BAB 4

Dengan perasaan terluka dan hancur, Sherinda meninggalkan hotel tersebut. Hatinya bergumul dengan rasa penyesalan dan amarah. Apa salah dia dan ibunya? Bukankah sangat wajar seorang anak meminta bantuan pada ayahnya, terlebih selama ini ibunya-lah yang telah bekerja keras demi memenuhi kebutuhan hidup mereka berdua. 

Sedangkan sang ayah, tak pernah sekalipun memberikan nafkah atau tuntunan bagi mereka. 

Air mata Sherinda menetes membasahi pipinya yang pucat, saat dia merenungi betapa kejamnya ayah yang seharusnya melindungi dan menyayangi mereka. Semoga suatu saat nanti, ayahnya akan sadar dan merasakan kepedihan yang dialami oleh Sherinda dan ibunya. Sherinda bertekad untuk terus melangkah, meski hatinya parah terluka oleh kekecewaan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Sherinda berjalan menyusuri jalanan dengan perasaan hancur, langkahnya terhenti di sebuah taman yang terletak tidak jauh dari hotel tempat ia menemui ayahnya. 

Tubuhnya terasa lemas saat duduk di bangku taman, tangisan pilu tak terbendung mengalir dari matanya. 

Ayahnya ternyata begitu kejam, tega menjodohkan dirinya dengan pria asing yang sama sekali tidak ia kenal. Seandainya saja dia tahu, bahwa sang ayah tak ingin membantunya, tak perlu menjual harga dirinya demi sebuah janji palsu yang tak jelas masa depannya. Batin Sherinda penuh kebencian dan amarah yang tak tertahankan, hatinya tercabik-cabik oleh rasa sakit yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Setelah puas menangis, Sherinda memutuskan untuk pulang kerumahnya, ia ingin meminta bantuan pada tetangganya. Siapa tahu mereka mau meminjami ia uang untuk membayar tunggakan rumah sakit ibunya. 

"Ke jalan Xx pak" ucap Sherinda setelah mendapatkan ojek. 

Tukang ojek mengangguk, lantas menjalankan motornya menuju ke alamat yang di sebutkan oleh Sherinda.

Di atas rooftop hotel, setelah kepergian Danu dan keluarganya, sebuah perdebatan sengit meletus antara Bram dan putranya. "Apa maksudmu menjodohkan ku dengan wanita itu, Dad? Aku sudah memiliki Kiara dalam hidupku, dan aku begitu mencintainya. Aku tak akan pernah meninggalkannya, apapun yang terjadi!" Zein mengeluarkan unek-uneknya dengan nafas memburu, penuh emosi dan ketidaksetujuan. 

Selama ini, Zein memang sudah menjalin hubungan dengan Kiara, namun kedua orang tuanya sama sekali tidak merestui cinta mereka. Zein tak pernah mengetahui alasan di balik ketidaksetujuan itu, seolah-olah ada rahasia besar yang disembunyikan dari mereka berdua. Dan kini, dengan perjodohan yang tiba-tiba itu, semua semakin rumit dan menyakitkan bagi hati Zein yang penuh cinta.

"Pokoknya kamu harus menikah dengan putrinya Danu" tegas Bram tanpa ingin di bantah. 

Pria tengah baya itu pergi begitu saja tanpa memperdulikan protes dari sang putra. 

Zein menghela nafas kasar, dia tidak mungkin memutuskan Kiara dan menikah dengan orang lain. Pasti kekasihnya itu akan sakit hati jika mengetahui semua ini. 

****

Sesampainya di rumah, Sherinda buru-buru melangkahkan kakinya menuju rumah tetangganya yang selama ini dekat dengan dirinya dan ibunya. Begitu berada di depan pintu, Sherinda mengetuknya dengan gugup. 

Yuni, tetangga Sherinda, segera membukakan pintu dan menyapa, "Sherin, kamu sudah pulang? Bagaimana kabar ibumu?" Tanya Yuni ketika melihat sosok Sherinda didepan rumahnya. 

"Ibu masih di rumah sakit, Bi," jawab Sherinda dengan sedih. Beban di hatinya begitu berat, karena dia tidak tahu bagaimana akan memenuhi kebutuhan ibunya. 

Sherinda menelan ludah, lalu memberanikan diri untuk mengungkapkan permintaannya, "Bi, boleh aku minta tolong sesuatu? Aku benar-benar membutuhkan bantuan." Raut wajahnya penuh harap dan keraguan, ketakutan akan penolakan yang mungkin akan diterimanya. Tapi, di saat-saat seperti ini, dia tidak punya pilihan selain mencoba dan berjuang untuk ibunya yang sedang sakit.

"Masuk dulu, kita bicarakan didalam tidak enak di lihat oleh warga yang lain" ucap Yuni sambil mempersilahkan Sherinda masuk kedalam rumahnya. 

Yuni membimbing wanita itu duduk di kursi sederhana yang ada di rumahnya. 

"Minta tolong apa? Siapa tahu bibi bisa membantumu" tanya Yuni sambil mengusap punggung lengan Sherinda. 

"Saya mau pinjam uang bi, masih kurang lima juta lagi untuk membayar tagihan rumah sakit ibu" ucap Sherinda sambil menunduk karena malu. Walaupun hidupnya susah dari dulu Sherinda dan ibunya tidak pernah berhutang pada orang lain. Mereka hidup seadanya, ia selalu menyisihkan uang hasil dagangannya untuk berjaga-jaga. Seperti saat ini, akan tetapi uang yang dia miliki tidak cukup untuk membiayai pengobatan ibunya. 

"Saya janji, kalau saya punya uang, saya akan langsung mengembalikannya" ucap Sherinda sungguh-sungguh. 

Yuni merasa prihatin dengan nasib tetangganya itu, akan tetapi dia tidak memiliki cukup uang untuk membantu Sherinda. 

"Bibi bisa membantumu tetapi tidak semuanya, soalnya uangnya kemarin sudah buat bayar kuliah Amran" kata Yuni. 

Yuni memiliki dua orang putra, yang sulung sudah kuliah, sedangkan yang bungsu masih duduk di sekolah menengah atas. 

"Tidak apa bi, biar nanti saya yang cari untuk kekurangannya" ucap Sherinda tersenyum, setidaknya masih ada orang baik yang mau menolong dirinya tanpa pamrih. 

"Sebentar bibi ambilkan" ucap Yuni dan beranjak dari ruang tamu, wanita itu masuk kedalam kamarnya untuk mengambil uang. 

Tak lama Yuni keluar dari dalam kamarnya sambil membawa sebuah amplop coklat yang ada di tangannya. 

"Dalam amplop ini, ada uang tiga juta. Semoga bisa meringankan bebanmu untuk membayar biaya rumah sakit Ibumu," ujar Yuni penuh empati, seraya menyerahkan amplop tersebut kepada Sherinda. Air matanya menetes tanpa bisa terbendung. 

"Terima kasih banyak, Bi. Sungguh, aku tidak tahu bagaimana cara membalas kebaikanmu ini. InsyaAllah, jika ada rejeki, aku pasti akan mengembalikannya," Sherinda tersenyum haru, matanya juga berkaca-kaca. 

Dalam detik itu, mereka berpelukan erat, saling menguatkan satu sama lain. Di saat keluarga tak mampu membantu, ternyata orang lain bisa hadir menjadi oase di tengah gurun kehidupan, menyelamatkan kita dari keputusasaan.

Sherinda pamit undur diri, Yuni mengantar Sherinda sampai ke teras rumahnya. "Salam untuk ibumu, semoga cepat sembuh" ucap Yuni. 

Sherinda mengangguk sambil tersenyum. "Sekali lagi terima kasih bi" ucap Sherinda sambil melambaikan tangannya. 

Perlahan ojek yang di tumpangi Sherinda bergerak maju meninggalkan pekarangan rumah Yuni, Sherinda bergegas menuju ke rumah sakit. 

Jarak rumah Sherinda ke rumah sakit lumayan jauh, butuh waktu sekitar dua jam lebih untuk tiba di rumah sakit. 

_Skip perjalanan. 

"Terima kasih" ucap Sherinda setelah membayar ongkos perjalanannya. 

Dia melangkahkan kakinya masuk kedalam rumah sakit dan langsung menuju ke kamar ibunya

Ceklek..... 

Terlihat sang ibu yang sedang rebahan sambil menatap langit-langit ruangannya. Ranti menoleh karena mendengar suara pintu yang terbuka. 

"Kamu sudah pulang? Bagaimana pertemuannya tadi? Kamu berhasil mendapatkan uangnya?" tanya Ranti dengan penuh harap. 

Dengan perasaan terluka, Sherinda menggelengkan kepalanya pelan, langkah kakinya gontai menuju ranjang tempat ibunya terbaring. 

Matanya berkaca-kaca, sambil memeluk erat tubuh ibunya yang semakin hari semakin lemah, dia berkata dengan suara yang bergetar, "Aku tidak berhasil mendapatkan uangnya, Bu... Tapi tadi aku sempat singgah ke rumah Bibi Yuni, dan beliau bersedia meminjamkan uang untuk kita, Bu." Ucap Sherinda, berusaha menenangkan hati ibunya yang sedang dilanda kecemasan. 

Pada saat itu, matahari tenggelam perlahan di ufuk barat, seakan mencerminkan betapa suramnya nasib yang dihadapi oleh keluarga kecil itu. Sherinda bertekad untuk berjuang lebih keras demi masa depan yang lebih cerah, demi keluarga yang dicintainya.

Ranti menghela nafas panjang dan mengusap kepala putrinya. Dari awal dia sudah menduganya, tidak mungkin mantan suaminya itu akan membantunya. 

""Aku harus mencari dua juta lagi untuk melunasi tagihan rumah sakit, Bu," keluh Sherinda dengan wajah cemas. Wanita itu merasa begitu terjepit, uang di dompetnya hanya tersisa sedikit untuk membeli makan dan membayar ongkos ojek yang sudah berkali-kali mengantarkannya. "Di dalam lemari kamar, ada sebuah kotak kecil. Di dalamnya ada cincin pernikahan ibu dulu, Nak," bisik Ranti dengan suara serak, menahan rasa sakit yang melanda hatinya. "Kamu bisa menjualnya, dan uangnya gunakan untuk membayar tagihan rumah sakit ini." 

Air mata Sherinda langsung berlinang mendengar ucapan ibunya, namun rasa terpaksa dan haru bercampur aduk di dalam dada. 

Saat bercerai dengan Danu, Ranti memang tak pernah membawa sepeser pun harta milik mantan suaminya, kecuali cincin pernikahan yang ia kenakan di jari manisnya sebagai bukti kesetiaannya kepada Danu. Namun cincin itu telah lama disimpan dan tak pernah digunakan lagi. 

"Ibu yakin, ingin menjualnya? Cincin itu satu-satunya kenang-kenangan dari papa lho" tanya Sherinda memastikan. Ia tahu sang ibu sangat menyayangi ayahnya, namun sang ayah justru kebalikannya. 

"Ibu yakin nak, bukankah itu cuma benda, yang bisa hilang sewaktu-waktu, tapi tidak dengan perasaan ibu" ucap Ranti sambil memegang dadanya yang terasa berdenyut. 

Bersambung.

Jangan lupa like, komennya gaes, nanti othor kaish double up🙏

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!