Malam itu terasa tenang, Exilado masih asyik berbincang. Tak lama berselang langit nampak bergemuruh, kilatan cahaya nampak membelah angkasa. Bersama itu angin menyapa dingin menembus kulit.
“Sepertinya akan turun hujan,” gumam Niko yang mendongak menatap langit.
Setelah mendongak ke langit, Niko, Ali dan Raga sontak menoleh ke arah Prince yang mulai terlihat gelisah.
Benar saja, setelah beberapa kali suara petir menggelegar, hujan mulai turun membasahi bumi. Sementara, Prince yang mulai terlihat tegang, menyembunyikan wajah di belakang tubuh Raga.
Exilado tahu, hujan beserta kilat adalah hal yang sangat menyakitkan bagi Prince. Hujan seperti badai itu seakan menjadi pengingat baginya kenangan penuh lara sepuluh tahun silam.
“Ayo kita masuk,” ajak Ali. Pria itu menaikkan sebelah tangannya untuk memanggil pelayan. Begitu pelayan datang Ali kembali meminta minuman mereka untuk dipindahkan ke dalam ruangan.
Sesekali petir kembali menyapa telinga Prince membuat pria itu spontan menutup telinganya. Tubuhnya bergetar hebat, kedua matanya memerah dan mulai berkaca.
Ya, sampai kapan mimpi buruk ini berakhir. Niko menatap penuh iba, dia menyelipkan headset ke telinga Prince dan memutar musik metal yang selalu mereka putar di dalam mobil.
Melanjutkan perjalanan pulang? Mustahil bagi mereka, karena itu akan menambah kesakitan dalam diri Prince. Mereka memilih untuk menunggu hujan itu sampai reda. Ya setidaknya sampai tidak ada suara petir menggelegar memekak telinga.
Ini juga yang menjadi alasan mereka tidak pernah menggunakan kendaraan motor, karena rentan kehujanan.
Sebagian orang hanya beranggapan bahwa Prince, pria yang tidak menyukai hujan.
Namun, alasannya bukan karena tidak suka ... melainkan ada kenangan pahit yang tersirat di balik hujan itu.
Ali menghela napas dalam. “Sampai kapan Prince terjebak luka dalam?” gumamnya dan direspon anggukan Niko dan Raga.
Di tempat lain, Azra dan Keyla sedang berlari dari derasnya hujan. Mereka berhenti tepat di depan sebuah kafe. Azra mendongak seraya berkata. “Kita berteduh dulu, Key.”
Keyla mengebaskan gamisnya yang basah. “Iya, Zra. Perasaan tadi udaranya cukup panas, kenapa tiba-tiba jadi hujan, ya. Pelajaran, Zra, kita harus selalu membawa payung,” celotehnya.
Sudah hampir lima menit hujan tak juga reda. Azra dan Keyla hanya bisa menahan rasa dingin yang mulai mengikat tulang. “Mau kopi panas?” tawar Keyla ketika melihat papan menu yang terpajang di depan kafe tersebut.
Azra menggeleng. “Enggak, Key. Aku tidak bawa uang cukup,” jawabnya dengan suara yang sedikit gemetar. Bibir Azra mulai bergetar, wajah bersihnya yang tersapu air hujan semakin memucat.
“Sudah, aku bayarin dulu, nanti kalau kamu sudah punya uang ... kamu bisa gantiin,” timpal Keyla lagi.
Sedikit ragu, Azra mengangguk. “Baiklah, gimana kalau kita duduk dulu di sana?” tunjuknya ke arah meja di luar kafe tapi masih bernaungkan kanopi.
Azra dan Keyla akhirnya memasuki area kafe, mereka duduk di tempat yang baru saja di tunjuk Azra. Melihat buku menu lalu Keyla mengangkat tangan kanannya ke arah pelayan.
“Cappuccino panas,” pinta Keyla seraya tersenyum ramah. Lalu menoleh ke arah Azra yang masih bingung memilih minuman apa. “Kamu, Zra?”
“Aku teh…”
“Enggak, Zra. Berhenti memesan teh manis. Sekali-kali kamu harus merasakan nikmatnya kopi,” potong Keyla. Keyla kembali menatap pelayan kemudian berbicara, “dua cappuccino panas.”
“Kamu suka, kopi kan?” tanya Keyla lagi, sambil menyuguhkan deretan gigi putihnya ke arah Azra. “Zra, kita itu sahabat, jadi jangan merasa tidak enak. Tinggallah di kosku selama yang kamu mau, dan mintalah bantuan jika kamu memang membutuhkan bantuan, jangan sungkan,” tutur Keyla lagi.
Dengan mata berbinar Azra mengangguk. “Masya Allah, alhamdulillah, terimakasih ya Key, kamu sudah sangat baik sama aku. Padahal, kita baru saja bersahabat.”
Keyla hanya mengangguk, “Karena kita sefrekuensi, Zra,” imbuhnya.
Setelah menunggu beberapa menit, pesanan mereka tiba. Azra meraih gelas dan menghirup udara hangat dari minuman itu kemudian memejamkan kedua mata. “Hmm, wanginya,” ujarnya, membuka kedua netra itu perlahan.
Namun, satu pemandangan membuat fokusnya teralihkan. “Hm, sepertinya aku kenal siapa orang itu?” gumamnya, menaruh kembali gelas ke atas meja.
“Siapa, Zra?” Keyla ikut menoleh, mencari kemana mata Azra tertuju. Keyla yang nampak bingung kembali menatap Azra dan menyeruput kopi panasnya.
Kedua mata Azra menyipit. “Pak Prince?”
“Hah?” Keyla sontak menoleh cepat. Keyla melirik menatap penuh selidik. “Yang bener kamu Zra, yang mana? itu pak Prince?”
“Ngapain dia peluk-pelukan sama laki-laki itu?” desis Azra yang melihat Prince nampak menyandarkan kepala dibahu Raga.
“Hah?!” Azra menarik napas dalam seraya menutup mulutnya dengan kedua tangan karena menyadari akan sesuatu.
Gadis itu lalu menarik pergelangan tangan Keyla agar lebih dekat dengannya. Bibir tipisnya lalu didekat kan ke telinga Keyla yang tertutup jilbab. “Kamu tahu kan gossip yang beredar tentang pak Prince?” bisiknya.
Kedua mata Keyla ikut membola. “Iya, bener, Zra. I-itu ternyata bukan gosip belaka,” suara Keyla terbata. Merasa tidak pantas menyaksikan hal itu, dia sontak memalingkan muka.
Namun, tiba-tiba saja Azra menepuk mulutnya. “Astaghfirullahaladzim, Key. Kita itu baru ikut kajian malah nge-ghibah,” sesal Azra.
Tetapi, apa benar itu kekasihnya pak Prince? Tanya Azra dalam hati. Secepat angin gadis itu menggeleng cepat. Berusaha mengusir pikiran buruk dalam otaknya.
Azra kembali menatap Keyla, mereka sama-sama menunduk, dan berharap Prince dan kawan-kawannya itu tidak memergoki mereka yang ada di luar.
“Kita hujan-hujanan saja Key, habiskan dulu kopi kita, dan kita harus kabur secepat mungkin dari sini, jangan sampai dosen frozen itu menangkap kita disini,” ajak Azra dengan suara pelan.
Keyla hanya mengangguk setuju. “Kenapa juga kita harus ketemu pak Prince di sini?” desis Keyla yang menjadi menyesal mengajak Azra untuk memesan kopi, dan membuat mereka harus menunggu lama.
Keyla dan Azra kembali menyeruput minumannya, dari pada mereka tertangkap basah melihat kelakuan sang dosen, mereka memilih untuk membuka kembali buku catatan majelis kajian yang baru saja mereka hadiri.
Tanpa sengaja, Niko berjalan keluar memeriksa keadaan hujan yang masih lumayan deras. Kedua matanya tertuju kepada kedua gadis yang asyik menikmati kopi dan membaca buku. Kedua alis Niko bertaut.
“Kamu!”
Melihat keanehan Niko dari dalam membuat Prince mengangkat kepalanya, kedua matanya menyipit melihat siapa yang sedang di sapa oleh Niko. Prince pun sontak beranjak. “Azra?”
Mendengar Prince berdesis, Raga dan Ali sontak melirik, lalu melihat apa yang sedang disaksikan oleh sahabatnya itu.
Tanpa aba-aba, Prince gegas beranjak, berjalan keluar dan melihat sendiri gadis yang tengah duduk di luar itu adalah Azra.
Walau gamis dan kerudung yang melekat di tubuh Azra sudah sedikit mengering, tetapi masih tersisa jejak basah di wajah dan tangannya, bahkan tetesan air masih setia menetes di ujung gamis yang gadis itu kenakan.
“Astaga! Apa yang kalian lakukan disini?” suara lantang Prince membuat keduanya terperanjat.
“P-pak Prince?” Azra menelan salivanya kasar. “Ehm, anu pak. Kami ….”
“Ayo, saya antar kalian pulang!”
Ucapan Prince sontak membuat Niko, Ali dan Raga saling menatap penuh kebingungan. Sial! ada apa ini?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
fhittriya nurunaja
ketemu Azra langsung lupa kalau punya trauma 🤭
2024-01-24
1