Azra sengaja mengatur alarm disepertiga malam. Walaupun, seperti biasa—dia selalu lebih dahulu terbangun dari alarm yang sudah diaturnya.
Gadis berparas ayu itu terbiasa melakukan salat tahajud. Sebelum beranjak dari kasurnya, tak lupa Azra melangitkan rasa syukur karena masih diberi kesempatan untuk mengirup udara di pagi hari.
Kemudian, dia berjalan keluar kamar, menuju kamar mandi untuk menggosok giginya dan mengambil air wudhu. Tetapi, sebelumnya dia mengintip kearah kamar Dimas.
Dilihatnya sang kakak yang masih pulas tertidur. “Ya Allah, berilah dia petunjuk dan lembutkan lah hatinya.” pintanya dalam hati.
Setelah berwudhu, Azra membentangkan sajadah dan dia mulai melakukan tahajud. Rasanya, lega saja berkeluh kesah, mengadu dan merayu kepada Tuhannya di waktu sepertiga malam.
Azra sampai di sujud terakhir, begitu banyak kebimbangan yang di curahkan kepada Rabb-nya. Bibir tipis yang terus saja bergetar melantunkan zikir dan doa. Hingga bulir-bulir bening luruh membasahi pipi mulus gadis itu.
Setelah Azra mengucapkan salam, Azra melanjutkan tilawahnya. Sepekan dia berada di Jakarta, Azra langsung menemukan majelis ilmu dan kajian Al’quran. Alhamdulillah.
Sesekali gadis itu melongok keluar kamar, Dimas masih saja terlelap. Tak peduli atau tuli hingga suara indah sang adik tak juga membangunkannya.
Sampai azan berkumandang, Dimas tak juga bergerak. Apakah dia mati kalbu? Seperti itu Allah membekukan hati pria itu, kemaksiatan demi kemaksiatan yang dia perbuat menebalkan dosa dan menutup mata hatinya.
Setelah menyelesaikan salatnya. Azra beranjak, membuka jendela hingga semilir angin sejuk menyapa wajahnya. Di pandanginya langit yang masih gelap dengan segaris cahaya putih terlihat di ujung timur.
Cahaya keperakan mulai naik ke cakrawala, matahari mulai hadir menggaris jingga di tengah biru gelap yang beranjak sirna. Bersama itu, Azra menggulung sajadah seraya zikir pagi yang masing terdengar lirih dari bibirnya, gadis itu memulai aktivitasnya.
“Kak, bangun sudah pagi. Dari tadi susah banget di bangunin,” Azra menggerutu. Gadis itu berjalan ke dapur, menyiapkan sarapan untuknya dan Dimas.
Dimas melenguh kasar, matanya mulai terbuka perlahan. “Berisik banget sih, Zra!” pekiknya. Pria itu masih saja malas-malasan di tempat tidurnya.
Azra menghampiri, membuka jendela kamar Dimas. “Kakak enggak lihat, ini sudah siang. Salat dulu sana, harusnya kakak berjamaah di masjid.”
“Sst.. bisa diam gak?!” sungutnya sambil meringis. Luka di sudut bibir hasil bogeman Ali semalam tampak merah keunguan, meninggalkan jejak lebam kebiruan di tulang pipinya.
Azra menoleh, melihat wajah kakaknya yang memar membuatnya khawatir. “Sini Azra oleskan salep,” tuturnya dan mengambil kotak p3k di dalam lemari.
Perlahan dan lembut Azra mengoleskan salep antibiotik di luka Dimas, membuat pria malas itu meringis sakit. “Kamu bisa pelan-pelan, enggak?!” sentak Dimas seraya bangkit dan duduk di kasurnya.
Azra menghela napas panjang. “Azra pelan-pelan kok, kak.” Suaranya melemah agar tidak memancing emosi sang kakak. “Kak, siapa orang-orang yang memukuli kakak?”
Dimas mengerutkan keningnya. “Enggak kenal!” Hanya dua kata singkat yang keluar dari mulut pria itu.
“Tapi kok dia menyinggung masalah utang? Apa kakak punya utang sama dia?”
Dimas menoleh, menajamkan kedua netranya memandang sang adik. “Kamu cerewet banget sih. Sudah, enggak usah banyak nanya. Bawel, buat apa juga kamu tahu, emangnya mau bayarkan utang-utang aku? Hah!”
Azra berdecak, akhirnya berusaha sabar tak membuat sang kakak melembutkan kata-katanya. “Astaghfirullahaladzim, Azra cuma tanya, Azra khawatir sama kakak. Lagian, kita itu baru pindah kesini, Azra enggak mau kita pindah-pindah lagi, capek. Belum lagi, Azra sudah mulai aktif kuliah hari ini.”
“Ya, sudah sekarang kamu jalanin hidup kamu sendiri. Kakak mau cari kerja, jangan ikut campur urusan kakak.” Dimas beranjak meraih baju yang tergeletak di atas kasurnya dengan kasar. Sementara Azra hanya menggeleng-geleng kepala dan menghela napas berat.
***
Azra berjalan sendiri menuju gedung rektorat, gadis itu melangkah ragu dengan secarik kertas yang merupakan bill mata kuliah yang harus dia ambil di semester pertama.
“Ya, semua ini karena kartu mahasiswaku diambil laki-laki itu, akhirnya aku harus mengambil modul belajar di rektorat,” gumamnya sendiri disela helaan napas berat.
Langkahnya terhenti tepat di depan gedung rektorat, Azra mendongak, menatap takjub pada Gedung mewah dengan desain klasik bercat putih bersih. Terkesan sederhana tanpa detail, tetapi terlihat elegan dengan sisi gedung tertanam pilar kokoh.
“Masya Allah, keren banget gedung rektoratnya,” decak kagum meluncur begitu saja dari bibirnya.
Azra merapikan jilbabnya, lalu berdeham kecil dan menghela napas sebelum mendorong pintu gedung tersebut.
Sesaat membuka pintu, aroma bunga menguar memenuhi indera penciumannya, gadis itu sontak memejamkan mata sekilas, menghirup aroma yang ternyata dari pengharum ruangan otomatis yang berada tepat di atas pintu masuk itu.
Kedua matanya menyisir setiap sudut ruangan, dan mendapati seorang petugas sekuriti yang berjalan menuju dirinya.
“Maaf neng, ada yang bisa saya bantu?” tanya petugas sekuriti itu.
“Maaf pak, saya mau mengambil modul ajar, ini,” jawab Azra seraya memberikan secarik kertas bill.
Petugas itu membaca dengan seksama. “Oh, neng bisa ke bagian administrasi, mari neng saya antar,” tuturnya seraya mengembalikan kertas itu.
“Enggak pak, tadi saya sudah dari sana, tetapi karena saya enggak bawa kartu mahasiswa, jadi bu Yulia bilang … saya harus minta surat dulu ke rektorat,” jelas Azra.
“Ooh begitu, iya sih neng peraturan di kampus ini lumayan ketat, kalua begitu mungkin neng harus minta surat keterangan dari dosen penanggung jawabnya neng, coba saya lihat lagi,” ujar petugas itu sambil kembali membaca bill tersebut.
“P-pak Prince?!” suara petugas itu terbata.
“Kenapa Pak?” Azra mengerutkan keningnya karena bingung. Menangkap gelagat petugas yang tiba-tiba menegang.
“Enggak apa-apa neng.” Petugas itu menoleh ke kiri dan kanan memeriksa bahwa yang bersangkutan tidak sedang berada dekat dengan mereka, lalu petugas itu mendekat dan berbisik, “hanya saja, Pak Prince itu dosen frozen, neng.”
Azra tergelak, bahunya sampai bergerak naik turun. “Dosen frozen? Kartun frozen maksud bapak?”
“Iih, jangan ketawa neng, kalau neng nanti berhadapan sama pak Prince, jangankan ketawa, senyuman saja langsung bubar jalan,” tutur Petugas itu lagi.
Azra menggeleng-gelengkan kepala. “Bapak-bapak ada-ada saja, masak ada senyuman yang bubar jalan, emang senyumnya lagi berbaris, pak. Tapi, ayo antar saya ke dosen frozen itu pak, saya harus segera masuk kelas,” pinta Azra disela tawa renyah.
Namun, baru saja hendak melangkah ke ruang dosen, suara bariton terdengar menyeramkan dari arah belakang.
“Apanya yang lucu!”
Petugas sekuriti itu terhenyak, kedua matanya terbelalak, seketika bibirnya bergetar menyebut nama seseorang yang baru saja diperbincangkan. “P-pak Prince …”
Azra yang masih meninggalkan jejak senyum ikut menoleh. Gadis itu ikut terperanjat, benar saja senyum gadis itu sontak sirna.
Namun, berbeda dengan petugas itu. Kedua mata Azra menatap tajam ke arah pria yang berdiri tegap di belakangnya.
“Kamu!!!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments