“Kamu tidak dengar apa yang aku bilang, Azra! Tinggalkan tempat ini!”
Pita suara Prince kembali meninggi, matanya terus menyalang menatap tajam ke arah Dimas. Cengkeramannya bahkan lebih kuat, hingga membuat pria itu sulit bernapas. Ya, emosinya tak mampu dia bendung lagi.
“Kakak macam apa kamu! Hah!”
Mendengar teriakan itu Azra menjadi gelisah, gadis yang tadinya terdiam terpaku, mundur perlahan. Langkahnya gamang dengan tubuh yang bergetar karena takut.
Apa maksud Prince mengusirnya dari tempat itu? Lantas, dorongan apa yang membuat Azra menjadi patuh akan perintah sang dosen? Entahlah, yang jelas perasaan bingung, takut, kecewa bercampur jadi satu.
Hatinya hanya berfirasat bahwa tempat itu sangat berbahaya, dan Prince hanya berusaha membuatnya tidak ikut campur dengan urusannya dan Dimas.
“Astaghfirullahaladziim,” bibir Azra bergetar mengucapkannya, dia hanya berlari meninggalkan tempat itu dengan deraian air mata.
“Ya Allah, ba-bagaimana Kak Dimas? Si-siapakah mereka? Siapa wanita itu? Ha-haruskah aku menghubungi polisi?”
Napas Azra memburu bersama laju larinya, kalimatnya terbata diselingi isak yang semakin membuat dadanya sesak. Dia hanya berlari bahkan di sisa-sisa tenaganya yang nyaris habis.
Sementara di halaman itu, Exilado, Dimas dan Vanya masih bergelut dengan tatapan sengit. Vanya yang masih enggan meninggalkan halaman parkir itu semakin membuat Prince tersulut amarah.
“Siapa wanita itu, Prince? Sepertinya kamu begitu melindunginya.” Wanita itu masih mengulik gadis berjilbab yang bernama Azra itu. “Bahkan dia tidak secantik aku, Prince!”
Siapa yang tidak tahu Vanya, dia akan mulai mengusik kehidupan orang yang sudah membuatnya tersaingi. Gadis polos seperti Azra pasti akan kesulitan jika berhadapan dengan Vanya, wanita itu jelas-jelas bisa berbuat jahat padanya. Kapan saja!
“Jangan ikut campur urusanku! Pergi!” usir Prince kepada Vanya, tanpa menoleh ke arah wanita yang berada di belakangnya itu.
Vanya menghela napas berat. “Kalian pasti tahu kan siapa … aku!” Wanita itu berbalik dan mulai melenggokkan langkahnya.
Namun, sebelum dia benar-benar hilang dari pandangan Exilado, wanita centil itu kembali berucap, “Cepat selesaikan urusan kalian, Exilado. Ingat, ini bukan wilayah kalian!” sindirnya dengan tersenyum sinis.
Prince melepas cengkeramannya hingga Dimas terduduk lemas. Lelaki itu mulai mengatur deru napasnya, emosi yang sempat membara berusaha dia redam sekuat tenaga.
“Jangan sekali-kali berurusan dengan Vanya! Apalagi menjual adikmu dengannya!” gertak Prince yang kini berdiri seraya berkacak pinggang.
“Me-menjual?” Dimas bertanya karena memang tidak tahu pekerjaan apa yang ditawarkan Vanya kepada Azra. Yang ada di otaknya hanya bagaimana cara melepas diri dari rantai hutang ini dan kembali hidup normal.
Niko tertawa geli. “Kamu emang dasarnya gobl*k atau pura-pura gobl*k?” celanya, “Wanita yang bermain-main bersamamu tadi, itu adalah anak-anaknya Vanya!”
“Dan wanita itu akan berbuat apa saja untuk mendapatkan apa yang dia mau,” tukas Raga, seraya menyipitkan matanya menatap Vanya yang sudah masuk ke dalam Club.
“Kacau … kacau!” decak Ali. “Kenapa juga adikmu selalu datang di waktu yang tidak tepat!” Lelaki itu berjalan mondar mandir.
Dimas masih terduduk lemas. Dia bahkan tidak tahu bahaya apalagi yang akan datang menyapanya. Tetapi, seketika dia berpikir, kenapa preman-preman ini mengkhawatirkan adiknya. Apakah mereka kenal dengan Azra?
Dimas melirik ke arah Prince. Lelaki itu berseringai, kekehan kecil keluar dari mulutnya sebelum akhirnya dia berkata, “tetapi, bukankah bagus jika aku menjual Azra kepada wanita tadi, kalian akan cepat mendapatkan uang kalian, bukan? Aku bisa terbebas dari jerat kalian, ya kan.”
