mata berkaca-kaca.

"Daddy mu sudah tiada, dan Mommy sama sekali tak menyimpan fotonya untuk di perlihatkan kepadamu," terang Vania yang berupaya membohongi putrinya agar berhenti menanyakan Hans.

"Tapi aku bermimpi, aku bertemu Daddy, dia masih hidup, muda dan juga sangat tampan." Sena memberi ucapan menohok seputar mimpinya, membuat Vania tak mampu berkilah.

"Sayang, itu hanya mimpi, sebaiknya kita kembali ke meja makan sebelum makananmu dingin, come on!" ajaknya menuntun lengan Sena.

Meski Vania berupaya berbohong, tetapi hati kecil Sena dapat merasakan jika sang ayah masih hidup, mungkin akan terjawab di masa depan ketika ia tumbuh dewasa.

...

Bersambung...

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!