*Good bye Indonesia
Kembali dimana saat ini Findya akan melakukan perjalanan panjang bersama dua orang rekannya yang baru saja mereka saling berjabat tangan seraya menyebutkan nama.
"Lifia"
"Ovi"
Keduanya tersenyum lebar menatap Findya, Lifia menempelkan telapak tangan di pundak Findya seraya berkata untuk menguatkan Findya yang tengah berduka kala itu.
"Kami turut berduka cita ya, aku baru mendengar kabar ini kemaren dari mas Andre" ungkapan itu langsung di sambut anggukan kepala oleh Findya.
Lifia dan Ovi adalah dua orang sejawatnya yang baru saja bertatap muka dengan Findya hari ini, sebelumnya mereka memang sudah saling mengenal nama masing-masing melalui komunikasi dengan mas Andre yakni seseorang yang bertanggung jawab penuh atas keberangkatan dan penempatan mereka di Saudi Arabia nantinya, namun karena kabar duka yang menyita waktu Findya, hingga akhirnya mereka tak punya waktu untuk saling bertemu.
*****
Findya mengedipkan mata cukup lama saat terngiang lagi pesan ibunya tadi siang "Setelah kontrak kerja kamu selesai, segera lah pulang ke Indonesia, tunaikan amanah bapak kamu nak"
Terlihat dari raut wajah dan sorotan matanya seolah hari-hari Findya begitu berat untuk ia lewati, tak lama kemudian terdengar suara pramugari yang hendak memberikan aba-aba sesaat sebelum take off.
"Para penumpang yang terhormat, selamat datang di penerbangan Emirate EK 021 dengan tujuan Saudi Arabia Penerbangan ke Saudi Arabia akan kita tempuh dalam waktu kurang lebih 9 jam dan 35 menit...."
Findya kemudian mengatur posisi duduk, lalu mengenakan seat bel, setelah siap, pandangannya kembali beralih ke sisi jendela, seraya menatap cahaya lampu yang berjejeran rapih menyinari area landasan pacu.
Perempuan yang bernama lengkap Findya Hannah Azzurah itu merupakan seorang perempuan berusia 23 tahun yang saat ini berprofesi sebagai Perawat, ia terlahir dari pasangan suami isteri dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah, ia tumbuh dan besar bersama tiga saudaranya yang lain di sebuah desa kecil, terpencil dan tertinggal.
Dua orang kakaknya kini berprofesi sebagai guru SMA di desanya dan sudah berstatus sebagai pegawai negeri sipil, sementara adik bungsunya saat ini tengah getir-getirnya menyiapkan berbagai berkas untuk melakukan pendaftaran militer.
Satu minggu yang lalu, sebelum Findya memutuskan untuk berangkat ke luar negeri, keluarga kecil ini pernah merundingkan masalah biaya pendaftaran militer si adik bungsu, yang jelas saja itu tidaklah sedikit, sebenarnya jika mengandalkan credit dari 2 orang kakaknya yang sudah berstatus sebagai pegawai negeri sipil tentunya bisa lebih dari cukup untuk menutupi semuanya, tapi lagi-lagi untuk menghindari riba sang ibu tidak menyetujui hal itu tak terkecuali dengan Findya, kini tatapan mata dua orang kakaknya itu mulai menyorot tajam pada Findya seolah satu-satunya solusi ada di tangan Findya.
Jelas saja saat ini Findya di landa kebimbangan berat untuk menentukan pilihan, di satu sisi ia berhasil mendapatkan beasiswa S2 di salah satu Universitas terbaik di Amerika Serikat, diwaktu yang bersamaan iya juga lulus kontrak kerja selama 2 tahun di Negeri petro dollar, dengan gaji yang cukup fantastis, berdasarkan surat kontrak yang sampai saat ini belum juga ia tanda tangani, tertera gaji yang akan ia peroleh perbulannya itu sebnyak 8.500 SAR atau setara dengan 31 juta 875 ribu rupiah.
"Houuft..." Findya seketika menghela nafas, tanpa mengeluarkan opininya, berat bagi Findya untuk melepaskan beasiswa S2 yang selama ini sudah menjadi bagian dari setengah mimpinya.
"Gimana?" tanya Debi kakak pertamanya, dengan tatapan yang terus menagih keputusan Findya.
"Selama apapun kamu mengulur, pada akhirnya kamu akan tetap memilih satu dari keduanya" tambah Hiva kakak keduanya.
"Ayah baru saja meninggal, fikiranku belum siap untuk memutuskan apa-apa" Findya yang masih menggenggam tissu kini berjalan menuju kamar seraya terus menyeka air matanya.
Hingga beberapa hari berlalu akhirnya Findya menebalkan tekadnya untuk membubuhi tanda tangan di atas materai yang bertuliskan huruf arab, sebagai tanda ia menerima kontrak kerja tersebut lalu merelakan beasiswa S2nya terbengkalai atau mungkin saja akan dipinang oleh orang lain, ke tiga kaka beradik itu sepakat untuk mulai menabung sedikit demi sedikit keuangan mereka untuk memenuhi biaya militer Denis.
Di desanya, keluarga pak Abdul Hamid yakni mendiang ayahnya, sangat di kenal oleh warga karena kegigihannya dalam bekerja, pun tak berbeda jauh dengan bu Royati, meski pasangan suami isteri ini mengais uang dengan pekerjaan hanya sebagai tani namun siapa sangka pemilik gubuk itu mampu menyekolahan ke tiga anaknya sampai lulus sarjana, hal itu berbanding lurus dengan kecerdasan intelektual anak-anaknya, di lemari mini yang ada diruang tamu terlihat jelas 3 lembar piagam penghargaan yang bertuliskan lulusan Cumlaude, hal itu tentu saja dipertuan oleh Debi, Hiva dan Findya.
Menjadi Debi dan Hiva cukup membanggakan bagi warga desa, karena dari 35 orang peserta CPNS yang terdaftar dari desanya hanya mereka berdua yang berhasil lulus menjadi pegawai negeri sipil, bagi masyarakat kampung menjadi PNS adalah impian terbaik untuk para orang tua terhadap anak-anaknya.
Sebagian mulut warga desa juga tengah ramai memperbincangkan Findya, satu-satunya anak perempuan dari desa itu yang sebelumnya berhasil mendapatkan beasiswa di Universitas Indonesia, dan kali ini, lagi-lagi ia mendapatkan beasiswa S2 jalur internasional di AS, namun banyak yang menyayangkan kesempatan itu tak diambil oleh Findya, ia lebih memilih mengais riyal di negeri minyak meski kejujuran seakan berkata sedikit tak rela Findya memotong rantai beasiswa S2nya itu.
*****
Ia mengamati sebuah jam tangan kecil yang melingkar di pergelangan tangan yang kini tengah menunjukkan pukul 24.45 WIB, perlahan-lahan pesawat mulai mengayunkan badannya hingga mencapai titik ketinggian yang sudah di tentukan, saat pesawat mulai berayun stabil, kini tatapan Findya masih saja menyoroti bayangan gelap yang ada dibalik jendela, berharap ia akan melihat awan namun sayangnya itu adalah angan yang tak mungkin.
"Find? mau makan apa?" Tiba-tiba Ovi mengejutkannya dari samping.
"Hah?" Dengan cepat Findya beralih ke arah Ovi yang duduk di kursi tengah, ia lalu menatap Ovi dengan tatapan bingung.
"Tuh, ditanyain ama pramugaranya" bisiknya, Findya kemudian mendongak ke arah pria yang berwajah khas timur tengah itu, belum sempat ia berbicara, tiba-tiba tatapan Findya tersorot pada papan nama pramugara tersebut yang bertuliskan "Muhammed Fariq"
Tiba-tiba ia mulai teringat lagi pesan mendiang ayahnya, yakni sebuah permintaan yang sulit untuk diiyakan oleh Findya, dua hari sebelum ayahnya meninggal dunia, Findya di mintai langsung oleh sang ayah untuk menikah dengan Fariq, namun Findya tidak langsung mengiyakan permintaan itu, karena menurutnya ia dan Fariq tidak terbilang dekat, bahkan mereka cukup asing satu sama lain, terakhir kali mereka berpapasan sekitar 7 tahun yang lalu itupun mereka tak saling sapa, karena ia tau sejak dulu Fariq memang tidak suka dengannya apatah lagi punya niat sampai berumah tangga, oh tidak Findya bukanlah tipe wanita idaman seorang Fariq.
Sedikit biografi tentang Fariq, ia merupakan teman kecil Findya yang tak pernah akur tentunya, yang sekarang sudah menjadi seorang prajurit TNI dengan pangkat Perwira pertama, merupakan anak dari seorang pensiunan jendral polisi, sejak dulu ayahnya memang sangat menyukai Findya, bahkan sempat terlontar kalimat candaan "Menantuku" dari mulut sang jendral yang ia tujukan untuk Findya, namun Findya tidak pernah menanggapinya dengan serius, karena bukan cuman kali ini ia mendapat kalimat candaan seperti itu, bahkan hampir semua orang tua di desanya yang memiliki anak laki-laki pernah melontarkan kalimat candaan seperti itu untuknya.
Siapa sangka sang jendral itu diam-diam menemui ayahnya lalu mendiskusikan masalah tersebut, diluar kehendak Findya dan Fariq, ke dua orang tua inipun saling menyetujui rencananya untuk menjodohkan putra-putri mereka, bagi pak Hamid sang jendral merupakan orang yang paling baik yang pernah ia temui, ia tak pernah memilih kasta untuk bergaul bahkan dengan orang sekecil dia sang jenderal mau duduk melipat kaki di gubuk kecilnya itu, mau ngeteh bareng di cangkir plastik dan mau mengicip pisang goreng yang di masak menggunakan kayu bakar.
Bahkan jauh sebelum itu sang jendral pernah menyelesaikan kasus sengketa lahan perkebunannya yang sempat di dambil alih oleh orang yang tak bertanggung jawab, tanpa bayaran sepeserpun yang ia berikan pada jendral bukannya tak mau ngasih tapi memang kondisi ekonomi mereka sesulit itu, jadi menurutnya sangat keterlaluan jika ia sampai menolak permintaan sang jendral yang tiada bandingnya ini atas apa yang sudah ia lakukan untuk keluarganya.
"Find?" Ovi kembali membuatnya terkejut.
"Iya...aahm..aku..." tiba-tiba pramugara itu mengernyitkan kening seolah bingung dengan tingkah Findya.
"Aku samain aja dengan mereka" tutur Findya dalam bahasa inggris, setelah menulis peasanan pramugara itu pun segera berlalu.
Findya kembali menatap sisi jendela dengan segudang ingatan yang cukup gado-gado seolah ikut terbang menemaninya malam ini, tatapan sayu dari mata kecil yang cukup sembab itu, menunjukan betapa sulitnya Findya harus meninggalkan Indonesia dengan suasana rumah yanv masih berselimut duka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
Itoh Masitoh
ceritanya menarik kak.
2024-03-21
0