“Hah! Apa maksud bapak?”
Azra berdiri dengan kedua alis yang saling bertaut. Sedangkan Prince mengatur napas yang tersengal, entah emosi yang masih mengikat atau karena dia berlari dari arah seberang jalan.
“Kamu enggak tuli, kan? dan kamu tidak buta juga,” tukas Prince. Laki-laki itu menatap tajam, mungkin memang alis yang tegas serta bentuk mata yang besar membuat raut mukanya terlihat lebih kejam.
Tak urung berkerut wajah Azra di buatnya. Gadis itu memejamkan kedua mata lalu menarik napas sedalam yang dia bisa, berusaha tidak terpancing emosi.
Mata Azra kembali membuka, tak kalah tajam matanya menatap sang dosen. “Saya akan pulang ke rumah saya sendiri,” ketus Azra sambil membalikkan badan.
“Terserah! Jika kamu ingin berakhir dipekerjakan kakakmu di club malam, pulang saja!” Prince berseringai.
“Astaghfirullahaladziim, apa yang bapak bilang barusan? Di club malam?” air mata Azra kembali berguliran. Apakah Dimas akan melakukan hal senekat itu? Kepada adiknya sendiri?
Azra menggeleng. “Wanita tadi? Dia …” tak sanggup melanjutkan pertanyaannya, Azra hanya menyuarakan isak tangis.
“Kalau kamu tidak ingin berakhir di club malam, jauhi kakakmu … sampai urusan utangnya selesai. Kamu, penerima beasiswa karena prestasi kan? Pastinya kamu punya otak yang encer untuk memahami perkataanku.”
Prince meletakkan sejumlah uang di kursi yang tadi Azra duduki. Lelaki itu kembali pergi tanpa menoleh dan menatap Azra, memasuki mobil dan mobil itu melaju pergi.
Sepanjang perjalanan, Niko, Ali, Raga hanya bisa menahan suara. Prince masih menatap jalan dari arah jendela, tetapi percayalah, jalan hanya sebuah obyek formalitas karena pikirannya bukan tentang pemandangan di jalan itu.
Napas Niko terdengar berdesir, sebelum dia akhirnya berinisiatif untuk memulai percakapan. “Maaf, jadi bagaimana kelanjutan kerjaan kita?” matanya tertuju ke arah Prince.
Sedangkan Ali dan Raga yang duduk di depan hanya kompak menatap lewat spion tengah. Mereka menunggu respon dari Prince, pria yang hari ini membuat mereka terkejut bukan main.
Ya, tentu saja mereka terkejut. Selama ini Prince tidak pernah begitu memperdulikan orang lain, tetapi … ada apa dengan adiknya Dimas—Azra?
Memang, Prince paling benci dengan yang namanya pengkhianatan keluarga, perselingkuhan dan wanita-wanita yang bertipikal menggoda karena itu mengingatkannya pada kejadian sepuluh tahun silam.
Namun, pria berhati batu itu tidak pernah masuk terlalu dalam mencampuri urusan orang apalagi orang itu asing untuknya.
Ali berdeham kecil. Dia mengatur napas seraya merangkai sebaik-baiknya kalimat yang akan dia lontarkan. “Kamu mengenal Dimas?” singkat Ali bertanya.
Dan benar saja pertanyaan itu membuat Prince akhirnya menoleh. “Tidak!” jawab Prince tegas.laki-laki itu melempar pandang kepada tiga kawannya yang masih memandanginya.
“Kalian mencurigaiku?”
Ali kembali menatap jalan. Memfokuskan pandangannya ke depan sambil berkata. “Enggak! Hanya saja kamu seperti …” tak sanggup Ali meneruskan kalimatnya, lelaki itu merapatkan bibirnya.
Raga menyela, “ah, enggak Prince, hanya saja kami khawatir, Vanya akan memanfaatkan momen ini untuk menjebakmu, itu saja.” Kekehan kecil terdengar dari bibirnya yang bertindik di sebelah kiri itu.
“Menjebakku? Dengan siapa, Azra?”
Niko, Ali dan Raga semakin tercengang. Dalam sehari bibir Prince dengan mudah menyebut nama wanita. Padahal, sebelum-sebelumnya … jangankan menyebut nama seorang wanita, meliriknya saja Prince enggan. Hanya nama Tsabita yang pernah dia gaungkan, itupun mungkin hanya sebulan sekali.
“Kalian gila! Wanita itu hanya seorang mahasiswi di kampusku, dan kebetulan adiknya Dimas, target kita,” tegasnya lagi. Prince membuka jendela, meraih rokok di saku jaketnya kemudian menyalakannya.
Niko, Ali dan Raga hanya kompak mengangguk. Cukup pembahasan tentang Azra, mereka tetap merasakan ada hal yang tak biasa. Hanya saja, Prince belum menyadarinya.
***
Prince membasuh wajahnya, seksama dia telisik diri dari pantulan cermin. “Apa yang aku lakukan hari ini? kenapa gadis itu selalu membayangiku setelah kedatangannya?” Prince menggeleng. “Sadarlah Prince!” cecarnya kepada diri sendiri.
Dia berjalan menuju tempat tidur, di ambil celana yang dia kenakan tadi. Mengambil sebuah kartu bersematkan foto Azra.
“Semua pasti berawal dari sini, karena kartu ini!” Lelaki itu melemparkan kartu itu ke atas nakas, sembarangan.
Setelah mendesah kuat, dia menjatuhkan tubuh kekarnya di atas ranjang. Ditatapnya langit-langit kamar, tetapi pikirannya mengawang-awang entah kemana.
Diingatnya lagi wajah Azra, saat melirik tajam ke arahnya, saat dia menangis. “Ah ya, dari sana, saat aku menjatuhkan buku agama dan mushaf sakunya,” gumam Prince lagi dengan suara lirih.
Laki-laki itu tiba-tiba menyentuh dada sebelah kirinya. Wajahnya menegang, ucapan Dimas kembali terngiang. “Apa benar dia akan nekat menjual adiknya?”
Prince sontak beranjak, dia tersentak. “Wah, ada apa denganku? Memangnya kalau dijual kakaknya kenapa? Apa urusannya denganku?” gerutunya lagi dengan kedua mata yang membola.
Lelaki itu bergeming setelah akhirnya dia meremas rambutnya yang masih sedikit basah dengan kasar. Pria itu kembali mendengkus gusar. “Tetapi perbuatan Dimas benar-benar tidak bisa di biarkan.”
Prince kembali merebahkan diri, berbalik ke kanan sambil mendekap bantal yang sengaja dia tarik dari tempatnya.
“Tetapi, dimana dia bermalam, malam ini? Apa benar dia kembali kerumahnya?” suaranya pelan bersama itu mata Prince ikut terpejam … dia tertidur tanpa mematikan lampu, seperti biasanya.
***
“Astaghfirullahaladziim. Ayah, apa yang ayah lakukan? Siapa wanita itu?” Prince sontak menundukkan kepalanya.
“Ka-kamu sudah pu-pulang, nak?” dengan terbata Malik merespon pertanyaan Prince. Pria itu segera mengambil pakaiannya yang berhamburan di lantai. Sedangkan si wanita dengan cepat membungkus tubuhnya dengan selimut.
Malik beranjak, berjalan sambil mengancing kemejanya. “Kekenalkan, nak. Dia tante Soraya, teman almarhum bunda,” ujarnya dengan senyuman tipis dan menoleh ke arah wanita yang bersembunyi di balik selimut.
Kedua mata Prince memanas, baru saja dia menjerit karena baru mengetahui kepergian sang bunda, sekarang hatinya kembali tersayat.
“Usir dia, yah. Prince enggak mau ada wanita lain yang menggantikan bunda di rumah ini!” serunya sambil berlalu.
Namun, Malik segera mengejar sang putra sulung. Lelaki itu meraih bahu Prince hingga Prince berbalik. “Dia sudah menjadi istri ayah, nak. Memang tidak ada yang bisa menggantikan bunda kamu, dia hanya akan meneruskan tugas dari bunda kamu saja,” tandas Malik.
“Apa?”
Air mata Prince menetes deras. Perkataan yang keluar dari mulut sang ayah menambah pilu di hatinya. “Demi Allah, yah. Prince tahu ini pengajian tujuh harinya bunda, secepat itu Yah. Menikah lagi memang tidak dilarang agama, yah. Tapi dalam sepekan …” Prince tak sanggup melanjutkan kata-katanya.
Mendengar ucapan dari sang putra tidak membuat Malik tersadar. Justru keegoisannya meluap, tatapannya menjadi dingin, dengan rahang yang mengatup rapat.
“Terserah apa katamu Prince, yang jelas Soraya kini sudah mengandung anak ayah dan ayah harus bertanggung jawab!” sentak sang ayah lagi.
Prince menatap tajam wanita yang baru keluar dari kamar, dengan berpakaian minim. “Hah!” Prince memutarkan bola matanya. “Dasar pelac*r!”
“Apa kamu bilang? Dasar anak kurang ajar kamu!”
Melihat tangan besar sang ayah melayang ke arah pipinya membuat pemuda itu beringsut gelisah, peluh keringat kini memenuhi keningnya. Prince tersentak, dia terbangun dari mimpinya.
Napasnya tersengal, susah payah dia mengatur napas dan meraba pipi kirinya yang terasa panas. Prince, tidak pernah tenang dalam tidurnya, dia selalu terjaga dengan mimpi buruk yang sama setiap malamnya.
“Sampai kapan mimpi buruk ini berakhir!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments