“Apa? Tiga ratus juta?”
Suara gadis terdengar parau dari arah belakang. Sebelah tangannya tampak menutupi mulut, gadis itu termangu, tidak percaya dengan apa yang baru saja tertangkap di indera pendengarannya.
Azra, tak sengaja mendengar penggertakan yang di lakukan Prince, Niko, Ali dan Raga kepada kakaknya—Dimas. Tubuhnya gemetar seketika, tidak pernah dia menyangka Dimas memiliki hutang sebanyak itu.
Kepindahannya dari Bandung ke Jakarta memang diisukan karena Dimas yang terlilit hutang, tapi ini, tiga ratus juta? Lalu, kemana Dimas menghabiskan uang-uang dengan jumlah yang sangat besar itu?
“Kamu lagi?” Niko berbalik, lelaki itu berjalan menuju Azra yang berdiri mematung. Kedua mata pria itu sinis menatap. “Kenapa kamu kaget? Atau kamu baru tahu kelakuan kakak kamu?”
“Munafik!” celetuk Ali, tatapannya tak kalah tajam. “Logika aja, tiga ratus juta? Enggak mungkinlah dia habiskan sendiri.” Ali kembali menatap Dimas dari arah belakang.
Kedua netra Azra berkaca, sangat jelas dia sedang berusaha menahan airmatanya agar tidak keluar. Gadis itu kembali tersentak Ketika suara keras melengking mengebut namanya.
“Azra!”
Dimas yang tadinya berlutut, beranjak berdiri. “Sudah aku bilang berkali-kali jangan ikut campur urusanku!” pekik Dimas lagi.
Sementara Prince yang masih asyik mengisap rokoknya hanya menikmati pertunjukan dengan wajah datar. Laki-laki itu menghela napas panjang sebelum rokok itu dia lemparkan ke tanah.
“Buang-buang waktu, bereskan!” seru Prince, sambil beranjak dan meninggalkan tempat itu lalu kembali ke mobil.
Pria itu melewati Azra tanpa menoleh, hanya Azra yang nampak melirik tajam ke arah dosen dingin tanpa ekspresi itu.
Raga yang mendengar ucapan Prince langsung berseringai. “Katakan, kapan kamu mau bayar?” pria itu mendekat menatap luka lebam kebiruan yang masih tercetak jelas di pipi Dimas. “Kalau lihat kamu bermain-main dengan wanita-wanita itu, jelas kamu harus menjaga wajahmu yang tampan ini, bukan?” sarkasnya.
Ali yang berada di belakang Dimas dengan cepat menarik dompet dari saku targetnya. Cukup mencengangkan menemukan lembaran uang seratus ribuan di dompetnya. “Kamu lihat?” lelaki itu memperlihatkan uang-uang itu kepada Azra.
Raga berdecih. Bibirnya menyungging, kekehan terdengar dari bibirnya. “Kakak kamu ini memang brengsek!”umpatnya disela kekehan.
Dimas yang terkejut pun berbalik badan. “Apa-apaan ini, kembalikan!”
Namun, baru saja ingin meraih dompet dari tangan Ali, Raga dengan cepat membekuk tubuh Dimas hingga membuat Dimas kembali berlutut.
Azra yang menyaksikan ikut menangis. “Astaghfirullahaladzim. Lepasin dia!” Tidak bisa lagi dia menahan airmata yang di dorong paksa oleh rasa yang menyesak di dada. Tidak tega dia melihat kakak kandungnya di perlakukan seperti itu.
“Ya Allah. apa yang harus Azra lakukan, kak?”
Suara keributan di halaman parkir membuat seorang wanita yang baru tiba di club melirik, wanita berbalut pakaian super seksi itu diam sebentar sambil menyelisik. Sudut bibir yang di poles lipstick merah berseringai.
Kedua matanya menyipit, setelah mengetahui siapa yang sedang berada disana wanita itu tersenyum girang, dia melangkah mendekat. “Wah, ada keributan apa ini?” tanyanya dengan mengerlingkan mata.
“Aah, Exilado …. Dia targetmu?” Wanita itu melirik ke arah Dimas. Kemudian kembali bertanya, “berapa hutangnya?”
Niko dan Ali saling pandang. Mereka tahu siapa wanita itu. Wanita licik penuh intrik, dia juga dikenal sebagai muncikari. Wajah cantik dengan tubuh molek bak gitar spanyol menyempurnakan penampilannya.
Namun, siapa sangka, wanita secantik dan seseksi itu adalah satu-satunya orang yang paling malas diladeni oleh Exilado.
Bukan hanya karena gayanya yang centil, nama wanita itu familiar di geng-geng club.
Banyak yang jatuh cinta pada kemolekan dan kecantikan Vanya, bahkan beberapa dari mereka rela membayar mahal untuk mencicipi tubuhnya indahnya.
Hanya satu laki-laki yang Vanya tak bisa gapai. Ya, Prince, lelaki itu tidak pernah tertarik atau tergoda walaupun Vanya sudah berusaha dengan segala cara untuk memikatnya.
Wanita itu menoleh ke kiri dan kanan. “Mana bos kalian?” tanyanya antusias. Kedua matanya berkilat-kilat mengharapkan Prince ada di sekitar sini.
Niko menghela napas panjang, laki-lagi itu kemudian menyugar kasar. “Jangan ikut campur, Vanya. Pergi sana!”
Seruan Niko membuat Vanya terkekeh. “Oh ayolah Niko, kamu sedang menghadapi seorang wanita, jangan kasar-kasar.”
Beberapa detik suasana menjadi hening, mereka saling diam untuk menahan bahasa, hanya suara kendaraan lalu lalang yang terdengar mendominasi.
Tak juga beranjak kedua mata Vanya justru bergulir ke arah Azra, menyisir gadis yang kini berada di hadapannya dari ujung kepala hingga kaki. Senyumnya kembali tercipta di bibir tipis yang menggoda.
“Kalau kamu, cantik! Kamu juga punya hutang sama mereka?” wanita itu berjalan memutari Azra. Bibir tipisnya didekatkan ke telinga Azra, wanita itu kemudian berbisik, “hati-hati cantik, mereka kejam,” sindirnya dengan melirik tajam ke arah Niko, Ali dan Raga.
Vanya mengelus pipi Azra dengan ujung telunjuknya. “Kalau kamu mau, kamu bisa kerja denganku. Upah gaji setiap hari, dengan bayaran mahal, tergantung gimana pelayananmu saat bekerja. Gimana, mau?” ujarnya lagi.
“Lumayankan, kamu bisa bayar hutang-hutangmu sama mereka,” imbuhnya lagi sambil tersenyum jahat.
Dimas yang masih dalam kuncian Raga kemudian berkata tanpa berpikir lagi. “Zra, Please Zra terima aja kerjaan itu. Katanya kamu mau bantu kakak buat bayar hutang!”
Niko, Ali dan Raga saling melempar pandang. Mereka brengsek, tetapi lebih berengsek lagi Dimas. Bisa-bisanya dia meminta adiknya untuk bekerja bersama Vanya.
Apakah dia tidak tahu pekerjaan apa yang ditawarkan Vanya pada adiknya itu?
“Dasar manusia sampah!” Raga semakin kuat mengunci tubuh Dimas. Dia sangat membenci sikap Dimas yang pengecut.
Vanya tersenyum. “Oh jadi kamu itu adiknya dia, dan dia yang punya hutang sama Exilado. Ooh mengerti sekarang,” sela Vanya sambil mengangguk-angguk kepala.
Melihat Vanya berada di sebelah Azra membuat ketenangan Prince terusik.
Entah perasaan apa yang mendorong pria itu untuk keluar dari mobil. Langkahnya cepat hingga kembali ke tengah halaman itu.
“Jauhi dia, Vanya!”
Vanya hapal mati suara tegas yang mengalun indah di telinganya Suara pria yang sangat di puja-pujanya, Prince Abraham Motaz.
Vanya berbalik. “Hai, Prince, ternyata kamu ada di sini?” tanya Vanya dengan wajah semringah.
Namun bukannya membalas sapaan Vanya, Prince memasang wajah gusar. “Menjauh darinya, Azra!” pekik Prince sambil menarik gadis itu ke belakang Ali.
Mendengar teriakan Prince semuanya tersentak. Dimas, Azra bahkan Vanya seketika bungkam. Sungguh mengerikan wajah Prince yang sedang menahan amarah.
Niko, Ali, dan Raga yang berdiri berjauhan saling melempar pandang, mereka terkejut bukan main. Yang membuat mereka terkejut adalah seorang Prince, baru kali ini mereka mendengar sebuah nama gadis keluar dari mulut pria tanpa ekspresi itu.
Prince melangkah, mencengkram kuat kaos Dimas hingga Raga terpaksa mundur kebelakang. “Dasar Bajingan! Bayar hutangmu sendiri, kenapa kamu menyuruh adikmu untuk bekerja dan membantumu membayar hutang-hutang itu, hah?”
Vanya kembali terhenyak. Seringai licik kembali terulas di bibirnya. “Siapa dia? Baru kali ini aku dengar kamu menyebut nama wanita, Prince.”
Vanya menatap tajam ke arah Azra. “Menarik!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments