Dentuman suara musik disko begitu menggema memenuhi setiap sudut club malam, tempat dimana Prince mencari target yang baru saja mereka bicarakan saat di mobil tadi.
Prince langsung menuju bar, mengeluarkan ponsel dan memperlihatkan foto target barunya kepada seorang bartender.
Pria berkemeja putih itu memperhatikan foto, tak butuh waktu lama telunjuknya mengarahkan ke sebelah kiri deretan meja.
“Ingat, jangan buat keributan dalam club!” ucap sang bartender memperingatkan.
Prince menyeret pandangannya ke tempat yang dimaksud. Tanpa suara, pria berparas tampan itu mengeluarkan uang tiga ratus ribu ke meja bar, sebagai tips untuk informasi yang didapatkannya.
Matanya kembali mengarah pada Raga, memberi isyarat bahwa target sudah berhasil dia temukan.
Prince duduk di meja bar, menunggu Raga, Ali dan Niko mengeksekusi targer yang tengah berpesta di sudut sana.
“Whiskey, double shot,” ucap Prince kepada bartender seraya memutar tubuhnya.
Prince Abraham Motaz, lelaki yang memiliki sepasang mata tajam nan indah dibingkai alis tegas serta dagu belah yang menyempurnakan ketampanannya.
Siapa yang tidak kenal dengan Prince. Nama pria itu terkenal seantero club malam di Jakarta. Bukan hanya tampan, Prince juga cukup disegani preman atau geng setempat.
Sikapnya yang dingin dan seakan anti sosial itu membuat orang lain enggan berurusan dengannya.
Namun, hal itu tidak berlaku bagi para kaum hawa yang bertemu dengannya. Semakin sulit digapai, maka pria itu semakin menantang.
Benar saja, belum ada satu menit Prince berdiam diri di sana, wanita dengan pakaian serba minim itu mendekati layaknya semut mengerubungi gula.
Apakah Prince akan menikmati malam-malamnya dengan para wanita itu? Jangan berharap, Prince tidak pernah meladeni wanita cantik manapun.
Jika ada wanita bersikap manja dan seolah menggoda, Prince langsung menajamkan kedua netranya, menatap penuh benci. Percayalah, tatapan jahat Prince mampu membuat bulu kuduk meremang karena takut.
Sama halnya sekarang. Begitu para wanita datang menghampiri, Prince hanya menaikkan pandangannya, menatap penuh amarah hinga mereka mundur secara perlahan.
***
Berhasil Raga menyeret si pria layaknya binatang. Niko dan Ali mengikuti Raga seraya melirik ke arah Prince. Memberi isyarat bahwa target itu benar sesuai dengan data yang mereka terima.
Prince, meneguk minuman yang seolah sudah biasa lolos di tenggorokannya tanpa meringis.
Menyerahkan kartu debit ke bartender. Kemudian berlalu setelah mengambil kartu itu kembali.
Di halaman parkir, pria yang nampak mabuk sudah tergeletak tak berdaya. Bukan karena dipukuli, melainkan karena pengaruh minuman keras.
Cukup lama Prince menelisik. “seratus lima puluh juta,” desis Prince seraya berseringai.
“Dimas Sukmadana.” Raga membaca nama si pria dari ponselnya. Mengamati sekilas profil Dimas, lelaki yang terjerat penipuan sebesar tiga ratus juta rupiah itu.
“Apa-apaan ini! Si-siapa kalian?” tanya Dimas dengan suara samar. Kedua matanya menyipit, mencoba mengenali empat pria yang berdiri mengitarinya disisa-sisa kesadaran.
Ali mendengkus. “Aah, kita datangnya terlambat. Sudah mabok dia,” gerutu pria itu dengan mengacak pinggang.
Dimas yang sudah terlanjur mabuk nyaris tak sadarkan diri, wajahnya pun sudah memerah tanda hilang akal karena minuman haram tersebut.
“Mungkin ini bisa menyadarkannya.” Raga mencengkeram kerah baju yang di kenakan si pria, satu pukulan kuat bersarang di pipi pria itu.
Mendapat pukulan itu Dimas hanya meringis sekilas, sudah tak bisa dia ajak bicara lagi. “Dia mabok!” keluh Raga lagi.
Lebam kebiruan sudah jelas terlihat di tulang pipi si pria, satu pukulan lagi menghujam di pipi sebelahnya, kali ini mengenai sudut bibir pria mabuk itu hingga darah segar terciprat di kemeja Niko. “Sial, sia-sia nonjok orang mabok.”
Prince berjalan pelan, hingga berada tepat di depan si pria, tangannya mengepal bersiap mendaratkan pukulan lagi di kepalanya.
Namun, seketika tangan Prince terhenti tatkala suara gadis berteriak histeris di arah belakang.
“Astaghfirullahaladziim, Kak Dimas!” teriak gadis itu.
Gadis itu berlari, hingga napasnya tersengal. Jantungnya berdebar kencang karena dipicu sesak di dada bercampur emosi yang susah dijabarkan dengan kata-kata.
Apalagi, saat dilihatnya sang kakak yang sudah babak belur dikeroyok oleh empat pria tak di kenal.
“Si-siapa kalian, kenapa kalian memukuli Kak Dimas sampai seperti ini!” ucap gadis itu terbata.
Prince menatap lekat ke arah gadis mungil berhijab yang berani menganggu keseruannya. Sebelah sudut bibirnya menukik berseringai. “Jadi, ini kakakmu?”
Susah payah gadis itu menelan ludahnya sendiri. Melihat ke empat pria yang berwajah garang menatap elang ke arahnya. Seakan-akan siap menerkamnya kapan saja.
Jujur saja, Azra sudah diselimuti perasaan takut. “Ya Allah.” Batinnya, seraya menatap ke arah empat laki-laki di depannya secara bergantian.
Azra berusaha mengatur laju degup jantungnya. Berusaha menepis semua ketakutan, karena sejatinya yang patut di takuti hanyalah Dzat pemilik alam semesta.
Gadis itu menarik napas panjang. “Ia, dia kakakku, siapa kalian? Awas ya kalian, aku laporkan polisi!” tegas gadis itu mencoba tetap berani.
Suara si gadis yang bergetar memancing gelak tawa Niko, Raga dan Ali. Mereka seperti mencemooh gadis itu.
Bukan Prince tidak tahu, kalau gadis kecil di depannya ini merasa ketakutan. Tetapi, akan sangat disayangkan bila dia melepaskan Dimas begitu saja.
Kedua mata Prince menatap Ali, memberi isyarat agar Ali mempercepat aksinya.
Ali yang sudah paham harus berbuat apa. Mulai menatap nyalang ke arah si gadis. “Sini, dompet!”
Gadis itu menatap sengit ke arah Prince, Niko, Ali dan Raga secara bergantian.
“Tidak!” tolaknya lantang.
Niko, Raga dan Ali terkekeh melihat gadis polos itu. Dengan cepat Niko merampas dan membuka paksa tas selempang gadis itu.
Beberapa buku dan mushaf saku tercecer jatuh ke tanah. Namun, Niko hanya mengambil dompet gadis yang kini tengah tercengang.
Ada desir hangat menjalar masuk ke dalam kalbu. Kedua mata Prince menyipit melihat mushaf itu jatuh tergeletak.
Namun, secepat angin dia kembali menaikkan pandangannya. “Ada baiknya kamu nurut,” ucap Prince sambil menangkap dompet yang dilempar Niko.
Prince membuka dompet itu. Miris, hanya ada selembar uang sepuluh ribuan. Lalu dia melihat satu kartu yang terselip di dompet itu dan mengambilnya.
“Azra … Diandra!” Sebelah alisnya terangkat membaca nama gadis itu dari kartu mahasiswa yang terselip di dompet.
Matanya kembali menatap sang gadis bernama Azra tersebut. “Ini aku bawa, kakak kamu punya utang sama kami!” ujar Prince.
“Tunggu, kembalikan!” Niatnya untuk menghadang Prince yang tengah berjalan. Namun, Niko, Ali dan Raga mengelilinginya.
Azra menahan tangisannya. “Masukkan lagi barang-barang yang kalian buang begitu aja, itu ada Alqur’an dan itu buku-buku agama!” pekiknya tak terima.
Prince kembali mendekat, dia melemparkan dompet Azra seraya berucap, “Masukkin sendiri! Punya tangankan?!”
Kemudian mereka berlalu pergi, meninggalkan Azra dan Dimas yang sudah tak sadarkan diri.
Azra meremas ujung jilbabnya sebelum akhirnya dia mulai berjingkat cepat memasukkan buku-buku kedalam tas yang terlihat lusuh itu.
Azra tidak pernah menyangka, dia akan mulai berurusan dengan preman-preman ini. Hatinya tidak ridha, dia mulai mengumpati pria-pria tadi dalam hati.
Namun, disaat yang sama dia menyesal. Bibirnya lantas berkali-kali mengucap dzikir, memohon ampun kepada Tuhannya. Betapa rapuh dirinya yang merasa lebih baik dari preman-preman tadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments