Seolah tidak ada yang berubah selain daripada status pernikahan di dalam kartu tanda pengenal dan dokumen keluarga lainnya, mereka menjalani kehidupan yang biasa saja.
Anindya yang fokus menyusui si kembar dan belajar untuk kuliahnya, sedangkan Arsatya sibuk dengan profesinya sebagai dokter di beberapa rumah sakit, klinik, dan turut bergabung di ranah hukum sebagai ahli forensik. Pria itu sering menghabiskan waktu di luar dan tidak ada waktu di rumah selain untuk rehat sejenak bila malam telah tiba.
Di siang hari, biasa Aninda dibantu oleh Ranti dan satu baby sitter yang akan menjaga bayi kala mereka tertidur. Jika bangun dan lapar, maka Anindya siap untuk kembali turun tangan.
Kala petang, Anindya sudah berada di atas ranjang besar bersama dengan dua bayi di sebelahnya. Dia akan mengendong satu per satu si kembar untuk bergantian menyusu dan mengantarkan mereka tidur, begitu yang terjadi selama beberapa hari ini setelah pernikahan terjadi.
“Tante, mas Satya belum pulang?” tanya Anindya pada Ranti yang sedang mengajak mengobrol cucunya yang lain.
“Belum, biasanya sebentar lagi. Kenapa, Nin?”
“Anin mau minta izin, besok harus ke Jogja buat bimbingan,” ucap Anindya.
“Besok? Jam berapa?” Ranti pun bertanya.
“Pagi, cuma mau bimbingan aja. Anin ada janji sama dosen pembimbing buat ketemuan lusa,” jelasnya.
“Anin udah siapin buat berangkat besok, Tan. Ini susu untuk mereka juga udah Anin siapkan di lemari pendingin,” jelas Anindya.
“Dadakan banget, Anin? Bilang Satya ya, tunggu dia pulang,” Ranti memberikan saran.
Nyatanya, ditunggu punya tunggu, seseorang yang dinantikan kedatangannya tidak jua datang.
Berganti hari, Anindya bangun terlampau siang. Dengan gesit turun dari ranjangnya, dia terburu-buru mengejar sisa waktu. Bersiap dan bersolek ala kadarnya asalkan tubuhnya telah segar terguyur air. Turun dari lantai atas, dia membawa tas ransel yang sudah disiapkan sebelumnya.
“Tante, Anin pergi dulu, ya. Sus, tolong nanti kalau mereka bangun dan lapar, berikan ASI yang ada di refrige, ya. Aku harus pergi sekarang,” ucapnya berpamitan pada Ranti dan pada suster Anti.
Dengan gugup dia berjalan dengan cepat sembari sibuk mengulir ponselnya untuk memastikan jam keberangkatan kereta. Namun, pandangannya yang tidak fokus, dia menabrak sesuatu di depannya.
Dug!
“Akh!” Seketika ponsel itu terjatuh ke lantai dan berhasil mengalihkan fokusnya dari ponsel ke sesuatu yang ditabraknya.
“Mau kemana?”
Arsatya, pria itu yang Anindya tabrak tanpa sengaja. Di tengah pintu masuk, mereka berpapasan. Pria itu baru saja pulang dari tempat kerjanya.
“Mas Satya, Anin buru-buru mau pergi ke Jogja. Sudah, ya,” Anindya berpamit dan akan mencium tangan pria itu.
Namun, Arsatya menyembunyikan tangannya sebelum Anindya meraih tangan itu, “Jogja?” tanya pria itu mengerutkan dahinya.
“Iya, buat bimbingan besok,” jawab Anindya.
“Kenapa dadakan? Nggak boleh, kembali!” kata Arsatya tegas yang malah menutup pintu rumah dan mendorong tubuh Anindya mundur dari pintu itu.
“Lha, gak bisa dong! Keretanya udah nggak bisa di-reschedule, Mas. Aku harus pergi sekarang,” bantah Anindya yang telah mundur beberapa langkah karena dorongan Arsatnya.
“Gak, kamu nggak bilang apa-apa sebelumnya. Anak-anak masih masa pemulihan, Nin, mereka–”
Tetapi, Anindya menyela kalimat yang belum selesai terucap. “Anin udah taruh ASI di botol di lemari pendingin. Udah aman. Anin harus pergi, udah buat janji sama dosbing soalnya,” ujar Anindya memberi tahu.
“Gak bisa. Aku baru pulang dan kamu mau pergi gitu aja. Kan bisa bimbingan secara online. Siapa dosennya, sini Mas hubungi pasti boleh bimbingan online atau via chat,” kata Arsatya menawarkan solusi.
“Mas, itu gak mudah. Kalau bimbingan lewat chat segampang itu udah Anin lakuin dari dulu. Sudahlah, dosbingku sibuk, dia professor. Jadi, harus Anin yang tahu diri karena Anin yang butuh beliau.”
“Sekali nggak tetap nggak, Nin,” putus Arsatya menunjukkan satu jari telunjuknya di depan wajah Anindya.
"Mas, tapi Anin harus selesaikan studi semester ini!"
Anindya menatap punggung pria itu yang berjalan meninggalkan dirinya, “Kasih aku alasan kenapa Mas gak kasih izin Anin pergi?”
Namun, Arsatya diam seolah tidak mendengar. Dia tetap melanjutkan langkahnya menaiki anak tangga menuju lantai dua yang membuat Anindya yang kesal tak diacuhkan, lantas dia mengejarnya. Menahan lengan kiri Arsatya sehinga pria itu menoleh padanya.
“Mas Satya–“ mulut Anindya sudah siap untuk berceloteh panjang.
“Alasannya sudah jelas, Anin. Aku tidak punya ASI yang bisa diberikan pada mereka, mereka baru sembuh dan masih butuh kamu,” terang Arsatya sebelum Anindya mengomel panjang lebar meminta penjelasan.
Anindya menggeleng, “Tapi, untuk alasan itu. Aku sudah tampung ASI-ku. Mas nggak perlu khawatir, persediaan ASI itu cukup buat mereka selama aku pergi.”
Lagi-lagi kaki yang hendak melangkah itu tertahan, gurat lelah tidak bisa dia sembunyikan lagi. “Anin, dengar. Selain itu, aku juga baru pulang tidak bisa mengantarmu ke stasiun,” ujar Arsatya dengan tutur kata yang lirih selagi mencoba menahan diri untuk bisa tetap berdiri dan meladeni sang istri.
Anindya kembali mengejarnya, “Nggak perlu diantar, cukup izinkan aku pergi!” kata Anindya. Namun, jawaban Arsatya tetap sama hanya berupa gelenggan kepala yang artinya dia tidak memberikan izin.
“Lalu, apa artinya kamu mengatakan kebebasan setelah menikah? Ini bukan kebebasan, Mas. Kamu mengekangku, kamu egois. Jadi, seperti inikah yang kamu lakukan pada kakakku? Sehingga dia tertekan selama hidupnya?” ujar Anindya lantang.
Perkataan Anindya membuat pria yang langkahnya sudah berada di ujung anak tangga terakhir terhenti sejenak, dia memutar balikkan tubuhnya dan menghampiri Anindya yang berada di tengah tangga.
Bukan lagi ekspresi lelah yang nampak, tetapi garis-garis yang tegas sarat kemarahan yang terlihat di wajah Arsatya yang membuat Anindya ketar-ketir apa yang akan terjadi selanjutnya jika benar pria itu marah karena ucapannya.
Di satu anak tangga yang sama, Anindya yang ditatap seperti itu tidak berani menatap balik suaminya yang sepertinya akan marah besar.
Namun, bukan kemarahan meledak-ledak seperti yang Anindya takutkan. Namun dengan suara lirih, tetapi menghujam Arsatya berkata, “Bukankah alasan yang kuberikan cukup jelas sebab melarangmu pergi? Kebebasan yang aku maksud bukan berarti membebaskanmu sebebas-bebasnya. Kamu mempunyai satu kewajiban memastikan anak-anakku mendapatkan ASI ekslusif darimu. Memangnya kebebasan yang seperti apa yang kamu mau? Bebas pulang pergi sesuka hati tanpa memberitahuku atau orang rumah sebelumnya? Silakan, Nin. Kalau kamu mau seperti itu, kenapa masih di sini dan mengejarku hanya untuk mendapatkan izin? Pergilah, pergi saja kemana kamu mau, tapi tidak usah kembali. Maka, kamu dapat bebas sebebas-bebasnya di luar sana,” ucap Arsatya mengarahkan tangannya ke pintu keluar rumah itu.
“Pergilah. Jika kamu ingin pergi sekarang, aku bebaskan kamu pergi asal tidak usah kembali lagi. Lupakan dua keponakanmu itu, anggap saja mereka tidak membutuhkanmu,” kata pria itu sekali lagi yang membuat Anindya terisak-isak.
“Dan ingat, jangan bawa-bawa Amelia di sini karena dia berbeda denganmu yang selalu ingin bebas tanpa batas,” ucap Arsatya sebelum dia yang memilih pergi dari rumah itu dan meninggalkan Anindya yang menangis tersedu-sedu di tempatnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
bhunshin
Laahhhh Satya ko gitu
2024-06-24
1
Ririn Nursisminingsih
egois stya
2024-02-18
0
Suyatno Galih
nahhh ini yg perlu dilakukan, cekokin Arsa dg brotowali
2024-02-11
0