Azra mengetuk pintu dengan ragu. Setelah diantarkan Sarjaka ke ruangan pribadi Prince, gadis itu dirasuki perasaan bimbang.
“Bagaimana ini, mau apa Pak Prince memanggilku?” Azra bertanya-tanya dalam hati.
Setelah ketukan ketiga, suara dehaman khas pria menyahut dari dalam lalu berkata. “Masuklah!”
Azra membuka pintu pelan, seketika dia menghirup aroma segar yang menguar memenuhi Indera penciumannya.
Kedua matanya lalu menyebar melihat beberapa piagam tertempel di dinding dan piala di lemari kabinet.
Tidak di pungkiri, dosen frozen itu memiliki sejumlah prestasi mencengangkan.
Di sudut ruangan ada meja beralas kaca tebal dengan berhiaskan bunga lavender di vas mini.
Sementara, sosok yang dicari-cari tengah duduk di kursi sambil berbalik menatap jendela besar tepat di belakang meja kerja.
“Wah, ruangannya nyaman sekali,” batin Azra. Kedua netra Azra menyorotkan pandangan kagum terhadap tata letak di ruangan tersebut.
Kebanyakan, seorang laki-laki lebih memilih pajangan yang lebih memperlihatkan maskulinitas, tetapi Prince malah memiliki vas dengan bunga lavender, kursi yang lebih berwarna feminim—lilac, serta jam meja berwarna sama dengan kursinya.
Seketika Azra teringat, isu yang sering menyapa indera pendengarannya.
Bahwa dosen muda nan tampan itu adalah seorang gay, karena pria itu tidak pernah terlihat bersama wanita dan tidak mau berinteraksi lama dengan mahasiswi atau dosen wanita lainnya.
Apakah isu itu benar adanya?
Gadis itu menutup mulut dengan kedua tangan seraya menarik napas panjang. Namun, secepat kilat dia beristighfar dalam hati. “Tidak boleh berprasangka buruk kepada orang lain.”
Mendengar helaan napas Azra, Prince memutar kursinya. Azra yang seperti tertangkap melakukan sebuah dosa lantas tertunduk.
“Ba-bapak memanggil saya? Maaf pak, saya belum bisa mengembalikan uang bapak, karena—”
“Memangnya saya menagih uang itu!” potong Prince dengan suara meninggi. “Saya memanggil kamu kesini, buat ini,” ujarnya.
Azra semakin menundukkan kepala lebih dalam setelah mendengar suara bariton Prince yang seakan-akan bisa meratakan gedung kampus itu.
Membutuhkan beberapa detik untuk membuat Azra berani mengangkat pandangannya, kemudian kedua alisnya berpaut karena bingung. “Ini…”
Azra menatap kartu mahasiswanya yang diletakkan Prince di meja.
Matanya menyiratkan banyak tanya, bukannya lelaki ini akan menahan kartu itu sampai Dimas mampu melunasi semua utangnya? Kenapa Prince malah memberikan kartu itu, apakah Dimas sudah melunasi semuanya?
“Kenapa bengong? Kamu enggak mau?” sela Prince.
Seulas senyum mengembang dibibir Azra. Kedua matanya sontak berbinar, gadis itu pasti menyangka Dimas sudah melunasi utang-utang itu. “Kak Dimas sudah melunasinya pak?”
Sesaat Prince bergeming, semilir angin yang menyapa rambutnya dari jendela menambah perasaan berdebar dalam hati yang muncul tiba-tiba.
Tak sengaja dia menatap Azra begitu jelas dengan senyuman yang sedemikian sederhana mengukir dibibirnya, mempesona.
Prince menghela napas kasar. Laki-laki itu kembali memutar kursinya, dia berusaha menyembunyikan wajahnya yang mungkin bersemu merah. “Ja-jangan banyak tanya? Atau kartu mahasiswa itu aku simpan lagi, saja?”
Secepat kilat si gadis meraih kartu di atas meja kemudian menyimpannya di dalam tasnya.
“Tidak, Pak! Cukup repot jika saya harus menghadap bapak kalau ingin meminjam buku di perpustakaan atau meminjam komputer di ruang komputer,” ungkap Azra.
“Asal kamu tahu saja, urusanku dengan kakakmu belum selesai, jika kamu tidak ingin berakhir di club malam, jauhi kakakmu!” Prince kembali memutar tubuhnya.
“Kamu boleh keluar! Oh ya satu lagi, jangan menyinggung masalah Exilado di kampus ini. Tutup rapat-rapat mulutmu itu!” Tanpa melihat ke arah Azra, dosen tampan itu membuka map berwarna merah yang ada di hadapannya.
Azra mengerucutkan bibirnya. Lagi-lagi dia hanya bisa mengusap dada, beristighfar dalam hati. Manusia jenis apa dosennya itu, begitu ketus.
Selepas kepergian Azra, Prince yang sedang membaca berkas itu dengan cepat menutup kembali map merahnya. Pria itu beranjak dan menyugar kasar.
Prince berjalan mendekati cermin yang menempel di dinding sebelah kanan dari meja kerja. Dia meneliti wajah tampannya, matanya tajam menatap pantulan diri dari cermin itu.
“Wake up, Prince! Perasaan itu hanya akan membuatmu lemah, kamu tidak akan bisa melawan Perusahaan Malik jika lemah begitu!” geramnya sendiri.
***
“Kamu lihat, Niko!” seru Raga sambil melempar pandangan ke arah Prince yang duduk dikelilingi wanita. Pria itu menangkap keanehan pada diri Prince sejak di jemput sepulang mengajar.
Niko menghela napas kuat, sambil menyeruput minuman beralkohol yang disajikan bartender. “Dia berinisiatif mengajak ke club juga sebuah keanehan,” bisik Niko ke Raga.
Ada tiga wanita yang tengah menemani Prince menikmati minumannya, kepalanya pun mengangguk-angguk mengikuti ritme musik disko di club, tidak seperti biasanya.
“Ada apa ya? Prince yang aku kenal tidak seperti itu,” gumam Raga
Ali menatap penuh selidik, seraya menaruh gelas di meja bar. “Sampai di club dia berjalan sendiri, pesan minuman sendiri dan memilih meja sendiri. Lebih mengejutkan dia tidak mengusir wanita-wanita yang datang menggodanya.”
“Jadi, kita harusnya senang atau sedih ini?” sela Raga. “Mungkin keperkasaan Prince lagi bergelora?” Pria itu menaikkan kedua bahunya. Candaan Raga lantas dibalas tatapan sinis dari Ali.
“Enggak lah, dia enggak pernah main yang begituan. Ingat! Dia tidak pernah mau kita menerima bayaran berupa wanita, bukan!” Ali menggeleng-gelengkan kepala.
Namun, tiba-tiba Niko melebarkan kedua matanya, saat dia melihat siapa yang hadir dari pintu masuk club itu. Dengan cepat dia menepuk bahu Ali yang duduk tepat di sebelahnya. “Bro, Vanya … Vanya.”
“Dimana?” Ali menyebar pandangannya.
“Itu, di pintu masuk.” Niko menunjuk dengan kedua matanya. “Ah, kok dia bisa ke sini sih. Biasanya dia enggak mau ke club ini.”
“Kali ini lebih menegangkan, sih,” Mata Ali menangkap seorang laki-laki yang berada di dekat Vanya. Laki-laki itu tertawa girang sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya, mengikuti irama.
“Dimas!!!” Raga dan Niko kompak menyebut namanya.
Mereka bertiga saling melempar pandang, melihat Vanya dan Dimas datang bersamaan dan berjalan mendekati Prince. Secepat kilat Niko, Ali dan Raga ikut beranjak, mendekati Prince.
Kedua mata Prince melirik, melihat Vanya dan Dimas yang sudah berada di hadapannya. Wanita-wanita yang menemani Prince sontak pergi meninggalkan meja itu, mereka tahu dengan siapa mereka berhadapan—Vanya.
Sementara, Prince nampak santai, tidak menghiraukan kedatangan mereka, sampai akhirnya Dimas angkat bicara.
“Dimana Azra?!” Dimas menyelisik ke arah Prince yang masih santai menegak minumannya.
“Apa-apaan ini?” Protes Niko, tidak terima sikap angkuh Dimas yang menanyakan keberadaan sang adik kepada Prince begitu saja.
“Sejak semalam, dia enggak pulang. Pasti kalian yang menculiknya, bukan?” lantang Dimas menuduh Exilado.
Dalam beberapa menit Prince hanya diam mengamati Niko, Ali dan Raga yang mencecar Dimas, sedangkan Vanya hanya berseringai.
Prince sudah tahu, adik perempuan Dimas itu akan menjadi incaran Vanya. Dia tidak akan berhenti mendesak Dimas untuk menyerahkan Azra kepadanya. Pasti Dimas sudah di imingi-imingi uang ratusan juta untuk menyerahkan sang adik kepada wanita itu.
Tidak! Ini tidak bisa di biarkan. Azra tidak boleh jatuh ditangan Vanya. Prince nampak berpikir. Ya, Jika itu satu-satunya jalan untuk melindungi Azra, Prince akan menempuhnya.
“Ayo selesaikan di luar!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments