Matahari mulai menyeruak menembus gumpalan awan, hangat surya menerpa punggung Prince yang tertidur pulas melalui jendela yang sengaja tidak ditutupi tirai, semalam.
Ini kali pertama, Prince tertidur sampai matahari menunjukkan wajahnya. Biasanya, dia akan terbangun dini hari karena mimpi buruk dan terjaga setelahnya.
Tetapi tidak hari ini, Prince tertidur sangat pulas dengan bertelanjang dada. Hanya, bagian tubuh bawahnya yang dibalut selimut.
Prince membuka sebelah matanya menahan silau cahaya matahari. Membalikkan muka, kemudian beranjak duduk dan mengucek kedua netranya yang masih terasa berat.
“Sial!” umpatnya setelah melihat waktu yang menempel di dinding. “Kenapa bisa kesiangan, aku ada seminar pagi ini.”
Pria itu berdiri dan segera ke kamar mandi. Lepas delapan menit, dia sudah rapi dan meraih kunci mobil yang tersimpan di dalam laci nakas. Berjalan ke basement dan mulai mengendarai kendaraannya.
Dan … percayalah, ini kali pertama Prince berkendara sendiri. Biasanya selalu ada Niko, Raga atau Ali yang diminta untuk mengantar dan menjemputnya.
Walaupun lama tidak berkendara sendiri, tidak juga membuatnya gagap dalam memutar setir dan memainkan pedal gas, rem dan kopling.
Ponselnya berdering, beberapa kali. Namun, pria itu lebih memilih fokus merajai jalan raya. Waktunya singkat, tinggal sepuluh menit tersisa … seminarnya akan segera dimulai.
Benar saja, setelah lima menit, mobil itu sudah memasuki gerbang kampus. Decitan suara ban karena direm mendadak membuat semua mahasiswa yang sedang berlalu lalang menoleh ke asal suara.
Setelah membuka pintu, Prince meraih tas kantor dan jas serta merapikan sedikit dasinya yang nampak kurang terikat rapi.
“Pak, syukurlah bapak sudah datang, waktu seminar lima menit lagi. Bapak harus ke ruang make up dulu,” sambut salah satu mahasiswa yang yang bertugas menjadi panitia dalam seminar ini.
Tanpa menjawab, Prince hanya memberi anggukan dengan ekspresi wajah datar. Lelaki itu mengikuti mahasiswa tadi, menunjukkan jalan ke ruang make up.
Setelah di ruang make up, penata rias hanya sedikit merapikan rambut Prince dan memberikan sedikit bedak di wajah yang sudah terlihat tampan itu.
Benar saja, saat Prince keluar dari ruang make up, semua mata sudah tertuju padanya. Jas hitam membalut tubuhnya, gagah.
Dipadukan dengan dasi senada, dan rambut yang nampak stylish menambah kesempurnaan visual lelaki itu.
Prince menarik napas dalam-dalam sebelum memasuki auditorium. Kehadirannya lalu di sambut riuh tepuk tangan peserta seminar yang sudah memenuhi kursi gedung, mengantarkannya hingga ke podium.
Setelah host membuka acara dan Prince dipersilahkan untuk berbicara, lelaki itu bergeming sebentar.
Walau sekilas, senyum tipis terukir dibibir ranumnya untuk pertama kali, dan itu membuat suara kaum hawa serentak meraung histeris.
“Menurut kalian, Apa peranan statistika dalam kehidupan sehari-hari?” Prince mengawali seminarnya. Suara khasnya membuat peserta seminar diam seketika.
“Akurasi? Presisi? Ada yang bisa jawab?” Kedua netra Prince liar menyisir setiap mahasiswa-mahasiswi yang hadir di sana.
Tak luput dari pandangnya, Azra yang duduk dideretan kursi ke empat dari podium.
“Anda!” tunjuk Prince. “Mahasiswi yang memakai almamater toska, G28.” Lelaki itu menatap lurus ke gadis itu.
Azra sontak berbalik melihat lingkaran kecil di sudut kursinya, G28. Dia berdecak seraya memejamkan mata, sebentar.
Dasar dosen aneh, apaan sih ... bapak itu main tunjuk-tunjuk aja. Batin Azra.
Kedua netra Azra lalu menyipit karena lampu yang menyorot ke arahnya. Ya, mau tidak mau dia sudah dipanggil dan dia harus berdiri.
“Di bidang pembangunan, statistika digunakan untuk menilai tingkat kemiskinan, ketimpangan ekonomi, dan keberhasilan program pemerintah. Sementara dalam bidang perilaku manusia, statistika dapat digunakan untuk memahami pola perilaku manusia dan indikator perkembangan sosial,” jawab Azra setelah diberikan mikrofon.
Prince berdeham kecil. “Oke, anda boleh duduk!” Prince berbalik seraya melihat materinya dilayar proyektor. “Ada yang lain? Tidak ada? Baiklah kita lanjutkan.”
Lelaki itu kembali berbalik menatap peserta, dan melanjutkan setiap materinya. Sesekali dia menangkap Azra yang fokus mendengarkan materinya, jantungnya semakin berdebar tak karuan.
Di waktu yang sama, Prince menyesal pernah mengancam Azra agar mengikuti seminarnya. Prince menggeleng pelan. Lalu, susah payah dia menelan salivanya sendiri. Aneh! Kenapa Prince yang terlihat gugup?
Tidak seharusnya aku melihatnya, mengganggu konsentrasi saja. Decaknya dalam hati. Prince berusaha menghalau perasaannya.
Akan tetapi, semakin diperintah pergi, perasaan itu datang dengan bentuk yang semakin besar lagi.
Setelah empat puluh lima menit, seminar itu pun selesai, Prince langsung meninggalkan auditorium dan gegas menuju kantornya.
Sesampainya disana, Prince berdiri di depan cermin sambil meneliti diri kemudian menarik ikatan dasi yang seakan mencekik leher, kasar.
“Tidak, Prince. Apa kamu sudah gila! Kenapa harus anak itu, sih!” Akhir-akhir ini, Prince sering bermonolog sendiri, seperti orang aneh.
Diwaktu yang sama, dering ponsel di saku jasnya terdengar lantang, beruntung seminar itu sudah selesai, dia lupa merubah mode ponsel itu menjadi silent.
Cepat-cepat dia menyambungkan panggilan yang ternyata dari Raga. “Iya, Ga?!”
“Prince, jam kuliahmu udah beres? Di cari Dimas, nih!” suara Raga terdengar dari seberang sana.
“Aku akan kesana jam empat tepat,” jawabnya singkat dan memutus sambungan telepon dari Raga.
***
Prince melajukan kendaraannya, tanpa memperdulikan Azra yang sedang berjalan menuju gerbang kampus.
Di lihatnya waktu di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan pukul tiga sore. Laki-laki itu meraih ponselnya dan menghubungi Raga.
“Dimana janjian ketemunya?” tanyanya setelah mendengar suara Raga menyapa.
“Kafe warnet, simpang tiga, jalan Sentosa,” jawab Raga.
Prince mematikan ponselnya dan menginjak pedal gas dalam-dalam. Secepat kilat mobil Prince sudah tidak terlihat dari gerbang kampus.
Cukup dalam waktu sepuluh menit, Prince sudah sampai di tempat yang mereka janjikan. Niko, Ali dan Raga menatap heran.
“Whoa … si putih yang nyaris tak pernah terdengar gerungannya,” ledek Niko saat Prince keluar dari sedan putih itu.
Ali menaikkan alisnya seraya tersenyum. “Di hubungi susah banget, ternyata kesiangan bangun,” sindirnya. Pria itu bersedekap sambil menyadarkan tubuhnya di mobil hitamnya.
“Seriously! Seorang Prince bisa tertidur pulas, sampai kesiangan!?” Raga menatap tak percaya.
Mendengar celotehan teman-temannya, Prince menggertakkan gigi. “Tutup mulut kalian, atau ku robek sekalian!”
Bukannya takut, kali ini Niko, Ali dan Raga terpingkal. Hingga akhirnya, mereka bungkam karena mobil merah Vanya melintas dan parkir tepat di sebelah mobil Prince.
“Si Vanya, tuh!” Ali menyikut lengan Raga yang berdiri di sebelahnya. Hanya menunduk tegas, Raga menatap nyalang kepada pria yang baru keluar dari mobil merah itu. Lelaki itu menatap sampai Dimas berdiri tepat di belakang Prince.
“Sampai kapan dia berlindung di balik ketiak Vanya,” desis Niko kemudian sambil memutar bola mata.
Prince berbalik. Lelaki itu berseringai lalu berkata. “Kamu mencariku? Memangnya sudah ada uangnya?”
Namun, bukannya menjawab, Dimas menatap tajam seraya membalas seringai Prince dengan senyuman kecut.
“Jadi, Azra kuliah di Melati Bangsa? Besok aku akan menjemputnya, dan besok kamu akan terima uangnya.”
Ucapan Dimas sontak membuat kedua tangan Prince mengepal kuat, kedua bola matanya memancarkan kilatan amarah yang semakin hebat dari sebelumnya.
“Berapa …. Berapa harga yang harus ku tebus agar kamu membiarkan Azra dengan pendidikannya?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments