BAB 7

Ceklek...... 

Sherinda melangkah masuk ke ruangan ibunya, setelah berpuasa menahan tangis seorang diri. Ia mendekati ranjang ibunya, menggenggam erat lengannya yang mulus sembari duduk di kursi yang ada di samping ranjang. 

"Kenapa, Nak?" tanya Ranti, melihat wajah putrinya yang murung. "Kamu sudah ketemu dengan dokter?" Tanya nya lagi. 

"Sudah, Bu, dokter telah memberi tahu penyakit yang diderita Ibu," jawab Sherinda sambil menghela nafas panjang dan dalam. Mata Sherinda menatap nanar, seringai sayu melukiskan pilu yang terasa sampai ke tulang-tulang, menggoreskan luka baru di hatinya. Ranti mengusap punggung tangan putrinya yang sedang membelai lengannya, menyadari betapa putrinya itu tersiksa setelah mengetahui kabar yang tersembunyi selama ini. 

"Ah, pantas saja kamu murung," bisik Ranti pelan, berusaha menyembunyikan rasa takut dan cemas yang merayapi dadanya. "Namun ingat, Nak, apapun yang terjadi, Ibu dan kamu akan selalu bersama. Kita akan melawan penyakit ini, seperti kita melawan segala rintangan dalam hidup selama ini." Ucap Ranti. 

Sherinda merapatkan pelukannya pada tubuh ibunya yang renta. Kehilangan sang ibu adalah mimpi buruk yang tak bisa ia bayangkan, karena dialah satu-satunya yang memegang erat hatinya dalam dunia yang sunyi ini. Sementara sang ayah, tak pernah sekalipun menatapnya dengan kepedulian dan kasih sayang. 

"Janji, jangan pernah tinggalkan aku, Bu... Aku akan melakukan apapun untuk menyembuhkan Ibu, bahkan jika harus mencari obat mujarab dari ujung dunia sekalipun," ucap Sherinda dengan suara yang bergetar karena menahan rasa sedih dan ketakutan yang berkecamuk di dadanya.

Ranti menepuk lembut kepala putrinya, sejenak menutup mata untuk mengendalikan genangan air mata yang mulai memenuhi sudut matanya. Sejujurnya, hatinya diliputi rasa ingin tahu akan penyakit yang diidapnya, namun ketakutan akan kenyataan yang mungkin memisahkan dirinya dari sang putri juga menghantuinya. 

Meski begitu, Ranti sadar ia harus tetap mengetahui agar bisa lebih berwaspada. "Memangnya apa kata dokter, sayang?" tanya Ranti dengan suara yang berusaha ditegakkan. 

Sherinda menegakkan tubuhnya, tatapan dalamnya menatap ibunya dengan penuh kepedihan. Ia bingung dan tidak tega memberitahu ibunya, namun ia sadar kenyataan harus dihadapi. "Menurut pemeriksaan," bisik Sherinda dengan lirih dan nafas tersengal, "ibu... ibu menderita kanker usus." Detik itu juga, dunia seolah berhenti berputar bagi Ranti. Badai emosi berkecamuk di hatinya, membuatnya tak tahu bagaimana cara menanggapi kenyataan yang baru saja diterimanya.

Ranti tersenyum tulus, menggenggam tangan putrinya erat, berusaha menjadi pilar kekuatan bagi gadis kecil yang ia cintai. 

"Ayo pulang, bukankah semua urusan di rumah sakit ini sudah selesai? Ibu merasa sehat dan baik-baik saja, sayang." Ucap Ranti dengan keyakinan, membangkitkan harapan meski di balik senyumnya, ia menyimpan rasa takut dan kekhawatiran yang membara.

"Dokter bilang, Ibu harus menjalani kemoterapi," ungkap Sherinda dengan suara serak, berusaha keras menahan air mata. 

Ranti menggeleng lemah, menolak untuk menjadi beban bagi putrinya yang masih muda itu. Dia tahu betul bahwa kemoterapi hanya akan memperlambat kematiannya, bukan menyembuhkan penyakit ganas yang merajai tubuhnya. 

Ranti tersenyum pahit, menatap Sherinda dengan mata yang berkaca-kaca, "Nak, Ibu tidak ingin kamu terbebani dengan semua ini. Biarkan saja, apapun yang terjadi, Ibu akan tetap berjuang dan menerima takdir ini dengan lapang dada." 

Sherinda merasa hancur. Hatinya terbelah, di satu sisi ingin mengikuti keinginan sang ibu, namun di sisi lain tak sanggup melihat sosok ibu yang begitu tegar menghadapi penyakit mematikan. Dalam tangis pelukan yang erat, Sherinda menggumam, "Ibu... Kuatkanlah hati kita berdua untuk menghadapi ini semua. Kita akan melawan penyakit ini bersama-sama, dan kita akan menemukan cara agar Ibu mendapatkan kesembuhan. Aku akan selalu ada di samping Ibu, tak peduli seberapa berat ujian ini."

Setelah bertanya dengan dokter dan membatar semua administrasinya, Sherinda memutuskan membawa sang ibu pulang kerumah, Sembari memikirkan langkah apa yang akan ia ambil untuk menyembuhkan ibunya. 

****

"Apa yang sedang kamu pikirkan? Kenapa dari tadi kamu hanya diam saja?" tanya Kiara dengan kekhawatiran yang terpancar dari matanya, menatap Zein yang tampak melamun. Pria itu seolah sedang dihantui oleh sesuatu di benaknya. 

"Aku tidak apa-apa, Sayang. Aku hanya sedikit terpikirkan soal pekerjaan di kantor, kebetulan hari ini tumpukan tugas begitu menumpuk," jawab Zein, berusaha menyembunyikan kegelisahan di hatinya. 

Kiara menghela napas, lalu tersenyum penuh pengertian. "Kalau begitu, kamu bisa kembali ke kantor dulu. Nanti aku pulang sendiri menggunakan taksi," ucapnya dengan nada lembut. 

Saat itu, mereka sedang berada di pusat perbelanjaan, dan Kiara sempat meminta Zein menemaninya untuk berbelanja. 

"Kamu yakin tidak apa-apa aku tinggalkan sendirian?" tanya Zein, matanya mengeksplorasi wajah Kiara untuk mencari tanda ragu atau ketakutan. 

Kiara tersenyum, memegang erat tangan Zein. "Aku bukan anak kecil lagi, Zein. Aku sudah dewasa dan bisa pulang sendiri," ucapnya, merasa cukup dewasa untuk menghadapi apapun. Namun di balik kesigapan itu, sebenarnya ada kerinduan yang terselubung, hati yang mengharap Zein tak perlu pergi dan tetap disisinya.

Zein tersenyum manis, tangannya meraih dompet yang tersimpan di kantong celananya dan mengeluarkannya, lantas menyerahkan sebuah black card pada kekasihnya itu. 

"Nah, pegang kartu ini, Sayang. Kamu bisa menggunakannya untuk berbelanja. Kalau nanti aku punya waktu luang, pasti aku akan menemanimu lagi," ucap Zein penuh rayuan. 

Kiara mengangguk, hatinya berkembang kempis menahan rasa bahagia yang meluap-luap. "Terima kasih ya, Sayang. Kamu hati-hati di jalan," sahut Kiara lembut, lalu mencium pipi Zein dengan penuh kehangatan. 

Zein membalas dengan senyum yang menyentuh mata, "Kamu juga, jangan lupa kabari aku nanti," pesan Zein sebelum melangkah pergi, meninggalkan Kiara yang masih menatapnya dengan penuh cinta dan rindu.

Bugh

Zein menutup pintu mobilnya dengan berat hati, lantas bersandar di kursi yang empuk. Angin malam yang menusuk kulitnya seakan merasuk ke lubuk hatinya yang sedang diterpa badai, seolah melambangkan betapa kacau pikirannya saat ini. Rencana sang ayah yang hendak menjodohkannya dengan wanita lain telah menghancurkan semua impian dan kebahagiaan yang sudah ia bangun bersama kekasihnya, Kiara. 

Mata Zein terpejam, mencoba mencari ketenangan di tengah gelora emosinya. Sebuah keluhan lirih keluar dari bibirnya yang rapuh, "Aku sangat mencintai kamu, Kiara. Aku akan melakukan apa pun untuk mempertahankan hubungan kita. Takkan kubiarkan takdir yang kejam ini merenggut kamu dari pelukanku." Dengan tekad yang bulat, Zein menghidupkan mesin mobilnya dan melajukan kendaraannya meninggalkan area parkir. 

Kendaraan itu melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalanan ibu kota yang dipenuhi kendaraan dan orang yang berlalu lalang. Ia akan berjuang demi cinta mereka, karena takdir mungkin menguji mereka, namun tidak bisa menentukan segalanya.

Terpopuler

Comments

evvylamora

evvylamora

Apa mgkn Kiara itu aslinya licik??

2024-02-21

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!