Vania memutuskan untuk tinggal di Amerika setelah mengetahui bahwa dia tengah mengandung, untuk menghindari cemoohan dan gosip yang mungkin terjadi. Sementara itu, Hans tersenyum bahagia saat menerima pembayaran dari Vania, yang tentu saja nominalnya tidak sedikit.
Pada sore itu, Vania mempersiapkan keberangkatannya menggunakan jet pribadi. Dia hidup sebatang kara setelah kematian kedua orangtuanya meninggalkan kekayaan yang melimpah. Hal ini membuatnya sulit menemukan pria yang tulus, karena kebanyakan pria datang hanya untuk memanfaatkan kekayaannya, yang akhirnya berujung pada pengkhianatan. Oleh karena itu, ia merasa bahwa memiliki anak melalui proses bayi tabung adalah cara terbaik baginya untuk mendapatkan keturunan tanpa harus terlibat dalam perasaan dan hubungan yang rumit.
Vania menatap dirinya di depan cermin, merasa begitu anggun dan memesona.
Setelah memasukkan pakaiannya ke dalam koper, Vania segera bersiap-siap untuk berangkat.
Di saat yang bersamaan, Heru beberapa kali mencoba menghubunginya setelah mengetahui rencana Vania untuk pergi ke Amerika, wanita itu tidak menyadari bahwa Heru sebenarnya adalah lelaki yang tulus dan telah mendambakan dirinya sejak mereka duduk di bangku SMA. Bagi Vania, Heru hanyalah seorang sahabat dan tidak lebih dari itu.
Meskipun Vania tidak merasakan hal yang sama terhadap Heru, lelaki itu tidak pernah menyerah dan terus menerus menelponnya. Secara terpaksa, Vania akhirnya menjawab telepon dari Heru dengan sedikit kekesalan.
"Astaga! Untuk apa dia meneleponku lagi?" batin Vania sambil menggeser layar ponselnya untuk menjawab panggilan dari Heru.
"Van, aku mohon, tetaplah tinggal di sini. Aku tidak ingin kehilanganmu, aku sangat mencintaimu, Vania," ungkap Heru dengan tulus di seberang telepon, namun kata-katanya tidak mampu membangkitkan perasaan yang sama dari Vania.
"Hanya itu? Aku pikir penting menjawab telpon darimu! Sudahlah, jangan menggangguku lagi. Aku tidak butuh cinta darimu, Heru! Makan tuh cinta!" umpat Vania dengan nada kesal sebelum mematikan obrolan sepihak dengan Heru. Kemudian, Vania segera meninggalkan Mansion mewahnya, karena sopir yang akan mengantarkan ke bandara internasional Jakarta sudah menunggu dengan sabar.
Vania melangkah dengan gerakan yang anggun, mencerminkan sosok wanita berkelas yang telah mencapai karir cemerlang. Sebagai seorang CEO di perusahaan perhiasan ternama yang didirikan di Amerika Serikat, Vania memutuskan untuk fokus pada karirnya daripada harus sibuk memikirkan cinta yang hanya akan membawanya masuk ke dalam jurang nestapa. Meskipun di lubuk hatinya ia juga memendam rasa yang sama terhadap Heru, namun ia harus menjaga hati dan harga dirinya dari kemungkinan buruk yang mungkin terjadi.
"Maafkan aku, Heru. Tak seharusnya aku bersikap kasar padamu," batin Vania ketika berada di dalam mobil. Kendaraan itu melaju meninggalkan kenangan manis yang mungkin sulit untuk terlupakan.
Sampai akhirnya ia tiba di bandara internasional Jakarta, dan menjalani serangkaian proses pemeriksaan bagasi dan imigrasi. Meskipun menggunakan jet pribadi, Vania tetap mematuhi prosedur di bandara.
Setelah melewati semuanya, langkahnya tetap anggun sambil mendorong koper menuju landasan pesawat. Ia tersenyum melihat pesawatnya terparkir dengan gagah di sana.
Langkah Vania menapaki anak tangga pesawat satu per satu menuju kabin mewah tersebut. Ia disambut oleh beberapa pramugari yang siap memenuhi semua kebutuhannya selama perjalanan.
Singkat cerita, pesawat mendarat dengan sempurna di Bandara Internasional John F. Kennedy di New York City, Amerika Serikat.
Vania tinggal di sebuah unit apartemen mewah di New York City, memenuhi semua kebutuhannya seorang diri. Ia sangat bangga menjadi wanita yang pintar dan mandiri, tidak perlu meminta bantuan kepada laki-laki.
Kini, Vania harus menjalani hari-harinya dalam keadaan hamil sambil tetap menggeluti profesinya. Meskipun begitu, ia tidak pernah melupakan pentingnya memberikan nutrisi bagi calon buah hati yang sedang tumbuh dan berkembang di rahimnya.
Beberapa bulan berlalu, perut Vania semakin bertambah besar. Meskipun ia sudah melupakan Hans, pemuda yang telah memberikan bibitnya, kepada Vania, ia dan Hans hanyalah dua orang asing yang tak memiliki urusan satu sama lain setelah proses bayi tabung selesai.
...****************...
Beberapa bulan kemudian...
Hingga suatu saat, Vania merasakan keram yang luar biasa di perutnya. Merasakan tanda-tanda bahwa persalinan akan segera terjadi, ia dengan langkah tergopoh-gopoh menggunakan lift menuju basement untuk mengendarai mobilnya.
"Apa kau butuh bantuanku?" tawar Johnson dengan bahasa lokal yang sopan. Vania menggeleng cepat, tetap mempertahankan image keangkuhannya pada pria manapun.
"Maaf! Aku bisa melakukannya seorang diri!" jawabnya, sementara ketuban sudah mulai pecah membasahi kakinya. Meskipun beberapa orang menawarkan bantuan, Vania tetap bersikeras merasa bisa melakukan segalanya sendiri. Namun, ia semakin tak berdaya dan akhirnya pingsan. Johnson segera menanganinya, membawa Vania ke sebuah rumah sakit agar mendapatkan pertolongan medis untuk proses persalinannya.
Setelah beberapa jam berjuang, Vania akhirnya bisa merasakan lega yang mendalam saat mendengar suara tangisan bayi. Ia merasa sangat bersyukur karena melahirkan secara normal tanpa kendala.
"Selamat, bayi Anda perempuan, sehat dan cantik," ujar Dokter Scott, yang telah membantunya melahirkan.
"Terima kasih," ucap Vania dengan suara yang penuh haru atas kelahiran putri kecilnya.
Beberapa tim medis bergerak dengan cekatan untuk membersihkan bayi yang baru dilahirkan oleh Vania. Setelah semuanya selesai, Dokter Scott memberikan bayi itu ke pangkuan ibunya untuk diberi ASI eksklusif.
Vania tidak henti-hentinya mencium bayinya.
"Mommy sangat bahagia dengan kehadiranmu, sayang," ungkap Vania dengan tulus kepada bayi perempuannya.
Bayi itu merenggangkan bibirnya kepada sang bunda.
"Mommy akan memberikan kamu nama Sena Adelia, nama yang cantik, bukan? Persis seperti wajahmu, Nak," ucap Vania sambil mengecup kepala Sena penuh kasih sayang.
Setelah melewati perawatan selama beberapa waktu, Vania memutuskan untuk kembali ke unit apartemennya untuk merawat bayinya di sana. Ia selalu memberikan perhatian dan kasih sayang agar Sena berkembang sehat setiap detiknya.
Semua ini seperti anugerah terbesar bagi Vania, bisa memiliki seorang putri tanpa harus menikah dan bersuami. Ia sangat menikmati momen berharga sebagai seorang ibu sekaligus ayah bagi Sena.
Meskipun wajah Sena sangat mirip dengan Hans, Vania sudah melupakan pemuda tersebut dan tidak ingin mengingatnya lagi sampai kapanpun.
Suatu ketika, Heru menghubunginya kembali. Heru sudah tahu bahwa Vania telah memiliki seorang putri setelah melihatnya di media sosial. Lelaki itu juga mengetahui bahwa bayi tersebut merupakan hasil dari program bayi tabung yang pernah Vania jalani beberapa bulan lalu. Ia sangat menyayangkan tindakan Vania karena akan sangat berisiko di masa depan.
"Bayimu cantik ya," puji Heru melalui panggilan telepon. Meskipun di lubuk hatinya, Vania juga sangat merindukan Heru, namun semua tertutupi oleh egonya.
"Ya, terima kasih, Her," jawab Vania datar.
"Vania, sebaiknya kamu memberi tahu Sena ketika ia sudah besar mengenai siapa ayahnya, untuk kebaikannya juga," kata Heru menasihati dengan bijak.
"Untuk apa, hah? Apakah itu penting? Aku tidak mau memberitahu putriku tentang Ayahnya yang masih bocah ingusan itu!" cela Vania, yang enggan mendengar nasihat Heru.
"Kalau dipikir-pikir lucu juga! Mungkin Sena dan ayahnya seperti kakak beradik," lanjut Vania, yang membayangkan usia Hans dan Sena yang tidak terlalu jauh hanya berbeda 16 tahun.
Heru tak pernah berhenti menasihati Vania meski wanita itu tetap keras kepala.
"Ah, sudahlah, aku muak berbicara denganmu!" Vania mematikan obrolan sepihak, fokusnya tetap pada Sena yang tengah menangis dalam gendongannya.
"Uh, sayang, ini Mommy," kata Vania mencoba menghibur bayinya.
"Sayang, Mommy sangat bahagia memilikimu. Dengan hadirnya kamu dalam hidup Mommy, kini Mommy tidak kesepian lagi," celoteh Vania kepada bayinya yang belum mengerti apa-apa.
Ia membelai-belai wajah Sena yang begitu cantik, lucu, serta menggemaskan. Kelak jika Sena sudah dewasa, mungkin akan menjadi incaran banyak pria, pikir Vania. Dan ia juga ingin menjadikan Sena sebagai wanita tangguh yang tak bisa diinjak-injak oleh pria.
...
Waktu demi waktu berlalu...
Vania tak pernah lelah dalam mengurusi Sena, ia sangat bahagia menjalani hari-harinya. Membawa Sena jalan-jalan, berbelanja, sampai membawanya ke kantor.
Meski hal itu sedikit membuatnya repot, namun Vania menikmati semuanya. Di tengah jam sibuk, ia harus bangkit dari kursi kebesarannya ketika mendengar Sena menangis.
Di kantor, Vania menyiapkan kamar khusus untuk bayinya. Terdengar konyol dan nyeleneh, tetapi itulah yang Vania rasakan.
Hidup di Amerika begitu bebas, ia tak mendapat kritikan dari masyarakat perihal jalannya, dan mungkin akan kembali ke tanah air jika merasa semuanya cukup kondusif.
***
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments