JAKARTA, 17.00 WIB
Gelegar suara piring terhempas begitu keras membuat telinga pekak, terlihat beberapa pengunjung dan orang yang berlalu-lalang spontan menoleh ke pusat suara.
Sepasang sneaker putih menginjak pecahan kaca yang berserakan. Pria pemilik sneaker putih kemudian membungkuk, mendekatkan wajahnya ke arah lelaki berusia sekitar lima puluhan yang nampak ketakutan.
“Cepat bayar utangmu!”
Sementara, sang pemilik warung itu menangkupkan tangan memohon, tubuhnya gemetar, wajahnya pucat dengan bibir yang terus bergetar.
“To—tolong bos, beri saya waktu. Saya janji secepatnya membayar utang-utang saya,” pinta pria itu terbata.
“Secepatnya?!” Sebelah alis pria itu menukik tajam. “Ini sudah ke tiga kalinya, dan kamu bilang secepatnya?!”
Kemudian si pria meraih leher si pemilik warung, mencekiknya kuat hingga membuat wajah pria itu memerah. “Kamu pikir, aku sesabar itu, heh!”
Suasana berubah mencekam, pengunjung yang datang pun enggan memberi pertolongan pada pemilik warung.
Mereka tahu siapa yang sedang bertandang ke warung tenda itu, sekelompok gank terkenal di wilayah itu.
Mereka Exilado, Mereka terkenal kejam dan tidak memandang siapa saja yang menjadi target sasarannya.
Tua, muda, kaya, miskin, selama mereka berkhianat kepada keluarga dan susah membayar utang ... akan mereka libas habis.
Prince Abraham Motaz, Nikolas Putra, Ali Yanuditra dan Raga Abrysham. Empat sahabat dengan latar belakang yang berbeda.
Mereka memiliki kisah yang nyaris sama, yaitu terbuang. Sebab itu, mereka menyebut diri sebagai Exilado yang artinya diasingkan.
“Ka-kali ini, tolong kasih saya waktu lagi, bos. Saya mohon bos,” ucap pemilik warung itu dengan napas memburu.
Ali melepaskan cengkeramannya. Lelaki bertindik itu lantas berdiri. Matanya menatap Raga yang berada tepat di sebelah meja kasir.
Sementara, Prince—leader Exilado itu hanya duduk diam bersantai dengan tatapan menyalang, sembari menyesap rokok lalu meleburkan asapnya di udara.
Melihat tatapan dari Ali, Raga lantas membuka paksa laci uang. Senyumnya melebar, segera meraup semua isi dalam laci tersebut.
“Ini hanya sebagai imbalan, untuk memberikan kamu waktu lebih,” ucap pria berparas oriental itu.
Niko ikut berseringai, dia berjalan meraih gayung dan mengambil air bekas cuci piring yang berada di bawah wastafel portabel.
“Dengar! Tiga hari lagi, kami kesini, uang duapuluh juta itu ... harus ada! Kamu tahu, kamu tidak akan bisa kabur dari kami, kan,” desis Niko seraya mengucurkan segayung air ke kepala si pemilik warung.
Setelah puas melakukan aksinya. Ali, Niko dan Raga gegas meninggalkan warung tenda itu. Sesekali mereka tertawa puas setelah berhasil meluluhlantakkan warung itu.
Sementara, Prince masih terdiam dan tatapan sinis. Dia mematikan rokok dimeja dengan taplak plastik, hingga membuat plastik itu terkoyak.
Lelaki berdagu belah itu menghela napas berat, beranjak dari duduknya, berjalan dan menghampiri pria paruh baya yang menjadi targetnya. Langkahnya kemudian terhenti tepat di samping pria itu.
Prince mendekatkan bibirnya mengarah ke telinga si pemilik warung tenda, “Gimana mau bayar utang! Kalau uangmu, kamu habiskan di meja judi dan membayar wanita-wanita nakal,” desisnya seraya meludah.
Susah payah, Pria itu berusaha menelan salivanya. Wajahnya semakin pucat dengan napas yang semakin tersengal. “Ba-bagaimana mereka bisa tahu.”
***
Bandung, sepuluh tahun yang lalu.
“Berhenti!” Suara menggelegar itu terdengar melengking hingga ke langit-langit rumah.
“Dasar anak kurang ajar! Lancang kamu berkata seperti itu, pada ayahmu sendiri!” Malik menatap nyalang pada putra sulung yang sudah memancing emosinya.
“Apa? Kurang ajar?” Prince tertawa sumbang.
“Apa Ayah tidak berkaca? Di sini, Ayahlah yang kurang ajar. Tanah kuburan Bunda masih basah, Yah. Tetapi, lihatlah! Apa yang ayah lakukan dengan pelacur itu?” pekik Prince penuh amarah yang membara.
Namun, seketika sebuah tamparan keras mendarat di pipi Prince. Siapa lagi pelakunya, jika bukan Malik. "Anak kurang ajar kamu!" hardik Malik tak terima.
Seketika panas dan nyeri menjalar di sekitar pipi Prince. Pemuda itu menutup mata menahan perih yang merambat naik keatas kepala.
Wajahnya yang putih seketika memerah, bekas tangan besar sang ayah meninggalkan jejak di sana.
Prince membuka kedua mata, merah. Sorot kekecewaan terukir jelas disana. Apa yang baru saja dia terima dari sosok ayah yang begitu dia cintai, membuatnya semakin meradang.
“Dia bukan pelacur, Prince! Dia Raina, wanita ini sudah menjadi istriku, Hormati dia!”
Prince menyunggingkan senyum pahit, kalimat-kalimat sang ayah semakin membuatnya terluka.
“Apa? Istri? Menggantikan bunda, jangan bermimpi! dia tidak layak!” sarkas Prince lagi seraya memandang rendah wanita yang mengenakan pakaian serba minim itu.
“Jadi kamu enggak terima, kalau begitu keluar kamu dari sini! KELUAR!!!” teriak Malik dengan mengacungkan jari telunjuknya ke arah pintu besar rumah mewah itu.
Mendengar suara melengking sang ayah, Prince kembali berseringai. “Lihat! Siapa bilang hubungan darah itu tidak bisa terputus. Hari ini Ayah sendiri yang memutuskannya, ayah mengusirku untuk membela pelacur itu!”
Sekali lagi, tamparan keras mendarat di pipi Prince. “Dasar anak enggak tahu di untung, kamu!” Amarah Malik meledak-ledak.
Prince terisak, suaranya parau terdengar. “Padahal bunda baru meninggalkan kita sepekan yang lalu, tapi wanita ini sudah berhasil memisahkan kita.”
“Dan, apa aku tidak salah dengar!” sambung Prince dengan mengangkat pandangan. Dia menatap tajam perut wanita itu. “Dia hamil? Apakah itu yang membuatmu lebih membelanya? Dibanding putra kandung ayah sendiri!”
Malik mendengkus, “Keluar kamu! Dan jangan pernah anggap aku ayahmu, lagi!”
Sementara, wanita itu hanya tersenyum sinis, wanita yang tidak lain adalah sahabat dekat bundanya itu berhasil membutakan hati Malik Kurniawan Motaz, Pengusaha properti sukses di Bandung.
Pandangan Prince menyeret tajam, kemudian pria itu berlalu. Dia berjalan menuruni tangga. Entah, kekuatan dari mana dia bisa melangkah kuat meninggalkan rumah megah itu disisa-sisa daya yang dia punya.
“Tidak! Kak Prince, Jangan pergi!” terdengar teriakan gadis belia terdengar pilu, tetapi segera didekap oleh Inah.
“Prince pergi, Bi Inah. Sudah tidak ada lagi Bunda disini, tidak ada lagi surga untuk Prince!”
***
Kedua netra Prince terbuka, tatkala suara klakson mobil di belakangnya terus berbunyi. Seketika kenangan buruk yang selalu diingatnya, berakhir lenyap begitu saja. “Berisik!” Mata tajamnya menatap ke arah Raga.
Raga, sudah pasti tahu apa yang harus dia lakukan. Lelaki itu membuka jendela, lalu mengeluarkan kepalanya dan berteriak. “Anj***! Kamu enggak lihat ini lampu merah, tol*l!”
Niko, hanya terkekeh pelan, sambil memainkan tablet. Satu notifikasi membuat Niko Kembali tersenyum cerah setelah membukanya. “Job … Job!”
“Apaan, nih?” tanya Raga yang kembali menutup jendela.
“Laki-laki ini bawa kabur uang nasabah tiga ratus juta,” ujar Niko sambil memperlihatkan foto laki-laki muda yang mungkin seusia dengan mereka.
“Bayarannya?” tanya Prince dengan menutup mata.
“Fifty-fifty,” jawab Niko dengan mata yang terus lancar membaca surel di tabletnya.
Ali dan Raga saling melempar pandang. Sementara, Prince—lelaki yang baru saja membuka matanya itu bahkan tidak pernah tersenyum lagi.
Senyum yang terukir di bibirnya hanya seringai dingin yang selalu membuat orang lain bergidik ngeri.
^^^Bersambung•••^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
Fayruz Urba
Selalu menunggu karya mu thor💪
2024-02-03
1