BAB 18

Sherinda merasa tidak nyaman dengan pelukan suaminya yang sedikit memaksa.

Perlahan, ia berusaha melepaskan diri dari genggaman tangan Zein yang mengelilingi pinggangnya. Setelah beberapa upaya, akhirnya Sherinda berhasil terlepas dari pelukan Zein.

Zein terlihat mabuk berat, dan alkohol sudah merasuki tubuhnya. Sherinda merasa kasihan melihat kondisi suaminya, namun di saat yang sama ia juga merasa jengkel.

Dengan hati-hati, Sherinda melepas sepatu Zein yang di pakai, satu per satu. Ia melakukannya secara perlahan dan penuh perhatian, meskipun sebenarnya ia ingin mengekspresikan kekesalannya. Setelah itu, Sherinda mulai membuka kancing kemeja Zein dengan gerakan jemarinya yang lincah.

Saat kemeja itu terbuka, bau alkohol yang menyengat langsung menyeruak masuk ke hidung Sherinda. Bau itu begitu menyengat hingga membuat matanya terasa perih. Namun, ia tetap berusaha menahan amarahnya dan melanjutkan pekerjaannya untuk membantu suaminya.

Zein masih terlelap dengan nyenyak, pria itu tidak merasa terganggu oleh aktifitas yang di lakukan Sherinda.

Sherinda menutupi tubuh suaminya dengan selimut tebal. Rasa syukur terpancar dari wajahnya saat melihat wajah Zein yang tampak tenang dalam tidurnya. Perlahan, Sherinda keluar dari kamar Zein, menutup pintu dengan hati-hati agar tak mengganggu istirahat suaminya.

Dengan langkah cepat, Sherinda bergegas menuju ke dapur, aroma yang menggoda tercium begitu ia membuka pintu dapur.

Ia menemukan Bibi Yuan sedang sibuk mengaduk panci di atas kompor. "Bibi masak apa?" tanya Sherinda ramah sambil tersenyum.

Bibi Yuan menoleh, lalu menjawab, "Masak sup nona,"

Sherinda mengangguk, matanya melihat kerutan di dahi Bibi Yuan, Sherinda merasa ingin membantu. "Panggil Sherin saja, Bi. Sini biar aku yang masak sup nya, Bibi mengerjakan yang lain saja," ucap Sherinda sambil mengambil sendok kayu dari tangan Bibi Yuan.

Bibi Yuan tersenyum lega, lalu berkata, "Baiklah, nona, bibi akan membersihkan ruang tamu dulu." Bibi Yuan pun meninggalkan dapur, ia masih canggung untuk memanggil Sherinda tanpa embel-embel nona.

Dengan penuh semangat, Sherinda mengaduk sup tersebut, merasakan aroma harum yang semakin kuat. Sesekali ia mencicipi kuah, memastikan rasanya pas untuk suaminya. Ia tak sabar untuk menyajikan masakan ini kepada Zein, berharap itu akan membuat keadaan suaminya lebih baik setelah mabuk.

Sherinda menyelesaikan masakannya dengan cekatan, lalu dengan hati-hati menyajikannya di atas meja makan. Aroma masakan menyebar menggoda seluruh ruangan, membuat perutnya sendiri mulai merasakan kelaparan.

Namun, sebelum menikmati hidangan tersebut, Sherinda mengambil inisiatif untuk membuatkan secangkir teh hangat untuk suaminya. Meskipun Zein tidak menyukainya, tapi sebagai istri Sherinda wajib melayani suaminya.

Dengan tangan gemetar, Sherinda membawa baki berisi teh hangat ke kamar Zein. Ia berharap suaminya akan merasa lebih baik setelah meneguk teh hangat tersebut.

Ketika tiba di depan pintu kamar, Sherinda menarik napas dalam-dalam, lalu mengetuk pintu sebelum membukanya pelan-pelan.

Tok

Tok

Di dalam kamar, Zein sudah terbangun dari tidurnya dan duduk dengan punggung bersandar pada head board ranjang. Wajahnya tampak kusut dan mata terlihat sayu.

Karena tidak ada sahutan, Sherinda pun memberanikan diri membuka pintu kamar Zein.

Ceklek....

Mendengar suara pintu terbuka, Zein menoleh ke arah Sherinda, namun ekspresi wajahnya tidak menunjukkan rasa senang.

"Mau apa kamu ke kamar saya?" tanya Zein dengan nada kesal.

Sherinda merasa sedikit terkejut dengan reaksi suaminya, namun ia tetap berusaha untuk menjelaskan niat baiknya. "Maaf, Zein," ucap Sherinda dengan suara lirih, berusaha untuk menenangkan suasana hati suaminya.