Lelaki itu bangkit, berdiri dengan sempoyongan. “Ya, hartaku yang paling berharga cuma Azra,” imbuhnya lagi seraya tertawa lepas.
Mendengar kalimat yang meluncur dari mulut Dimas membuat Prince sontak menoleh. Pria itu lantas merapatkan rahangnya. Mukanya kembali memerah, kedua matanya berkilat-kilat karena marah.
“Apa katamu!”
Dengan Langkah cepat Prince kembali menghampiri Dimas, sebuah pukulan keras mendarat begitu saja di pipi lelaki yang jika dilihat-lihat wajahnya tak kalah tampan.
Tangan kiri Prince kembali mencengkram kaos Dimas, kuat. Sekali lagi dia meninju sedikit lebih atas, hingga darah segar mengucur dipelipis mata Dimas, berulang kali … membuat Dimas nampak kacau nyaris tak sadarkan diri.
Pergelutan tak terelakkan, bagai menuang bensin di atas api, amarah Prince kian berkobar. Lelaki itu paling membenci yang namanya pengkhianatan dalam keluarga. Itu mengingatkannya pada luka batin yang dia pikul selama ini.
Seketika kenangan menyakitkan itu terbentang bagai layar di hadapan matanya. Bagaimana sang ayah yang tega menghianatinya dan Tsabita saat bundanya telah tiada.
Ini hampir sama, Dimas berkhianat atas adiknya, Malik yang berkhianat atas Kanaya, Prince, dan Tsabita.
Ketika orang yang biasa melindungi menghancurkan orang-orang yang dilindunginya, Ketika orang yang sangat disayangi menghancurkan keluarganya sendiri, semua itu bagi Prince adalah sebuah pengkhianatan.
Niko, Ali dan Raga nampak tercekat, dengan cepat Niko menarik Prince, dan Raga mengamankan Dimas. Mereka berusaha melerai. Bahaya saja jika Prince sudah kalap, tinjuannya tak akan pernah berhenti hingga si korban lemas tak berdaya.
“Prince, sabar Prince! Ingat kamu bisa di SP kalau ketahuan pihak kampus,” ujar Niko mengingatkan.
“Aku enggak peduli, si bangs*t ini harus mati!”
Sementara Ali mengunci kuat Dimas. “Kita memang brengsek, tapi kita enggak pernah mempermainkan perempuan. Binatang aja lebih baik dari pada kamu, dasar pengkhianat!!” sarkas Ali.
“Lepas! Biar aku bunuh dia!” erang Prince masih penuh emosi.
Sekuat tenaga Niko menarik Prince yang masih saja memberontak, Raga pun ikut membekap tubuh Prince. Mereka bersusah payah mengajak Prince untuk masuk ke mobil. Kakinya yang jenjang cukup menyulitkan bagi Niko dan Raga.
Sedangkan Ali dengan cepat mendorong tubuh Dimas hingga tersungkur. “Urusan kita belum selesai!”
Ali bergegas masuk ke dalam mobil. Mobil itu bergerung, tak lama Ali dengan cepat menginjak pedal gas dalam-dalam, hingga decitan ban terdengar menjerit keras.
“Prince! Tenangkan dirimu!”
Sepanjang perjalanan kawan-kawannya berusaha menenangkan lelaki berparas tampan tersebut. Prince memejamkan matanya sekilas, bahunya naik turun selaras dengan napas yang memburu.
“Kepar*t si Dimas! Bisa-bisanya dia berbuat seperti itu pada adiknya sendiri. Memang dunia sudah benar-benar gila!” oceh Ali.
Prince bungkam, tak ada satu bahasa pun yang keluar dari mulutnya, hanya mata dengan tatapan tajam tapi berkaca.
“Enggak, Azra enggak boleh jatuh ke tangan Vanya. Sial! Kenapa aku harus terlibat dengan gadis itu.” Batinnya.
Prince mengepalkan kedua tangan, kedua matanya melirik tak sengaja melihat Azra terduduk di depan mini market.
“Berhenti!”
Sontak mobil itu berhenti, Prince dengan cepat keluar dari mobil dan menyebrang jalan. Kawan-kawannya hanya mengintip dari kejauhan.
Tepat di depan gadis yang sedang duduk sendiri bermandikan airmata, Prince berhenti. “Azra …,” panggil laki-laki itu, membuat yang memiliki nama mendongak.
Prince mengeluarkan uang ratusan ribu dari dompetnya. “Carilah kos-kosan atau penginapan, jangan pulang kerumahmu malam ini!” perintah lelaki itu.
“Hah?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments