BAB 15

Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Pagi itu, langit cerah dan sinar matahari yang hangat menyinari wajah Sherinda dan Zein, yang bersiap untuk mengikat janji suci pernikahan.

Kedua keluarga besar tampak sibuk mempersiapkan segala sesuatu agar acara berjalan lancar dan sempurna. Sherinda tampak cantik dengan gaun pengantin putih yang elegan, riasan wajah yang sempurna, dan mahkota bunga yang melingkar di kepalanya.

Sementara itu, Zein tampil gagah dengan setelan jas hitam dan dasi merah yang serasi dengan gaun pengantin Sherinda. Di pelaminan, mereka berdua saling berhadapan, dengan pandangan mata yang penuh cinta dan harapan.

Seorang penghulu mulai membacakan doa dan mengucapkan ijab qabul, diikuti oleh Zein yang dengan lantang dan jelas mengucapkan kalimat ijabnya. Sherinda pun menjawab dengan suara lembut, namun tegas, menerima Zein sebagai suaminya.

Tak lama kemudian, suara "Sah!" bergema dari seluruh penjuru ruangan, disambut dengan tepukan tangan meriah dari para tamu undangan.

Sherinda dan Zein kini resmi menjadi pasangan suami istri, sejoli yang akan menjalani hidup bersama, saling mengisi dan melengkapi.

Sherinda mencium punggung tangan Zein, setelah itu Zein menyematkan cincin pernikahan di jari manis Sherinda, Sherinda juga melakukan hal yang sama, dia menyematkan cincin jari tangan Zein.

Acara pernikahan Zein dan Sherinda berlangsung dengan sangat meriah, tetapi hanya di hadiri oleh keluarga inti saja ,dan beberapa kolega bisnis Danu dan Bram yang juga turut hadir di acara tersebut, mereka tampak bahagia dan menikmati acara tersebut. Dekorasi yang indah, musik yang mengalun, serta hidangan yang lezat membuat suasana semakin hangat dan menyenangkan.

Namun, di balik senyum dan tawa yang terlihat di wajah para tamu, tersimpan rahasia kesedihan dari kedua mempelai.

Zein, pria tampan yang kini menjadi suami Sherinda, merasa sangat bersalah karena telah mengkhianati cinta sejati mereka, Kiara. Ia tidak bisa melupakan wajah sedih Kiara saat mengetahui pernikahannya dengan Sherinda, dan hal itu terus menghantui pikirannya.

Di sisi lain, Sherinda juga merasakan kesedihan yang mendalam. Sebagai pengantin wanita, ia merasa sangat kehilangan karena ibunya tidak hadir dalam pernikahan mereka. Sherinda sengaja menyembunyikan pernikahannya dari ibunya, karena ia tahu bahwa ibunya tidak akan setuju dengan pernikahannya dengan Zein, terlebih kalau sang ibu tahu kalau dia melakukan semua ini demi dirinya.

Dalam diam, Zein dan Sherinda saling berpandangan, mencoba menyembunyikan kesedihan yang mereka rasakan. Mereka tersenyum kecut, menatap mata satu sama lain dengan rasa penyesalan yang mendalam. Wajah mereka berubah pucat, menahan air mata yang hampir jatuh. Pesta pernikahan mereka berlangsung dengan tertutup, sesuai permintaan Zein yang ingin menjaga perasaan Kiara. Namun, rasa bersalah yang mereka rasakan terus membayangi pernikahan mereka. Tak ada yang tahu apa yang ada di balik senyum yang mereka paksa tampilkan, kecuali hati mereka yang terus merasakan perihnya kesedihan dan penyesalan.

Setelah upacara pernikahan usai, para tamu mulai beranjak meninggalkan gedung.

Zein dan Sherinda, yang baru saja menjadi pasangan suami istri, melangkah gontai menuju kamar hotel yang sudah disiapkan oleh Sandra dan Ana sebagai kado pernikahan.

Suasana di sekitar mereka tampak tegang, mengingat bahwa pernikahan mereka bukanlah hasil dari cinta yang tulus, melainkan sebuah perjodohan yang dipaksakan oleh kedua keluarga.

Begitu sampai di kamar hotel, Zein langsung duduk di sisi ranjang sambil menatap Sherinda yang masih berdiri di dekat pintu. "Mari membuat kesepakatan," ucap Zein tegas, memecah keheningan yang menyelimuti ruangan.

"Kesepakatan apa?" tanya Sherinda dengan nada penasaran, sekaligus mencoba menyembunyikan kekhawatirannya.

Zein menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab, "Aku ingin, kita tidak mencampuri urusan satu sama lain. Kamu jangan mencampuri urusan pribadiku, begitu juga aku akan melakukan hal yang sama." Wajah Zein tampak serius dan tatapannya tajam.

Sherinda, yang sempat terkejut dengan usulan Zein, mencoba menenangkan diri dan meresapi maksud dari perkataan suaminya itu. Setelah berpikir sejenak, ia mengangguk pelan, menyetujui kesepakatan tersebut. "Baiklah, aku setuju. Kita akan menjalani kehidupan ini tanpa mencampuri urusan pribadi masing-masing."

Dengan kesepakatan tersebut, Zein dan Sherinda memulai kehidupan baru mereka sebagai pasangan suami istri yang saling menjaga jarak satu sama lain. Meskipun sulit dan penuh dengan rintangan, mereka berusaha menjalani pernikahan ini dengan penuh tanggung jawab dan menghormati keputusan yang telah mereka buat bersama.

"Tidak ada waktu untuk menunda, cepat ganti pakaianmu. Kita akan pulang ke rumahku sekarang juga," ucap Zein dengan nada yang tegas dan dingin. Ia tidak ingin menghabiskan malam pertama bersama Sherinda, wanita yang baru saja diikat janji suci dengannya.

Sherinda menelan ludah, dia baru tahu sisi lain dari Zein, pra itu begitu dingin dengannya, sangat berbeda dengan yang dia temui di cafe waktu itu.

Dengan langkah gontai, ia menuju ke kamar ganti untuk menggantikan gaun pengantin indahnya dengan pakaian biasa. Wajahnya tampak muram dan matanya berkaca-kaca, menahan air mata yang hendak jatuh.

Sementara itu, Zein menunggu di luar kamar dengan kedua tangan terlipat di dada. Raut wajahnya menunjukkan ketidakpedulian yang mendalam, seolah-olah ia tidak merasa bersalah atas keputusannya yang begitu mendalam mengguncang hati Sherinda.

Setelah beberapa menit yang terasa seperti seumur hidup, Sherinda keluar dari kamar ganti dengan pakaian biasa yang menutupi tubuhnya. Rambutnya yang sebelumnya tergerai indah kini terikat rapi dalam sanggul sederhana.

Zein menoleh ke arah Sherinda dan mengangkat dagunya, memberi isyarat agar Sherinda segera mengikutinya. Tanpa berkata apa-apa, Sherinda mengekang perasaannya dan mengikuti langkah Zein yang pasti menuju ke rumahnya.

Di sepanjang perjalanan, Sherinda mencoba untuk tidak menangis, sementara Zein hanya terdiam dingin, tidak berusaha sedikit pun untuk menghibur atau menjelaskan alasannya. Pada akhirnya, mereka tiba di rumah Zein, tempat mereka akan memulai kehidupan baru sebagai pasangan suami istri yang sejatinya penuh cinta, namun kenyataannya jauh dari harapan.

"Kita akan tidur terpisah, kamu tidur di kamar ini dan aku akan tidur di kamar ku sendiri" ucap Zein sambil menunjukkan kamar untuk Sherinda.

Zein tidak mengajak Sherinda tinggal di rumah orang tuanya, tetapi dia mengajak Sherinda ke rumahnya sendiri yang ia bangun dua tahun yang lalu.

"Maaf, tapi aku tidak bisa terus tidur di rumah ini, aku harus ke rumah sakit menemani ibuku" ucap Sherinda.

Sehari sebelum acara pernikahan mereka di lakukan, tubuh Ranti tiba-tiba drop, wanita itu kembali di larikan ke rumah sakit untuk mendapatan perawatan yang intensif.

"Terserah kau mau tidur dimana, aku tidak akan melarang mu menjaga ibumu" ucap Zein.

"Terima kasih" ucap Sherinda.

Tak apa suaminya itu dingin dengannya, yang terpenting dia masih bebas bertemu dengan ibunya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!