"Aku hanya ingin memberikan teh ini siapa tahu bisa meredakan pusing mu setelah mabuk" Sherinda menggigit bibirnya, menahan rasa cemas yang mulai menyesakkan dadanya. Ia berharap Zein akan menghargai usahanya dan menerima teh hangat yang sudah ia buat dengan susah payah. Namun ternyata Zein justru menolaknya dengan nada yang sangat ketus.

"Tidak perlu, suruh saja bibi yang buatkan, aku tidak mau teh buatanmu," ujar Zein dengan tegas, tanpa menatap mata Sherinda yang kini mulai berkaca-kaca.

"Tapi bibi Yuan sedang sibuk, kasihan kalau harus membuat teh juga," ucap Sherinda dengan suara yang lirih, berusaha mengendalikan emosinya agar air matanya tak jatuh.

Zein hanya mendengus, lalu beranjak dari tempat tidurnya dan masuk kedalam kamar mandi.

Sherinda menghela nafas panjang, sambil memandang punggung suaminya yang menghilang di balik pintu kamar mandi.

Dengan perlahan, Sherinda menggenggam erat cangkir teh yang baru saja dibuatnya. Tangannya bergetar, menahan rasa sedih yang semakin menggelayut dalam hatinya. Dia berharap suatu hari nanti, Zein akan menerima segala kebaikan yang dia berikan. Dia tidak minta di cintai, setidaknya di hargai sebagai seorang istri. Bagaimanapun dia juga korban dalam perjodohan ini.

Sherinda keluar dari kamar Zein, dan pergi ke dapur untuk mengembalikan teh yang ia buat tadi.

"Kok teh nya di bawa turun lagi non" tanya Bi Yuan ketika melihat teh yang di bawa Sherinda masih utuh tanpa berkurang sedikitpun.

"Teh nya kurang gula bi, makanya tuan tidak meminumnya" jawab Sherinda asal. Dia tidak mau semua orang tahu perlakuan buruk suaminya terhadap dirinya.

Bibi Yuan tersenyum lembut, "sini biar bibi saja yang buat. Tuan Zein memang sedikit ribet, dia tidak teh yang terlalu manis dan juga tidak suka yang terlalu hambar" ucap Bibi Yuan memberitahu Sherinda.

Zein berjalan menuju meja makan dengan langkah pasti dan tenang, mengenakan kemeja putih yang rapi, celana panjang hitam, dan sepatu pantofel yang bersih. Dia membawa tas kerja dan jas yang tergantung di lengan kanannya. Setelah duduk di kursi meja makan, Zein menaruh tas kerjanya di sampingnya dan meletakkan jas di sandaran kursi.

Wajahnya tampak serius dan fokus, namun ada sedikit kerutan di keningnya. Mata Zein mencari keberadaan Sherinda yang tak tampak di ruang makan. Dia menghela napas pelan, menyadari bahwa Sherinda sengaja pergi lebih dulu karena khawatir kehadirannya akan mengganggu selera makannya.

Rasa bersalah mulai menggelayut di hati Zein, namun dia mencoba menepis perasaan itu. Dia berusaha fokus pada piring yang berisi nasi, lauk, dan sayur yang tersaji di hadapannya.

Sambil mengambil sendok dan garpu, Zein memulai sarapannya dengan perlahan, mencoba menikmati setiap suapan meski hatinya terus terasa berat.

Tak lama, Zein menyelesaikan sarapannya, berdiri dari kursi, dan mengenakan jasnya. Dia mengambil tas kerjanya dan melangkah keluar dari ruang makan.

Dengan langkah ringan, Zein bersiap-siap untuk pergi ke kantor tanpa pamit kepada Sherinda.Hanya ada keheningan dan jarak yang semakin melebar di antara mereka berdua.

Meskipun tinggal di bawah satu atap, tetapi keduanya seakan hidup dalam dunia yang berbeda. Tidak ada salam, tidak ada senyum, tidak ada percakapan yang mengisi kebersamaan mereka. Keduanya terjebak dalam kebekuan emosi dan ruang yang penuh kegamangan.

Terpopuler

Comments

Sunarmi Narmi

Sunarmi Narmi

Sdh tau krn dijodohkan..ngapain peduli..pakai hati lgi minta di hargai..Los She...jdi perempuan jgan lemah..hidup sdh sulit ngapain nambah beban..kurang kerjaan...jdi males aku bacanya...apa ada orang kyak gini...🥱🥱🥱🥱🥱

2024-03-03

0

Sunarmi Narmi

Sunarmi Narmi

Ngapain jg bantuin Zein..kan sdh di bilang jangan ikut campur urusan pribadi masing"..Oneng juga Kamu Sherinda...cuek dikit ngapa...bikin hidup sulit sendiri sdh tau bau alkohol..biarin aja 🥴🥴

2024-03-03

0

evvylamora

evvylamora

kasian jg ya Sherinda, tolong thor, zein yg bayarin RS ibunya Sherinda

2024-03-01

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!