“Kak Dimas?”
Kedua mata Azra membesar, melihat siapa yang menunggunya di depan gerbang kampus. Azra diam sebentar, entah mengapa dia merasa asing melihat Dimas—kakaknya sendiri.
Bukan hanya gaya nya yang berubah, sorot mata itu, seperti tidak ada kehangatan lagi. Senyuman yang terukir di bibirnya juga sangat terlihat tidak tulus.
Kemana perginya Dimas yang dulu?
Walau kedua kaki Azra gemetar, tetapi Azra tetap melangkah mendekat. Seperti biasa dia mencium punggung tangan sang kakak.
“Ba-bagaimana kakak—”
“Kenapa kamu enggak pulang, Zra?” Dimas memeluk Azra. “Kakak, khawatir. Dimana kamu tinggal selama ini?” tanyanya.
Azra menoleh ke arah Keyla yang nampak tercengang melihat pemandangan itu. Azra mendesah resah seraya menjawab dengan nada ragu. “Azra sekarang tinggal di asrama kampus, kak.”
Demi Allah, kenapa kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirnya, itu adalah sebuah kebohongan pertama yang Azra lakukan, gadis itu terus beristighfar dalam hati.
Dimas melepas pelukannya. “Ooh, jadi kamu tinggal di asrama kampus. Kenapa enggak berkunjung ke kontrakan kalau begitu, kabarin kakak?”
Muka Azra semakin tegang saat melihat Prince tiba di ujung jalan, lelaki itu baru keluar mobil.
“Zra!”panggil Dimas lagi.
Gadis itu sontak menoleh. “Kak, maaf … Azra sudah terlambat, nih,” tukasnya.
Gadis itu berusaha mengusir Dimas dari kampus, setidaknya Prince tidak melihat keberadaan Dimas atau sebaliknya. Akan heboh jika mereka saling bertemu.
Azra menatap dalam ke arah Dimas. Benarkah? Dia tega menyuruhku bekerja di club malam? Hatinya bertanya.
“Pulanglah, kak. Insya Allah Azra akan segera dapat pekerjaan, dan Azra akan bantu bayar utang kak Dimas, jadi jangan minta Azra untuk bekerja sama teman kakak itu. Azra enggak mau!”
Dimas tertawa sumbang. “Kamu bekerja?” Benar saja wajah Dimas drastis berubah. Kedua mata itu menatap remeh kepada Azra. “Emang kamu bisa kerja? Berapa besar gajinya? Hah!”
Mendengar ocehan sang kakak sontak membuat Azra kesal. Azra menghela napas sebelum akhirnya dia kembali berkata, “Kak, walau gajinya enggak sesuai harapan kakak, tapi pekerjaan ini halal, dan insya Allah rezeki yang kita terima juga akan berguna dan bermanfaat.”
“Cih, kumat lagi, dasar sok ustazah, kamu,” sindir Dimas. “Pokoknya, kakak enggak mau tahu, kamu harus—”
“Harus apa?” potong Prince yang tiba-tiba sudah berdiri tepat di belakang Dimas. Prince berseringai, pria itu berdiri seraya bersedekap. “Harus apa? Hah!”
Mendengar suara yang nampak tidak asing membuat Dimas menoleh. “Kamu?” Kedua matanya membola, terkejut.
Dia menatap Prince lalu melirik Azra sambil berpikir. “Aah, ternyata benar dugaanku, kamu yang sembunyikan Azra, kan?” Dia menyeretkan pandangan ke arah Prince lagi.
Prince jalan mendekat, dia tahu Dimas hanya seorang pengecut jika tidak bersama Vanya di belakangnya. Kini mereka berhadapan , Prince mendekatkan bibirnya ke telinga pria itu. “Enyah kamu,” bisiknya.
Prince menatap Azra yang sedang terlihat tegang di belakang sana. “Azra, kamu sudah terlambat. Masuk sekarang juga!” perintahnya sambil memberi isyarat dengan menengok ke dalam area kampus.
Keyla pun tanggap, lekas menarik tangan Azra mengajaknya untuk masuk. Melewati gerbang tanpa menoleh ke arah Dimas dan Prince yang masih berdiri di sana.
“Terimakasih, Key,” gumam Azra yang langsung mengikuti Keyla.
“Zra, tunggu!”
“Kamu enggak tahu bahasa atau gimana?” Prince menoleh ke belakang, dia melihat ke arah mobil yang datang mendekat, Niko, Ali dan Raga yang tadi mengantarnya.
“Pergilah, Dimas, atau kamu akan menyesal!”
Bukan tidak tahu, Dimas menatap mobil yang kini berhenti tak jauh dari mereka. “Sial!” umpatnya. Menyadari dia hanya sendiri, Dimas berbalik dan berjalan meninggalkan Prince.
Kali ini dia gagal, tetapi Dimas tidak akan menyerah begitu saja.
***
Azra mengetuk pintu ruangan Prince, sekali, dua kali. Hingga suara sahutan terdengar dari dalam ruangan. Gadis itu berdeham kecil lalu merapikan jilbabnya yang sedikit berantakan karena baru saja selesai berlari.
“Assalamu’alaikum, pak.” Azra memberi salam tanpa menutup kembali pintu ruangan itu.
Prince tidak menjawab salamnya, dia nampak sibuk memeriksa beberapa berkas. “Duduk!” perintahnya.
Namun, Azra bergeming. Dia tidak menuruti perintah sang dosen. Gadis itu tetap berdiri sampai akhirnya Prince mendongak dan menatapnya. “Saya bilang, duduk!”
“Jawab dulu salam saya pak. Bukannya bapak seorang muslim. Menjawab salam itu hukumnya wajib, pak!” cetus Azra.
Prince menghela napas kasar. “Walaikumsalam, puas!” sahutnya. “Tutup lagi pintunya, kamu enggak lihat ini ruangan ber-AC!”
Azra mengerutkan wajah. “Tapi pak, di ruangan ini cuma ada bapak dan saya. Saya enggak mau ada fitnah, Pak, kalau hanya ada kita berdua di ruangan ini,” imbuh Azra lagi.
Prince berdecis. “Kamu jangan banyak ngayal, Azra. Fitnah apaan?”
Prince melihat kedua mata Azra yang mulai melotot.“Oke, pakai sepatu kamu buat ganjal tuh pintu! Besok saya akan ganti ruangan ini sama kaca transparan semua!”
Azra masih merengut. Namun, gadis itu menuruti kata Prince untuk mengganjal pintu dengan sepatunya. Azra melepas sepasang sepatunya dan mengganjal pintu ruangan Prince agar tidak tertutup rapat.
Melihat dua sepatu berbaris mengganjal pintu, Prince memutar kedua bola matanya. “Itu mah … ah!” matanya menatap bingung ke Azra. “Ya sudah, terserahlah. Sudah bisa duduk?” Prince memasukkan berkas-berkas kedalam map berwarna biru.
Sementara Azra, bergerak ragu. Duduk di depan meja sambil bersikap waspada. Kedua mata itu tak luput menatap sang dosen yang terus memperhatikannya.
Melihat tingkah Azra, Prince tersenyum tipis. Jujur saja ... mungkin, karena jarang tersenyum, wajah Prince nampak berbeda jika tersenyum. Tampan, lebih tampan lagi.
Susah payah Azra menelan ludahnya,tenggorokannya tiba-tiba tercekat melihat wajah Prince dari sisi yang berbeda. Astaghfirullahaladziim, Azra berucap dalam hati, berusaha mengibas perasaan yang tak seharusnya menyapa.
“Aku berharap, kamu menolak ajakan kakak kamu untuk bekerja dengan Vanya! Kamu tahukan Vanya itu wanita berbahaya, Zra. Dan sepertinya kakak kamu termakan rayuannya,” jelas Prince.
Azra diam menyimak, setelah menghela napas panjang, Azra bersuara, “Kasihan kak Dimas. Jadi, bagaimana dengan kak Dimas sekarang?”
“Apa? kamu masih merisaukan kakak kamu yang jelas-jelas ….” ucapan Prince tertahan sebentar. “Azra, dia mau menjualmu ke Vanya dan kamu masih mengkhawatirkannya?”
“Tetapi dia tetap kakak saya Pak. Dan … tidak ada yang namanya mantan saudara, dalam diri kami mengalir darah yang sama. Walaupun kak Dimas sekarang sedang tersesat, akan tetapi dia tetap kakak saya,” tukas Azra.
Ucapan Azra sontak membuat Prince tercenung. Entah kenapa ucapan itu seakan membuat hatinya kembali berdebar.
Pun Malik—ayah Prince, walaupun kesalahannya tidak bisa dimaafkan, tetapi dia tetap ayah Prince, bahkan guratan ketampanan di wajah Prince diturunkan dari wajah sang ayah.
Prince menggeleng. Tidak Azra, kamu hanya lemah. Mau saja dipermainkan oleh penghianat keluarga. Tepisnya dalam hati.
“Tapi…”
“Pak, saya sudah kehilangan kedua orang tua saya, kak Dimas adalah satu-satunya keluarga yang saya miliki. Saya akan berusaha merebutnya dari wanita bernama Vanya itu. Ya, menurut saya, jika saya menyayanginya seharusnya saya melindungi dari orang yang ingin berbuat jahat,” potong Azra. Gadis itu tersenyum penuh rasa optimis.
Lagi-lagi Prince terdiam. Kali ini dia menatap Azra lebih dalam. Siapa sangka, ucapan itu mampu mengetuk kerasnya hati Prince. Setelah sekian tahun, Prince merasakan rindu mendalam kepada kedua orang tuanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments