Prince berjalan mondar-mandir di dalam ruang kantornya. “Sialan si Azra, sok penting banget, sih,” umpatnya sendiri.
Pria itu lantas berkacak pinggang lalu mendengkus. “Emang sibuk apa sih dia?”
Prince menajamkan sorot matanya, sebelah sudut bibirnya menukik. “Kalau begini, apa kamu bisa sok sibuk?” pria itu meraih telepon di meja kantor menghubungi seseorang yang sepertinya biasa menjadi pengantar pesan untuknya.
“Sarjaka, suruh Azra Diandra ke ruangan saya. Sekarang!” perintah Prince lalu segera menutup telepon. Pasti, tidak akan menunggu lama, Azra akan tiba memenuhi panggilan sang dosen.
Namun, setelah menunggu sepuluh menit Azra tak kunjung datang. Prince bahkan sudah terlambat masuk kelasnya. “Sialan! Sudah berani rupanya dia.” Prince kembali berseringai.
Prince melirik waktu yang melingkar di pergelangan tangannya, “Sudah telat!” gumamnya sendiri lalu dia meraih materi yang sudah dia siapkan untuk kelasnya.
Akan tetapi, saat dia membuka pintu nyaris Azra menyentuh tubuhnya. Gadis yang tadinya terlihat mengatur napas tiba-tiba membelalakkan kedua netra.
“Astaghfirullahaladzim, Pak Prince! Bikin kaget saja … baru saja saya mau ketuk pintu, pak,” ujar Azra dengan wajah yang tiba-tiba memerah.
Prince yang ikut terkejut pun menjawab, “yang ada saya yang terkejut. Kenapa baru tiba sekarang, setahu saya … saya memanggil kamu sepuluh menit yang lalu!”
Azra kembali menunduk seraya berkata, “maaf pak, tadi tugas kuliah saya belum selesai, jadi saya …”
“Aah, rupanya kampus ini salah memberikan beasiswa ke kamu, buktinya mengerjakan tugas saja kamu tidak becus?” potong Prince.
Mendengar ucapan Prince membuat Azra cengo. Nih, dosen maunya apa sih? Ketusnya dalam hati.
Azra menarik napas dalam-dalam. “Jadi, maksud bapak memanggil saya kesini apa pak?”
“Saya hanya ingin memperingatkan kamu, Azra. Bahwa mata kuliah saya itu termasuk mata kuliah yang sangat penting di prodi kamu. Dan, penilaian yang saya berikan ke mahasiswa, termasuk dengan aktifnya mahasiswa tersebut mengikuti seminar saya!” tegas Prince dengan wajah datar tanpa ekspresi.
“Maksud bapak?” merasa tidak mengerti penjelasan panjang lebar dari sang dosen.
“Pikir saja pakai otak kamu yang katanya encer itu!” Prince menutup pintu ruangannya kasar dan beranjak meninggalkan Azra begitu saja.
“Astaghfirullahaladziim, sabar Zra, sabar. Subhanallah, terbuat dari apa sih hati pak Prince, enggak ada lembut-lembutnya jadi manusia,” desis Azra seraya memandang punggung Prince dari belakang.
Azra kembali menunduk dan menengklengkan kepala. “Maksudnya apa sih, penilaiannya termasuk dengan aktifnya mahasiswa yang ikut seminarnya.”
Azra bergeming sesaat, memikirkan berulang-ulang apa yang dimaksud oleh Prince.
Kedua matanya kembali melebar setelah menyadari makna ucapan dari sang dosen. “Ooh, jadi dia akan memberi nilai bukan dari kapabilitas yang dimiliki oleh mahasiswa, gitu? Dasar dosen aneh,” gusarnya.
Gadis itu kembali memicingkan mata, melihat Prince yang semakin menghilang dari koridor ruang dosen. “Capek-capek lari, cuma buat denger dia ngomong gitu doang, professor apaan tuh!”
***
“Ingat tujuan kita, kita mau mendirikan perusahaan properti. Sekarang, tinggal tiga puluh persen lagi, kalau Dimas membayar utangnya, kita tinggal mencari seratus juta lagi.”
Niko berujar sambil memeriksa laporan keuangan dari tabletnya. Sudah menjadi tugasnya untuk melaporkan setiap transaksi Exilado.
“Tapi, Prince … kalau kita sudah membangun bisnis ini, apa kamu akan berhenti menjadi dosen? Pastinya akan lelah menjalankan pekerjaan dan bisnis secara bersamaan,” tutur Raga, pria itu menoleh ke arah Prince yang duduk tepat di sebelahnya.
“Menjadi dosen itu amanah dari mendiang bundaku, aku tidak akan melepaskannya. Tetapi membalas perbuatan ayahku juga menjadi prioritas utama. Aku harap, perusahaan ini akan mengalahkan perusahaannya,” sahut Prince.
Ali yang sedari tadi bergeming, ikut menoleh. Ya, mereka tahu semua kisah Prince, dan apa maksud Prince untuk membangun bisnis dengan tiga kawannya itu. Untuk melawan Perusahaan raksasa milik Malik Kurniawan Motaz.
Walau terlihat seperti preman, Niko, Ali dan Raga cukup kompeten dibidang mereka masing-masih. Ali di ilmu teknologinya, Niko di bidang bisnisnya dan Raga di bidang manajemennya. Mereka sama-sama mengemban pendidikan yang sama dengan Prince kala itu hanya berbeda jurusan.
“Aku sangat ingin menghancurkan bisnis ayahku, dan kita lihat … apakah pelacur itu masih setia menemaninya,” dengkus Prince.
“Maaf, pesanan anda tuan,” seorang pelayan menyajikan empat gelas kopi yang berbeda rasa.
Benar, mereka tidak sedang berada di club, melainkan kafe. Sudah menjadi rutinitas jika membicarakan tentang bisnis mereka akan mencari tempat yang lebih tenang, tanpa gangguan wanita dan alkohol tentunya.
Kali ini Prince yang mengajak duluan tiga kawannya, sesuatu yang sangat jarang terjadi. Ini artinya lelaki itu berada dalam mood yang sangat baik.
Raga meraih salah satu cangkir yang merupakan kopi pesanannya. “Tetapi, bagaimana sekarang, Dimas?” celetuk Raga seraya menghirup aroma espresso yang melebur begitu saja di udara.
Tiba-tiba mereka menangkap keanehan dari wajah Prince yang seolah sendu. Ali dan Niko saling bertatapan lalu bergantian menatap Raga.
Jujur saja, ini kali pertama mereka melihat air muka Prince yang sangat sulit untuk diartikan.
Apakah benar kecurigaan mereka, kali ini Prince melemah. Bahkan, Niko sempat pesimis—sepertinya uang seratus lima puluh juta dari Dimas tak akan pernah mereka dapatkan.
Meskipun sangat mudah bagi Exilado untuk mencari gantinya. Namun, tetap saja jika sekali gagal, akan membuat citra Exilado yang tidak terkalahkan jadi memburuk, bukan?
Akan tetapi, mereka sudah bertekad apapun keputusan Prince akan Dimas, mereka akan selalu mendukungnya. Walau harus merusak reputasi yang mereka bangun selama ini.
Prince masih menghela napas pelan. “Tenang saja, aku akan cari cara untuk menagihnya.”
“Walau harus berhadapan dengan Vanya,” sela Niko. “Bukannya aku ingin membuatmu bimbang Prince, hanya saja kita tahu sendiri gimana cara kerja Vanya. Sementara, si Dimas sudah nampak bergantung sama si Vanya.”
“Apa kamu yakin, adiknya si Dimas gak akan di terror oleh si Vanya? Trus bagaimana kalau cewek itu bekerja di club malam?” tambah Ali.
Ya, Prince nyaris melupakan Vanya, wanita ular yang selalu mewujudkan semua obsesinya. Belum lagi dia selalu dibela The Devil Venom, geng motor yang diketuai Alex Baron rival semasa dibangku kuliah.
Raga meraih tablet dari tangan Niko, dia memainkan layar dengan jari-jarinya. Dengan helaan napas kecil pria itu kemudian berbicara. “Tapi, Prince … apakah kamu ada perasaan sama adiknya si Dimas?” suara Raga sedikit bergetar karena takut memancing emosi pria berdagu belah itu.
“Perasaan?” Prince berseringai. “Enggaklah, aku hanya tidak suka cara Dimas memperlakukan adiknya. Dan kalian ingat kita paling anti sama pengkhianatan dalam keluarga,” ujarnya lugas.
“Yakin?” Ali melirik dengan ekor matanya. “Karena kami menangkap hal yang berbeda dari kamu Prince.”
“Apaan sih kalian, aku enggak punya waktu untuk kisah cinta-cintaan begitu! Fokusku sekarang untuk secepatnya menghancurkan Malik!” Prince menggeram dengan kedua tangan yang mengepal kuat.
Sialnya, Niko, Ali dan Raga kembali menangkap keanehan. Sudah jelas, Prince hanya berusaha menyembunyikan perasaannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
fhittriya nurunaja
💪💪💪💪💪
2024-01-23
1
Khoirun Ni'mah
semoga saja perasaan kamu bersambut prince kalau kamu sudah menyadari perasaanmu
2024-01-22
1